Sponsor

Thursday, May 16, 2013

SYARAT BERDIRINYA SEBUAH NEGARA & HUBUNGAN UMAT DENGAN PENGUASA


PENDAHULUAN
Diskusi mengenai apakah Islam mempunyai konsep tentang sistem kenegaraan atau tidak, nampaknya terus menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan bermacam pendapat telah muncul dalam rangka menganalisis teori tentang kedudukan negara dalam Islam.[1]
Para ilmuwan Islam berpendapat mengenai hubungan sistem ketatanegaraan dengan Islam- apakah dalam Islam diajarakan atau dituntut agar mendirikan negara atau tidak- kenyataan umat Islam selalu membutuhkan sebuah sistem kenegaraan yang Islami. Karena bagaimanapun untuk mengamankan suatu kebijaksanaan diperlukan suatu kekuatan (institusi politik).[2]
Realitas sejarah menunjukkan bahwa ngara itu dibutuhkan dalam rangka pemngembangan dakwah. Misalnya ketika Nabi masih di Makkah (611-622) tidak banyak yang dapat diperbuat di bidang politik karena kekuatan politik di dominasi oleh kaum Aristokrat Quraisy yuang memusuhi Nabi. Tetapi setelah hijrah ke Madinah, dimana Nabi telah mempunyai komunitas sendiri yang berjanji setia untuk hidup bersama dengan suatu kesepakatan dengan menggunakan aturan yang disepakati berupa Piagam Madinah.
Kehudupan Nabi bersama umatnya pada periode Madinah ini, oleh banyak pakar dianggap sebagi kehidupan yang bernegara.[3] Penilaian ini tentu didasarkan pada kenyataan yang dapat dijadikan sebagai argumen bahwa ketika itu telah terwujud sebuah negara, baik itu wilayah, masyarakat, maupun penguasa. Demikian juga penilaian terhadap Nabi ketika itu telah bertindak sebagai kepala negara, misalnya memutuskan hukum, mengirim dan menerima utusan dan juga memimpin peperangan.[4]

PEMBAHASAN
SYARAT- SYARAT BERDIRINYA SEBUAH NEGARA 
A.    Kewalian Negara, Kementrian Dan Kepemimpinan Regional
Keimamahan termsuk dalam kewalian umum yang meliputi semua akivitas kehidupan, baik yang bersangkutan dengan hal- hal keagamaan atau keduniaan jika seorang imam dapat menjalankan semua tugas itu seorang diri; sehingga tidak ada jalan lain selain mewakilkannya kepada orang lain. Dia harus mempunyai pembatu dan para pegawai yang ditunjuk untuk melaksanakan berbagai tugas, yang notabene menjadi sebab didirikannya suatu negara. Karena yang diwakilkan kepada seorang imam yang berjenaan dengan pengurusan tidak dapat ditangani semuanya sendirian, kecuali dengan jalan menunjuk wakil pelaksana. Seluruh pekerjaan tersebut membutuhkan spesialisasi dan pengetahuan yang notabene sangat beragam sehingga harus didistribusikan, juga membutuhkan orang- orang yang kapabel dan sesuai, yang dapat melaksanakan tugas itu secara sempurna.
Sejatinya negara menurut ulama fiqh hanya sebuah kumpulan dari beberapa kontrak atau sebuah rentetan dari beberapa tanggung jawab dan konsekuensi yang harus dilaksanakan. Tujuan dari kontrak yang pertama (pemimpin) adalah sebagai media untuk membagi tanggung jawab dan menciptakan  lembaga lainnya. Antara pemimpin kontrak dan kekuasaan harus ada hubungan langsung dengan keputusan yang berasal dari rakyat. Jadi, seorang pemimpin hanya menjadi antara rakyat dan para pembantunya yang menjalankan tugas- tugas kenegaraan , dalam kapasitas bahwa pelaksanaan setiap tugas oleh seorang pembantu imam bisa dianggap sebagai pemenuhan terhadap salah satu hak yang dimiliki umat.[5]

1.      Mandataris dan menteri eksekutif[6]
Para fuqaha telah berhasil merumuskan dan mempersepsikan pemikiran politik tinggi yang sangat urgen, yaitu ide tentang “kesinambungan negara” dan sebuah negara memiliki jati diri immaterial yang terus ada walaupun figur- figur yang memimpinnya berbeda- beda atau berganti- ganti. Hal itu termasuk salah satu teori politik yang terbaru.
Konsep dasar yang cukup mendapat perhatian para ulama fiqh adalah mereka membagi perwakilan tugas ke dalam dua bagian, perwakilan mandataris dan eksekutif.
Mandataris
Menteri eksekutif
Dinamakan senator
Dinamakan gubernur
Mendapat kekuasaan melalui sebuah kontrak
Hanyalah sebagai mandat yang tidak memerlukan sebuah konvensi tertentu, hanya butuh persetujuan saja
Menguasai bidang perundang- undangan serta mempunyai hak untuk mengurusi pelaksanaan tugas maupun penanganan keuangan. Syarat untuk menduduki jabatan ini cukup banyak.
Kekuasaan lemah dan syarat – syarat untuk menduduki jabatan ini sedikit karena tugasnya melaksanakan perintah dari imam dan untuk imam.

Spesifikasi yang membedakan kontrak mandataris dengan kontrak lainnya adalah bahwa seorang pemimpin ketika dia melaksanakan tugas sebenarnya melakukan tugas umat yang dibebankan kepadanya, bukan melaksanakan tugasnya pribadi. Kekuasaan yang dijalankan oleh adalah kekuasaan yang independen.posisi orang yang mendapat kekuasaan seperti itu akan menjadi tetap dan aman, selama berjalan pada ketentuan yang berlaku.

2.      Pemerintahan Bukan Milik Pribadi[7]
Ketika seorang pemimpin memangku jabatan, dia tidak akan bertujuan untuk mengambil hak- hak dan keistimewaan lainnya bagi dirinya. Dia tidak berhak belaku sewenang – wenang atas jabatannya. Dia terikat oleh syarat- syarat dan batas- batas yang telah digariskan oleh Undang – Undang. Para pekerja yang bertugas dalam wilayah tugas umum dan khusus bukanlah pengikut iman. Keikutsertaan rakyat dalam menentukan keberlangsungan bangsanya akan menciptakan keharmonisan yang terpadu antara kedua belah pihak. Semua bekerja sama mulai dari atasan sampai bawahan dalam melaksanakan undang- undang. Sudah menjadi konsensus bahwa penerapan undang – undang merupakan tujuan pertama pendirian sebuah negara.
3.      Variansi Kepemimpinan Negara
Kedudukan pemimpin (keimamahan) menjadi sumber legitimasi kekuasaan eksekutif yang dalam bahasa fiqhnya disebut dengan kewalian atau dalam bahasa lainnya tugas kepegawaian. Kepemimpinan suatu negara yang berasla dari seorang imam dibagi menjadi empat bagian;[8]
a.      Kementrian
Kementrian adalah golongan kedua dalam negara setelah imam. Kementrian dalam lingkup kerja umum, yaitu meliputi berbagai daerah yang menjadi kekuasaan negara. Dalam praktikalnya, kementrian memiliki kesamaan dengan pemimpin negara dalam perannya.
b.      Kementrian Eksekutif
Kementrian eksekutif adalah seseorang yang ditunjuk oleh imam untuk menggantikan kedudukannya dalanm sistem dalam melaksanakan tugas- tugas seorang imam, dengan tidak mempunyai kekuasaan independen.
c.       Kementrian mandataris
Menteri mandataris menjadi tulang punggung untuk memandatkan pekerjaanya dengan pendapat dan pandangannya dalam mengeluarkan keputusan. Menteri mandataris mempunyai kekuasaan independen dan kekuasaan umum dalam setiap permasalahan, bukan saja dari sisi pelaksanaan melainkan dari sisi pandangannya dalam mengejawentahkan tugasnya sesuai dengan pendapat yang ditemukan.
Tiga hal yang tidak dapat dilakukan oleh menteri mandataris, yaitu;
1)      Seorang imam berhak memberi jabatan kepada orang yang dianggap mumpuni dalam memangku jabatan tersebut, sedangkan menteri tidak mempunyai kekeuasaan seperti itu.
2)      Seorang imam meminta persetujuan kepemiminan dari pihak rakat, sedangkan menteri tidak begitu prosedurnya.
3)      Seorang imam boleh meninggalkan perbuatan yang dilakukan oleh menteri sementara menteri tidak dapat meninggalkan begitu saja.
d.      Kesatuan dan keberagaman Kementrian
Kementrian eksekutif boleh memiliki lebih dari satu menteri dalam jajaran kepengurusannya. Begitu juga dalam menteri lain dikementrian eksekutif boleh diadakan pengangkatan secara formal yang terjadi pada menteri mandataris dan menteri eksekutif. Menteri mandataris memiliki hak bebas dalam melaksanakan tugasnya, dan menteri eksekutof terbatas pada perintah imam.
e.       Kementrian Masa Lalu dan Masa Sekarang
Terdapat perbedaan antara perdana menteri sekarang dengan perdana menteri mandataris, ialah bahwa menteri pertama sekarang terikat dalam melaksanakan tugasnya oleh pandangan dewan kementrian, dan para menteri juga ikut serta dalam dalam merumuskan permasalahan secara bersama- sama. Sedangkan menteri eksekutif  melaksanakan segala keputusan yang keluar dari dewan kementrian atau dewan negara.[9]
f.       Perspektif Sejarah
Ibnu Khaldun berpendapat bahwa penyebab kemunculan dua menteri ini adalah karena adanya kesewenang- wenangan terhadap kekuasaan pada masa Abbasi, atau adanya pergantian menteri denagn sewenang – wenang maupun pergantian sultan yang tidak sejalann dengan konstitusi yang ada.[10]
g.      Gubernur daerah
Adanya perkembangan politik telah menuntut munculnya sebuah jabatan lain seperti halnya gubernur, terutama jika negara bertambah luas daerah kekuasaannya. Gubernur akan berfungsi sebagai imam dalam kekuasaan kepemimpinan jika dilihat dari kepentingan umum.

4.      Kapabilitas dan Otoritas Kekuasaan
Ulama Fiqh memandang kekuasaan gubernur daerah terbagi menjadi dua bagian, yaitu gubernur yang memimpin karena mempunyai kapabilitas, dan kedua pemimpin yang memimpin karena otoritas (tidak mempunyai kemampuan untuk memimpin dengan persyaratan yang semestinya dipenuhi).
a.      Gubernur berdasarkan kapabilitas
Syarat kapabilitas seorang pemimpin, seperti halnya yang telah dikatakan oleh  al Mawardi bahwa persyaratan gubernur memiliki persamaan dengan menteri mandataris, perbedaannya, kegubernuran persyaratannya khusus, sedangkan kementrian kekuasaannya umum, dan keumuman kekuasaan itu hanya terletak pada tempat bukan pada bidang pandangannya. Dikatakan sebuah pandangan yang umum dari gubernur itu karena seorang gubernur diangkat oleh khalifah untuk menguasai sebuah daerah tertentu, dan kekuasaanya mencakup seluruh yang ada didaerah tersebut.[11]
Perhatian yang harus dicurahkan oleh seorang gubernur yang memenuhi kapabilitas untuk memimpin terjabarkan sebagai berikut:[12]
1)      Mengawasi pengurusan militer
2)      Mengawasi kehakiman
3)   Pemungutan pajak dan pemberian sedekah kepada yang berhak menerimanya
4)      Menjaga agama dan membela kesakralannya
5)      Menegakkan hudud dalam hak Allah dan hak bani Adam.
6)      Menjadi imama dalam berbagai hak
7)      Memberi fasilitas akomodasi perjalanan haji dan pelaksanaan lainnya.
8)    Wajib melaksanakan jihad bagi yang berada di perbatasan dan berhadapan langsung dengan musuh.
b.      Gubernur berdasarkan otoritas kekuasaan
Gubernur yang menduduki kekuasaan dengan cara paksaan atau otoritas adalah sebuah kekuasaan yang muncul dengan keadaan yang terpaksa dan kondisi sedemikian rupa.
Pengangkatan seorang gubernur dalam perundang- undangan yang berhubungan dengan kemanusiaan, yaitu;
1)      Menjaga kedudukan kepemimpinan dalam kekhilafaham Nabi dan mengatur permasalahan keagamaan
2)      Menampakkan ketaatannya pada agama yang dapat menghilangkan sifat pembangkangan dan melenyapkan dosa penyempalan.
3)      Mempersatukan pendapat dari setiap golongan dengan penuh toleransi dan menumbuhkan sikap saling menolong sehingga seorang muslim adalah tangan yang membantu muslim lainnya.
4)      Menjamin kebolehan atau keabsahan kontrak- kontrak kepemimpinan, sebagaimana juga mnejamin pelaksanaan ketentuan hukum dan peradilan.
5)      Mempergunakan keuangan kenegaraan sesuai dengan kepentingannya sehingga yang akan mempergunakannya lepas dari tanggung jawab dan boleh mengambil uang tersebut dengan sah.
6)      Hukum- hukum agama dapat dilaksnakan sesuai denmgan ketentuan yang ada dan berjalan pada aturannya. “sisi kaum muslimin adalah batas yang tidak boleh dilanggar, kecuali dilandasi oleh hak Allah dan hudud-Nya.”
7)      Seorang gubernur harus menjadi penjaga agama dan memperhatikan hal- hal yang diharamkan Allah. Menyuruh pada jalan Allah dan menyeru untuk taat kepada-Nya.

B.     Syarat- Syarat Gubernur dan Menteri
1.      Berilmu (Kualifikasi Ijtihad)
Memiliki kualifikasi ijtihad maksudnya adalah mempunyai ilmu syari’at Islam dan hukum- hukumnya beserta sumber- sumber pengambilan hukum. Seorang gubernur dan menateri harus mengetahui ilmu- ilmu berikut: ilmu tafsir dan ilmu hadits, sejarah hukum Islam, Sejarah kenegaraan Islam, Ilmu Ushul, ilmu Manthiq, ilmu- ilmu bahasa, dan ditambah lagi dengan ilmu- ilmu Politik, ekonomi, dan ilmu perkembangan Sosial.[13]

2.      Mengetahui ilmu politik, perang dan administrasi
Seorang imam, menteri dan gubernur harus mempunyai wawasan luas dalam urusan perpolitikan, perang dan administrasi, yang nantinya dengan wawasannya itu mampu melaksanakan tugasnya dari tiga aspek tersebut.

3.      Kondisi jiwa dan raga yang baik[14]
Imam Haramain berkata, “syarat- syarat dari seorang imam adalah harus mampu menghadapi berbagai permasalahan dan mengantisipasinya dengan cepat; cekatan dalam mempersiapkan militer untuk menghadapi musuh dan mempunyai pandangan yang jernih bagi kepentingan rakyat. Dia tidak mengikuti hawa nafsu yang mengakibatkan ketidakjelian dalam mengawasi kebegaraan dan cukup keras memperjuangkan tegaknya hukum- hukum Tuhan. Sedangkan yang dimaksud dengan sehat badan adalah sehat panca indera dan anggota badan yang dapat mempengaruhi etos kerja.

4.      Berlaku adil dan berakhlak mulia
Apa- apa yang diucapkannya dapat dipercaya dan menjauhi perbuatan dosa, tidak melakukan perbuatan yang terlarang, serta menghindari perbuatan yang memunculkan keraguan. Selain itu, juga mencari keridhaan dan menahan timbunya kemarahan, dapat dicontohkan bagi agamanya dan dunianya.[15]

5.      Memiliki kualifikasi kepemimpinan yang penuh
Kepemimpinan yang penuh yaitu, dia merupakan seorang muslim, bebas, laki-laki, dan berakal. Islam adalah persyaratan pertama yang menentukan keabsahan kesaksian dan kepemimpinan. Allah berfirman,
“...Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (an Nisa: 141)
Kebebasan, orang yang tidak bebas (budak) termasuk dalam kekurangan dalam syarat kepemimpinan terhadap orang lain. Laki-laki; sebagian fuqaha memfatwakan bahwa perempuan juga mempunyai kekurangan dalam hierarki kepemimpinan, walaupun perkataan mereka dapat menentukan keputusan hukum.  kedewasaan; orang yang tidak dewasa tidak dikenai tanggungan dan hukuman yang berlaku. Dan berakal; al Mawardi berkata “tidak hanya dengan akal yang berhubungan dengan kewajiba, tetapi harus mengetahui hal-hal yang sangat urgen, sehingga dapat membedakan dengan seksama semua permasalahan yang ada, terhindar dari dorongan nafsu dan lupa.
6.      Keturunan[16]
Seorang imam harus berasal dari keturunan Quraisy. Dalam persyaratan ini para ulama berbeda pendapat. Ahlussunah setuju dengan hal ini, berbeda dengan Mu’tazilah dan Khawarij, mereka berpendapat keimamahan adalah hak bagi setiap muslim yang telah memenuhi syarat. Ibnu Khaldun setelah menganalisis problema yang ada, ditemukan bahwa Quraisy adalah yang sangat fanatik kesukuanm sehingga manusia mengakui kedudukan Quraisy dalam hal ini. akhirnya, mereka menjadi yang lebih utama  untuk menduduki khilafah dan mendapat perhatian dari yang lainnya, semuanya taat pada pemimpinnya.

C.    Kewajiban – Kewajiban Umum
1.      Masyarakat Mukallaf[17]
Mukallaf (citizen) adalah orang yang mempunyai tanggung jawab. Setiap orang yang yang telah dewasa dan berakal, baik laki- laki ataupun perempuan, sebuah anggota komunitas sosial atau keturunan, sampai para nabi pun ataupun para pemimpin, memiliki persamaan dalam hal ini dengan rakyatnya. Mereka dikenai tanggung jawab. Sementara orang- orang yang dikenai tanggung jawab tersebut dalam sebuah kelompok orang dinamakan sebagai tanggung jawab komunitas.
Hak itu milik Allah dan manusia harus menyadari bahwa dia hanya sekedar meminjam kenikmatan dari kepemilikannya, sehingga semua tindakan yang dilakukannya berkenaan dengan barang itu hany mewakili Pemilik yang sebenarnya.

2.      Hak dan kewajiban[18]
Terdapat dua hak, yaitu Hak Allah dan hak- hak manusia. Hak Allah yaitu hak- hak yang berkaitan dengan ubudiyah, atau berkenaan dengan kemaslahatan umum umat, terutama ketentuan yang berkaitan dengan ketentuan had yang syari’atkan oleh Allah, karena menjadi faktor conditio sine qua non daripada eksistensi masyarakat.
Hak yang kedua adalah hak properti yang dimiliki oleh para individu, ataupun yang berkaitan dengan kepentingan pribadi. Hak ini disebut juga dengan hak orisinil ataupun difitrahkan, tetapi dipandang sebagai kah- hak yang diperoleh (muktasabah).
Para ulama telah membagi kewajiban ke dalam dua bagian; kewajiban individual dan kewajiban kolektif. Kewajiban yang pertama diwajibkan pada setiap individu itu sendirinya, sedangkan yang kedua diwajibkan pada sekelompok orang dalam satu kesatuan tanpa melihat pada aspek individunya.

3.      Kewajiban Etis Dalam Politik[19]
Kewajiban yang cukup penting dan mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan adalah kewajiban untuk menerapkan etika moral yang telah diperintahkan Islam untuk berkonsekuensi: memenuhi janji, ikhlas dalam segala perbuatan yang dikerjakannya, mendekatkan diri pada Allah dalam setiap pekerjaan, bersiap untuk berinteraksi dengan komunitas sosial dalam menjalankan perbuatan yang baik dan berorientasi ketakwaan, serta mengikuti segala nasihat yang datangnya dari Tuhan, Rasulullah dan para ulama shalihin.

4.      Kewajiban Kifayah Atau Kewajiban Umum[20]
Kewajiban kifayah ialah jika dalam pelaksanaannya bisa dicukupkan apabila telah dilakuka oleh sebagian orang. Sedangkan fardhu ‘ain disebut sebagai kewajiban perseorangan atau privat.
5.      Urgensitas kewajiban umum (bersama)
Kewajiban kolektif pada dasarnya adalah kewajiban individual juga. Tujuan individual tujuannya bagi kepentingan diri sendiri dan tanpa mediator, sedangkan kewajiban kolektif memerlukan mediator, baik dengan jalan perwakilan atau dengan pengutusan orang tertentu untuk melaksanakannya.
Gambaran umum tentang setiap perluasan kewajiban, diantaranya;
a.      Keimamahan
Kewajiban mendirikan negara Islam yang legal yang merupakan dasar utama untuk terealisasinya seluruh kewajiban yang akan diterapkan pada komunitas sosial.
b.      Pengadilan negeri dan pengadilan tata negara
Tujuan utama pengadilan adalah untuk menghukum para pejabat pemerintah dalam komunitas sosial yang ada atau menghukum para pemimpin daerah dan para wilayah lain- lain, atau menghukum para pelaksana negara jika mereka menganiaya anggota masyarakat.
c.       Jihad
Jiihad merupakan jalan untuk menentang kezaliman, membebaskan belenggu dari leher kemanusiaan, dan akhirnya menghilangkan segala rintangan yang menghalangi upayanya untuk meraih kemajuan. Hukumnya adalah fardhu kifayah menurut mayoritas kaum muslimin, kecuali jika wilayah Islam diagresi, pada saat itru berubah manjadi fardhu ‘ain.
d.      Amar ma’ruf nahi munkar
Kewajiban amar ma’ruf nahi munkar terdapat banyak di ayat al- Qur'an diantaranya
e.       Penerapan ilmu agama dan keduniaan
Setiap ilmu yang bermanfaat untuk penambahan pembangunan serta menjaga kelangsungan hidup dan mengembanhkan peradaban, disamping ilmu pengetahuan yang berorientasi pada penjagaan agama, penjagaan hukum Islam, sah tidaknya sesuatu yang sesuai dengan hukum, dan yang berhubungan dengannya. Serta ilmu pengetahuan itu wajib bagi negara untuk mengembangkan dan menjaganya dengan mengajarkan pada bangsa. negara berusaha memajukan ilmu pengetahuan dan mencari saran untuk pengembangan ilmu yang lebih efektif, sehingga dapat dirasakan oleh semua orang.[21]


f.       Perangkat- perangkat pembangunan[22]
Agama sebagai wakil dari rakyat adalah menyediakan sarana yang dapat merealisasikan pembangunan dan memberikan fasilitas yang dapat dipakai untuk meningkatkan kehidupan rakyat, menggali sumber daya alam, dan memproduksinya dengan sendirinya. Hal tersebut menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang membangun dan mengembangkan ilmu pengetahuan, Islam sangat memperhatikan kepentingan dunia seperti halnya memperhatikan kepentingan agama.
g.      Solidaritas sosial
Salah satu kewajiban yang telah diwajibkan oleh hukum terhadap negara adalah adanya sikap sepenanggungan satu sama lain sehingga seseorang diantara mereka tidak dibiarkan begitu saja jika memiliki kebutuhan. Setiap individu akan saling membahu satu sama lainya. Prinsip yang demikian merupakan prinsip yang sangat tinggi, yang telah dirintis  oleh Islam sejak pertamanya, mendahului sistem yang lainnya selain Islam. Kecuali pada masa sekarang.[23]
Dalam Islam, negara harus menyiapkan kebutuhan rakyatnya- baik yang muslim maupun yang dzimmi- mulai dari pakaian, makanan, perumahan, pengobatan dan sebagainya. Bahkan, juga pelayanan kepada yang membutuhkan, seperti orang yang tidak mampu dan orang lumpuh. Pelayan seperti itu bukan sekedar untuk menyambung hidup, melaainkan harus mencukupi kebutuhannya, yaitu yang dapat mewujudkan tingkat hidup yang layak.[24]

6.      Kewajiban imam atau kepala negara
Al Mawardi berkata bahwa yang harus dipenuhi oleh seorang imam dalam permasalahan umum ada sepuluh, sebagai berikut,[25]
a.       Menjaga agama (akidah dan syari’at)
b.      Melaksanakan pengadilan
c.       Menjaga stabilitas keamanan
d.      Menerapkan hukum pidana
e.       Mempersiapkan sarana pertahanan negera.
f.       Berjihad menghadapi musuh
g.      Menarik pendapatan negara
h.      Membagikan hak dan gaji pegawai
i.        Memantau langsung segala permasalahan

7.      Gambaran umum sistem pemerintahan Islam
Ibnu Khaldun menamakan tugas- tugas yang harus dilakukan oleh negara dengan sebuah rancangan. Dia membicarakan rancangan tersebut dan membagikannya ke dalam: rancangan keagamaan dan rancangan kekuasaan (sultaniyah) yang di maksud Ibnu Khaldun, sebagaimana kita pahami sekarang, dengan nama politik dan administrasi. Ibnu khaldun berpendapat bahwa kepemimpinan dalam Islam meliputi hal di atas, karena kerajaan berada dibawah kekhalifahan, sehingga kewenangan sebuah lebih umum daripada sebuah negara.
HUBUNGAN UMAT DENGAN PENGUASA
A.    Prinsip Dasar Negara Islam
1.      Keadilan
Keadilan adalah tujuan umum atau tujuan akhir dari tujuan pemerintahan Islam. Perintah melaksanakan keadilan banyak ditemukan secara eksplisit dalam Al- Qur’an. Ayat- ayat Al- Aqur’an yang menyuruh untuk berlaku adil dan Allah sendiri menjadikan keadilan itu sebagai tujuan dari pemerintahan.[26] Diantaranya Firman Allah,
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”(QS. An Nisa: 58)

2.      Persamaan dihadapan hukum
Prinsip persamaan manusia tepat dijadikan sebagai salah satu sendi utama dalam membina negara Islam. Islam menghendaki tatanan masyarakat yang didalamnya tidak ada kelas dan kasta. Dengan menampilkan ajaran persamaan ini bearti Islam pada dasarnya menghendaki masyarakat egalitarian.[27] Persamaan manusia dimuka hukum berimplikasi pada soal pelaksanaan hukum, yaitu bahwa semua manusaia berhak mendapatkan perlakuan sama dimuka hukum, dan persamaan antar manusia di muka hukum sebagai landasan sistem kemasyarakatan Islam.[28]
3.      Keadilan dan pembangunan
Haykal menulis bahwa dalam sistem negara Islam semua warga negara memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam pembangunan negara.[29] Ungkapan Haykal tersebut menggambarkan bahwa masyarakat Islam adalah masyarakat terbuka, yaitu masyarakat yang membuka seluas- luasnya kepada setiap individu untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial politik. Adanya tingkat partisipasi sosial- politik yang tinggi dalam Islam itu berakar pada dari adanya hak- hak pribadi dan masyarakat yang tidak bleh diingkari. Hak pribadi dalam masyarakat, menurut Nurcholis Madjid, membawa kepada timbulnya tanggung jawab bersama terhadap kesejahteraan para warga. Sebaliknya, hak masyarakat atas pribadi warganya menghasilkan kewajiban setiap pribadi warga itu kepada masyarakat. Jadi, hak dan kewajiban sesungguhnya merupakan dua sisi dari hakikat manusia: harkat dan martabatnya.[30]
4.      Keadilan bagi kalangan minoritas
Berbuat adil terhadap orang- orang nonmuslim yang tinggal di negara muslim termasuk keadilan yang telah diperintahkan oleh Islam. Dalam syari’at dsendiri telah diterangkan begitu jelas bahwa negara mempunyai kewajiban untuk menlindungi mereka seperti yang dilakukan terhadap kaum muslimin secara sama- sama. Mereka memiliki persamaan dalam hak meskipun para umat Islam terdahulu lebih menekankan pembahasannya pada kewajiban- kewajiban mereka.[31]

B.     Syura[32]
Sistem kenegaraan yang dianjurkan oleh Islam harus memegang prinsip syura. Allah mewajibkannya sebagaimana perintah-Nya terhadap Rasulullah saw. Untuk menjalankan syura:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[33]. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Al Imran: 159).
Diriwayatkan oleh Rasulullah saw:
“Tidak ada sebuah kaum pun yang melakukan musyawarah kecuali mereka dapat merumuskan pilihan yang terbaik dalam mengatasi permasalahan mereka.”
Rasulullahj memerintahkan untuk melakukan musyawarah bukan karena beliau membutuhkan pendapat mereka, melainkan karean ketika beliau menanyakan pendapat mereka, setiap orang akan berusaha berpikir keras untuk merumuskan pendapat yang terabaik dalam pendangan mereka, sehingga sesuai dengan suasana hati- masing- masing.
 “Maka sesuatu yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (asy-Syuura:36-38)

C.    Tanggung jawab pemimpin
Tanggung jawab seorang pemimpin merupakan dasar kepemimpinan ketiga dalam pemerintahan Islam. Selama seorang pemimpin berpegang pada perintah Allah, memimpin atas dasar keadilan, melaksanakan segala hukum yang ada, dan berkonsekuinsi terhadap hukum dalam pelaksanaannya, serta selalu menjaga amanat kepemimpinannya. Yang demikian itu diwajibkan terhadap rakyatnya untuk taat dan mendukung perbuatannya.[34]
Pemimpin memiliki banyka padanan kata, diantaranya adalah Ulil Amri seperti yang terdapat pada beberapa firman Allah,
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu....” (An- Nisa: 59)
Kata Ulil Amri Minkum memiliki makna para pemimpin yang berjalan dengan kebenaran. Karena, para pemimpin yang berlaku dzalim telah terlepas dari Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, mereka tidak dapat disandingkan dengan ketaatan terhadap para pemimpin yang berjalan dalam jalan A;llah dan Rasul-Nya, adalah ketaatan dalam mewujudkan keadilan, memilih kebenaran, amar ma’ruf, dan melarang dari lawannya. Mereka tidak seperti Khulafaur Rasyidin dan orang- orang yang mengikuti mereka dengan baik.[35]
D.    Karakteristik negara dan kedaulatan
Konsep kedaulatan berdasarkan al Qur’an cukup sederhana.Tuhan adalah Pencipta alam semesta. Dia adalah Pemelihara dan Penguasa sejati. Kehendak-Nyalah yang dominan di kosmos dan sekelilingnya, karena semua makhluk adalah milik-Nya dan perintah-Nya juga harus ditegakkan dan ditaati dalam masyarakat manusia. Dialah kedaulatan sejati dan kehendak-Nya harus berkedudukan sebagai Undang- Undang.[36]
Dr. Thaha Husein berpendapat bahwa “ Sistem pemerintahan Islam pada waktu itu tidak dapat dikatakan sebagai sistem pemerintahan otoriter, bukan pula pemerintahan otoriter, bukan pula pemerintahan demokrasi seperti yang di kenal oleh Yunani, juga bukan sistem kerajaan, republik, atau kekaisaran terbatas seperti yang di kenal oleh Romawi. Namun sistem pemerintahan Islam itu adalah sistem pemerintahan Arab Murni; yang batasan- batasan umumnya ditetapkan oleh Islam, kemudian batasan- batasan itu berusaha diisi oleh kaum muslimin.”[37]
Tanggapan terhadap pandangan di atas yang mengatakan bahwa sistem pemerintahan Islam pada saat itu adalah sistem Arab, baik murni maupun tidak murni Arab, berarti mengandung makna yang menyinggung adanya pemaknaan etnisitas, padahal Islam datang untuk menghilangkan unsur rasial yang telah berkembang kuat di Arab.

E.     Islam dan Demokrasi
Jika yang dimaksud dengan demokrasi adalah pemerintahan rakyat, melalui rakyat dan untuk kepentingan rakyat, maka hal tersebut sebenarnya telah tercakup dalam sistem pemerintahan Islam, kecuali jika pernyataan istilah masyarakat harus dipahami secara tertentu dan menyeluruh.
Begitu juga jika yang dimaksud dengan demokrasi adalah apa yang sering dikaitkan dengannya seperti konsep persamaan di hadapan undang- undang, kebebasan kepercayaan dan akidah, mewujudkan keadilan sosial, maka prinsip dan hak tersebut terwujudkan dan terjamin dalam Islam.
Sedang jika yang dimaksud dengan demokrasi adalah sisem yang menjadi ikutanya, yaitu konsep pembagian kekuasaan, maka hal seperti itu pun ada dalam Islam.
Adanya konsep ijma yang merupakan salah satu keistimewaan syari’at Islam, dan yang hanya di akui oleh Islam, memperkuat statemen bahwa Islam memberikan tempat khusus bagi umat dan aspirasinya dalam sistem Islam, yang lebih tinggi daripada apa yang dapat dicapai dalam sistem demokrasi manapun, sesempurna apapun demokrasi itu.

F.     Karakteristik Negara Islami
Nama yang lebih cocok untuk politik Islam ini adalah “Kerajaan Tuhan” (Kingdom of God) yang didalam bahasa politik diebut sebagai “teokrasi”. Tetapi teokrasi Islam merupakan sesuatu yang sama sekali berbeda dari teokrasi yang pernah jaya di Eropa tempat terjadinya pengalaman pahit kaena adanya kelompok pendeta- yaitu suatu kelompok masyarakat khusus yang melakukan dominasi tak terhingga dan menegakkan hukum- hukumnya sendiri atas nama Tuhan, dan pada akhirnya memaksakan keilahian dan ketuhanan mereka sendiri atas rakyat. Teori yang dibangun Islam tidaklah dikuasai oleh kelompok keagamaan manapun kecuali seluruh masyarakat Islam dari semua kelompok. Seluuh penduduk muslim mnyelenggarakan pemerintahan sejalan dengan kitabullah dan praktek Rasulullah.[38]
Perbedaan sistem pemerintahan Islam dengan sistem demokrasi adalah dalam tiga unsur:[39]
No.
Unsur
Sistem Islam
Sitem demokrasi
1.
Rakyat /bangsa
Humanisme, dan orientasinya adalah universal.  “Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui” (Saba’: 28)
Rakyat yang terbatas pada teritorial geografis yang hidup dalam suatu daerah tertentu, disatukan oleh ikatan darah, ras, bahasa dan tradisi yang sama.
2.
Tujuan
Untuk mewujudkan kemaslahatan akhirat dan duniawi manusia yang kembali kepadanya (akhirat)
Untuk kepentingaan dunia atau materi.
3.
Kekuasaan umat
Kekuasaan umat terikat oleh syari’at, yaitu agama Allah yang wajib dilaksanakan oleh setiap individu.
Bersifat mutlak, yaitu pemegang kedaulatan.

G.    Sistem Pemerintahan Islam
Haykal mengatakan bahwa apapun sistem dan bentuk suatu pemerintahan selama dijalankan untuk tujuan merealisasikan prinsip- prinsip dasar negara Islam dan ditegakkan di atas landasan prinsip- prinsip tersebut, disebut saja pemerintahan Islam. Umat Islam bebas mengambil sistem pemerintahan yang bagaimanapun asalkan sistem tersebut mejamin persamaan diantara para warga negaranya, baik dalam hak maupun kewajiban mereka, dan juga persamaan dimuka hukum.[40]
Pemilik kedaulatan dalam negara Islam ialah dua hal yang saling bersatu yang harus saling berhubungan, dan keberadaan negara serta kelangsungannya tidak terbayangkan tanpa adanya hal itu. Dua hal tersebut yaitu umat (rakyat) dan undang- undang atau syari’at Islam. Sistem ini harus diberi istilah khusus, karena ia merupakan suatu sistem tersendiri, yaitu an-Nizamul Islami ‘sistem politik Islam’.[41]




KESIMPPULAN
Dari berbagai uraian di atas, maka dapat di ambil kesimpulan bahwa untuk terbentuknya sebuah negara diperlukan adanya Kewalian Negara, Kementrian Dan Kepemimpinan Regional,  yang mana mereka memiliki berbagai persyaratan yang harus dipenuhi, diantaranya adalah Berilmu (Kualifikasi Ijtihad), Mengetahui ilmu politik, perang dan administrasi, Kondisi jiwa dan raga yang baik, Berlaku adil dan berakhlak mulia, Memiliki kualifikasi kepemimpinan yang penuh dan juga Keturunan. Dan mereka pun harus memenuhi beberapa hak dan juga kewajiban mereka yang merupakan peran dari adanya statusnya.
Nama yang lebih cocok untuk politik Islam ini adalah “Kerajaan Tuhan” (Kingdom of God) yang didalam bahasa politik diebut sebagai “teokrasi”. Tetapi teokrasi Islam merupakan sesuatu yang sama sekali berbeda dari teokrasi yang pernah jaya di Eropa tempat terjadinya pengalaman pahit kaena adanya kelompok pendeta- yaitu suatu kelompok masyarakat khusus yang melakukan dominasi tak terhingga dan menegakkan hukum- hukumnya sendiri atas nama Tuhan, dan pada akhirnya memaksakan keilahian dan ketuhanan mereka sendiri atas rakyat. Teori yang dibangun Islam tidaklah dikuasai oleh kelompok keagamaan manapun kecuali seluruh masyarakat Islam dari semua kelompok. Seluruh penduduk muslim mnyelenggarakan pemerintahan sejalan dengan kitabullah dan praktek Rasulullah.
Hubungan antara umat dengan penguasa, haruslah trejalin dengan baik, dengan melihat beberapa poin penting dari prinsip dasar negara Islam, yaitu keadilan, Persamaan dihadapan hukum, Keadilan dan pembangunan, dan Keadilan bagi kalangan minoritas
Sistem kenegaraan yang dianjurkan oleh Islam harus memegang prinsip syura. Allah mewajibkannya sebagaimana perintah-Nya terhadap Rasulullah saw. Untuk menjalankan syura.




DAFTAR PUSTAKA
Al maududi, Abu A’la, 1995. Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam . Bandung: mizan
Amiruddin, M. Hasbi, 2000. Konsep Negara Islam menurut Fazlur Rahman . Yogyakarta: UII Press
Budiarjo, Miriam, 1981. Dasar- Dasar Ilmu Politik . Jakarta: Gramedia
Haykal, al Hukumah al Islamiyah,
Madjid, Nucholis., 2005. Islam: Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan. Jakarta: Paramadina
Mulia, Musdah, 2001. Negara Islam, Pemikiran Politik Husain Haikal, Jakarta; Paramadina
Nasution, Harun, 1986. Islam di tinjau dari Beberapa Aspeknya, jilid I, Jakarta: UII Press
Quthb, Sayyid, 1967. al ‘adalah al ijtima’iyah fi al Islam, (Beirut: Dar al Kitab al ‘Arabi
Rais, M. Dhiauddin, 2001. Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insani Press
Rahman, Fazlur, 1994. Prinsip syura dan Peranan Umat dalam Islam “ dalam Mumtaz Ahmad, Masalah- Maslah Teori Polotik Islam. Bandung: Mizan



[1] M. Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam menurut Fazlur Rahman (Yogyakarta: UII Press, 2000) hlm. 1
[2] Miriam Budiarjo, Dasar- Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1981) hlm. 8-9
[3] Harun Nasution, Islam di tinjau dari Beberapa Aspeknya, jilid I, (Jakarta: UII Press, 1986) hlm. 92
[4] M. Hasbi Amiruddin, Op. Cit., hlm. 3
[5] M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001) hlm. 203-204
[6]Ibid., hlm. 205
[7] Ibid., hlm. 207
[8] Ibid., hlm. 209
[9] Ibid., hlm. 220
[10] Ibid.,
[11] Ibid., hlm. 225
[12] Ibid., hlm. 226
[13] Ibid., hlm. 234
[14] Ibid., hlm. 235
[15] Ibid., hlm. 236
[16] Ibid., hlm. 239- 244
[17] Ibid., hlm. 247
[18] Ibid., hlm. 248-249
[19] Ibid., hlm. 249
[20] Ibid., hlm. 250
[21] Ibid., hlm. 258
[22] Ibid., hlm. 259
[23] Ibid., hlm. 260
[24] Ibid., hlm. 261
[25] Ibid., hlm. 262-263
[26] Ibid., hlm. 265
[27] Fazlur Rahman, :Prinsip syura dan Peranan Umat dalam Islam “ dalam Mumtaz Ahmad, Masalah- Maslah Teori Polotik Islam (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 128
[28] Musdah Mulia, Negara Islam, Pemikiran Politik Husain Haikal, Jakarta; Paramadina, 2001) hlm. 128
[29] Haykal, al Hukumah al Islamiyah, hlm. 52
[30] Nucholis majid, islam: Doktrin dan Peradaban, hlm. 563
[31] M. Dhuauddin Rais., op. Cit. Hlm. 271
[32] Ibid., hlm. 273-274
[33] Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya.
[34] M. Dhiauddin., Op. Cit., hlm.  276
[35] Ibid., hlm. 296
[36] Abu A’la al Maududi, Op. Cit., hlm. 189
[37] M. Dhiauddin Rais, Op. Cit., hlm. 302
[38] Abu A’la al maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam (Bandung: mizan, 1995), hlm. 160
[39] M. Dhiauddin Rais, Op. Cit., hlm. 309- 311
[40] Sayyid quthb, al ‘adalah al ijtima’iyah fi al Islam, (Beirut: Dar al Kitab al ‘Arabi, 1967), Hlm. 101- 108
[41] M. Dhiauddin Rais, Op. Cit., hlm.  312