I. PENDAHULUAN
Tradisi pemikiran Barat dewasa ini merupakan paradigma
bagi pengembangan budaya Barat dengan implikasi yang sangat luas dan mendalam
di semua segi dari seluruh lini kehidupan. Memahami tradisi pemikiran Barat
sebagaimana tercermin dalam pandangan filsafatnya merupakan kearifan
tersendiri, karena kita akan dapat melacak segi-segi positifnya yang layak kita
tiru dan menemukan sisi-sisi negatifnya untuk tidak kita ulangi.
Kemunculan sebuah pemikiran
tidak bisa lepas dari nilai yang mempengaruhi dari peristiwa dan pemikiran yang
hidup dan berkembang sebelumnya. Juga halnya dengan
empirisme, konsep pengetahuan ini tidaklah berada para ruang hampa yang tidak
mengakar pada realitas pemikiran sebelumnya.
Empirisme telah menyumbangkan banyak
hal dalam ilmu pengetahuan. Kaum empiris mengkuduskan eksperimen dan pemahaman
ilmiah, dan yang mengumumkan dengan sangat bangga bahwa mereka tidak
mempercayai gagasan apapun selama belum ditetapkan dengan eksperimen dan
dibuktikan dengan secara empiric.
II. PEMBAHASAN
Kaum empiris adalah mereka yang
mengkuduskan eksperimen dan pemahaman ilmiah, dan yang mengumumkan dengan
sangat bangga bahwa mereka tidak mempercayai gagasan apapun selama belum ditetapkan
dengan eksperimen dan dibuktikan dengan secara empiric. (mereka terus berkata)
bahwa karena posisi teologi ini berkenaan dengan persoalan ghoib diluar batas -
batas indra dan eksperimen, maka kita wajib mengesampingkannya, dan berpaling
kepada kebenaran- kebenaran dan pengetahuan yang dicerap dalam lapangan
eksperimen.[1]
Empirisme berasal dari kata Yunani ”empiria” yang berarti
pengalaman inderawi. Karena itu empirisme dinisbatkan kepada faham
yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan, baik pengalaman
lahiriah yang menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang menyangkut
pribadi manusia. Seorang yang beraliran empirisme biasanya berpendirian bahwa
pengetahuan di dapat melalui penampungan yang secara pasif menerima hasil-
hasil penginderaan. Ini berarti bahwa semua pengetahuan, betapapun rumitnya
pengetahuan, dapat dilacak kembali dan apa yang tidak dapat bukanlah
pengetahuan. Lebih lanjut penganut empirisme mengatakan bahwa pengalaman tidak
lain akibat suatu objek yang merangsang alat- alat inderawi, yang kemudian
dipahami di dalam otak dan akibat dari rangsangan tersebut terbentuklah
tanggapan- tanggapan mengenai objek yang merangsanng alat- alat inderawi tersebut[2].
Empirisme adalah aliran yang
menjadikan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Aliran ini beranggapan bahwa
pengetahuan diperoleh melalui pengalaman dengan cara observasi/ penginderaan.
Pengalaman merupakan faktor fundamental dalam pengetahuan, ia
merupakan sumber dari pengetahuan manusia.[3] Tanpa adanya rangsangan
dan informasi dari indera maka manusia tidak akan memperoleh pengetahuan
apapun, karena inderalah yang merupakan sumber utama pengetahuan dalam
pandangan kaum empiris.
Perjalanan empirisme yang dimulai dari
Plato sampai John Locke. Empirisme lahir sebagai kritik dan ketidakpuasan metode yang dipakai
rasionalisme dalam mencari kebenaran. Salah satu kritikannya adalah bahwa tidak
sepenuhnya benar apa yang berasal dari akal, bahkan akal mungkin menipu dalam
segala pembuktiannya. Namun Rasionaisme pun tidak mau kalah, mereka menentang
pamikiran kaum empirisme dengan mengatakan bahwa akal merupakan faktor
fundamental dalam suatu pengetahuan. Dan menurut rasionalisme, pengalaman tidak
mungkin dapat menguji kebenaran hukum ”sebab- akibat”
Para pemikir Inggris bergerak ke arah yang berbeda
dengan tema yang di rintis oleh Descrates. Mereka lebih mengikuti mengikuti jejak Francis
Bacon, yaitu aliran empirisme.[4]
Orang pertama pada abad ke 17 yang
mengikuti aliran empirisme di Inggris adalah Thomas Hobes (1588- 1679). Jika
Bacon lebih berarti dalam bidang doktrin dan ajaran, Hobes telah menyusun suatu
sistem yang lengkap berdasar kepada empirisme secara konsekuen. Meskipun ia
bertolak pada dasar- dasar empiris, namun ia menerima juga metode yang dipakai
dalam ilmu alam yang bersifat matematis. ia telah mempersatukan empirisme
dengan rasonalisme matematis. Ia menyatukannya dalam bentuk suatu filsafat
materialis yang konsekuen pada zaman modern.[5]
Selanjutnya tradisi empirisme diteruskan
oleh John Locke (1632- 1704) yang untuk pertama kali menerapkan metode empiris
kepada persoalan- persoala tentang pengenalah- pengenalan / pengetahuan. Bagi
Locke yang terpentinng adalah menguraikan cara manusia mengenal. Locke berusaha
menggabungkan teori- teori empirisme seperti yang di ajarkan Bacon dan Hobes
dengan ajaran Rasionalisme Descrates. Usaha ini untuk meperkuat ajaran
empirismenya. Ia menentang teori rasionalisme mengenai idea- idea dan asas-
asas pertama yang di pandang sebagai
bawaan manusia. Menurut dia segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak
lebih dari itu. Peran akal pasif pada waktu pengetahuan di dapatkan. Oleh
karena itu akal tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri.[6]
Di tangan empirisme Locke, filsafat
mengalami perubahan arah jika rasionalisme Descrates mengajarkan bahwa
pengetahuan yang paling berharga tidak
berasal dari pengalaman, maka menurut Locke, pengalamanlah yang menjadi dasar
bagi segala pengetahuan.[7]
Pada abad ke-20 kaum empiris cenderung menggunakan
teori makna mereka pada penentuan apakah suatu konsep diterapkan dengan benar
atau tidak, bukan pada asal-usul pengetahuan. Salah satu contoh penggunaan
empirisme secara pragmatis ini ialah pada Charles Sanders Peirce dalam kalimat
“Tentukanlah apa pengaruh konsep itu pada praktek yang dapat dipahami kemudian
konsep tentang pengaruh itu, itulah konsep tentang objek tersebut”. [8]
Terdapat beberapa Jenis Empirisme, yaitu
Disebut juga Machisme. ebuah aliran
filsafat yang bersifat subyaktif-idealistik. Aliran ini didirikan oleh
Avenarius dan Mach. Inti aliran ini adalah ingin “membersihkan” pengertian
pengalaman dari konsep substansi, keniscayaan, kausalitas, dan sebagainya,
sebagai pengertian apriori. Sebagai gantinya aliran ini mengajukan konsep dunia
sebagai kumpulan jumlah elemen-elemen netral atau sensasi-sensasi (pencerapan-pencerapan).
Aliran ini dapat dikatakan sebagai kebangkitan kembali ide Barkeley dan Hume
tatapi secara sembunyi-sembunyi, karena dituntut oleh tuntunan sifat netral
filsafat. Aliran ini juga anti metafisik.
Analisis logis Modern dapat diterapkan
pada pemecahan-pemecahan problem filosofis dan ilmiah. Empirisme Logis
berpegang pada pandangan-pandangan berikut :
a.
Ada batas-batas bagi Empirisme. Prinsip system logika formal dan prinsip
kesimpulan induktif tidak dapat dibuktikan dengan mengacu pada pengalaman.
b.
Semua proposisi yang benar dapat dijabarkan (direduksikan) pada
proposisi-proposisi mengenai data inderawi yang kurang lebih merupakan data
indera yang ada seketika
c.
Pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat kenyataan yang terdalam pada
dasarnya tidak mengandung makna.
Suatu aliran yang berpendirian bahwa
semua pengetahuan dapat dilacak sampai pada pengalaman inderawi. Apa yang tidak
dapat dilacak secara demikian itu, dianggap bukan pengetahuan. Soal kemungkinan
melawan kepastian atau masalah kekeliruan melawan kebenaran telah menimbulkan
banyak pertentangan dalam filsafat. Ada pihak yang belum dapat menerima
pernyataan bahwa penyelidikan empiris hanya dapa memberikan kepada kita suatu pengetahuan
yang belum pasti (Probable). Mereka mengatakan bahwa pernyataan- pernyataan
empiris, dapat diterima sebagai pasti jika tidak ada kemungkinan untuk
mengujinya lebih lanjut dan dengan begitu tak ada dasar untukkeraguan. Dalam
situasi semacam iti, kita tidak hanya berkata: Aku merasa yakin (I feel
certain), tetapi aku yakin. Kelompok falibisme akan menjawab bahwa: tak ada
pernyataan empiris yang pasti karena terdapat sejumlah tak terbatas data
inderawi untuk setiap benda, dan bukti-bukti tidak dapat ditimba sampai habis
sama sekali.[9]
Ada dua ciri pokok empirisme, yaitu mengenai teori tentang makna dan teori tentang
pengetahuan.
Teori makna pada aliran empirisme
biasanya dinyatakan sebagai teori tentang asal pengetahuan, yaitu asal-usul
idea atau konsep. Pada abad pertengahan teori ini diringkas dalam rumus Nihil
est in intellectu quod non prius fuerit in sensu (tidak ada sesuatu di dalam
pikiran kita selain didahului oleh pengalaman). Sebenarnya pernyataan ini
merupakan tesis Locke yang terdapat dalam bukunya, An Essay Concerning Human
Understanding, yang dikeluarkannya tatkala ia menentang ajaran idea bawaan
(innate idea) pada orang-orang rasionalis. Jiwa (mind) itu, tatkala orang
dilahirkan, keadaannya kosong, laksana kertas putih atau tabula rasa, yang
belum ada tulisan di atasnya, dan setiap idea yang diperolehnya mestilah datang
melalui pengalaman; yang dimaksud dengan pengalaman di sini ialah pengalaman
inderawi. Atau pengetahuan itu datang dari observasi yang kita lakukan terhadap
jiwa (mind) kita sendiri dengan alat yang oleh Locke disebut inner sense
(pengindera dalam).[10]
Pada abad ke-20 kaum empiris cenderung menggunakan teori makna mereka pada penentuan apakah suatu konsep
diterapkan dengan benar atau tidak, bukan pada asal-usul pengetahuan. Salah
satu contoh penggunaan empirisme secara pragmatis ini ialah pada Charles
Sanders Peirce dalam kalimat “Tentukanlah apa pengaruh konsep itu pada praktek
yang dapat dipahami kemudian konsep tentang pengaruh itu, itulah konsep tentang
objek tersebut”.
Filsafat empirisme tentang teori
makna amat berdekatan dengan aliran positivisme logis (logical positivism) dan
filsafat Ludwig Wittgenstein. Akan tetapi, teori makna dan empirisme selalu
harus dipahami lewat penafsiran pengalaman. Oleh karena itu, bagi orang empiris
jiwa dapat dipahami sebagai gelombang pengalaman kesadaran, materi sebagai pola
(pattern) jumlah yang dapat diindera, dan hubungan kausalitas sebagai urutan
peristiwa yang sama.
Teori kedua, yaitu teori
pengetahuan, dapat diringkaskan sebagai berikut: Menurut orang rasionalis ada
beberapa kebenaran umum, seperti “setiap kejadian tentu mempunyai sebab”,
dasar-dasar matematika, dan beberapa prinsip dasar etika, dan
kebenaran-kebenaran itu benar dengan sendirinya yang dikenal dengan istilah
kebenaran a priori yang diperoleh lewat intuisi rasional. Empirisme menolak
pendapat itu. Tidak ada kemampuan intuisi rasional itu. Semua kebenaran yang
disebut tadi adalah kebenaran yang diperoleh lewat observasi jadi ia kebenaran
a posteriori[11].
Thomas Hobbes lahir di Inggris pada tahun 1558 M. I adalah putra dari
pastor yang membangkang dan suka berdebat. Keluarganya terpaksa keluar dari
daerahnya akibat situasi yang kurang mendukung. Thomas Hobbes adalah sosok
yangh cerdas, terbukti pada umur 6 tahun sudah menguasai bahasa Yunani dan
Latin dengan amat baik dan pada umur 15 tahun sudah belajar di Oxford
University.[12]
Orang pertama pada abad
ke-17 yang mengikuti aliran empirisme di Inggris adalah Thomas Hobbes
(1588-1679). Jika Bacon lebih berarti dalam bidang metode penelitian, maka
Hobbes dalam bidang doktrin atau ajaran. Hobbes telah menyusun suatu sistem
yang lengkap berdasar kepada empirisme secara konsekuen. Meskipun ia bertolak
pada dasar-dasar empiris, namun ia menerima juga metode yang dipakai dalam ilmu
alam yang bersifat matematis. Ia telah mempersatukan empirisme dengan
rasionalisme matematis. Ia mempersatukan empirisme dengan rasionalisme dalam
bentuk suatu filsafat materialistis yang konsekuen pada zaman modern.
Menurut Hobbes, tidak semua yang diamati pada benda-benda itu adalah nyata,
tetapi yang benar-benar nyata adalah gerak dari bagian-bagian kecil benda-benda
itu. Segala gejala pada benda yang menunjukkan sifat benda itu ternyata hanya
perasaan yang ada pada si pengamat saja. Segala yang ada ditentukan oleh sebab
yang hukumnya sesuai dengan hukum ilmu pasti dan ilmu alam. Dunia adalah
keseluruhan sebab akibat termasuk situasi kesadaran kita.[13]
Hobbes memandang bahwa pengenalan dengan akal hanyalah mempunyai fungsi mekanis
semata-mata. Ketika melakukan proses penjumlahan dan pengurangan misalnya,
pengalaman dan akal yang mewujudkannya. Yang dimaksud dengan pengalaman adalah
keseluruhan atau totalitas pengamatan yang disimpan dalam ingatan atau
digabungkan dengan suatu pengharapan akan masa depan, sesuai dengan apa yang
telah diamati pada masa lalu. Pengamatan inderawi terjadi karena gerak
benda-benda di luar kita menyebabkan adanya suatu gerak di dalam indera kita.
Gerak ini diteruskan ke otak kita kemudian ke jantung. Di dalam jantung timbul
reaksi, yaitu suatu gerak dalam jurusan yang sebaliknya. Pengamatan yang
sebenarnya terjadi pada awal gerak
reaksi tadi.
Hobbes menyatakan bahwa tidak ada yang universal kecuali nama belaka.
Konsekuensinya ide dapat digambarkan melalui kata-kata. Dengan kata lain, tanpa
kata-kata ide tidak dapat digambarkan. Tanpa bahasa tidak ada kebenaran atau
kebohongan. Sebab, apa yang dikatakan benar atau tidak benar itu hanya sekedar
sifat saja dari kata-kata. Setiap benda diberi nama dan membuat ciri atau
identitas-identitas di dalam pikiran orang.
John Locke lahir di Inggris pada tanggal 29 Agustus 1632 dan meninggal pada
28 Oktober 1704 M. Karenanya dia di sebut filsuf inggris dengan pandangan
empirisme. Locke sering di sebut sebagai
tokoh yang membrerikan titik terang dalam perkembangan psikologi. Teori yang
sangat penting darinya adalah tentang gejala kejiwaan adalah bahwa jiwa itu
pada saat mula- mula seseorang dilahirkan masih bersih bagaikan sebuah tabula
rasa.[14]
Fokus filsafat Locke adalah antitesis pemikiran Descrates. Baginya,
pemikiran Descrates mengenai akal budi kurang sempurna. Ia menyarankan, sebagai
akal budi dan spekulasi abstrak, kita seharus menaruh perhatian dan kepercayaan
kepada pengalaman dalam menangkap fenomena alam melalui panca indra. Ia hadir
secara apeteriori. Pengenalan manusia terhadap seluruh pengalaman yang
dilaluinya melalui mencium, merasa, mengecap, dan mendengar menjadi dasar bagi
hadirnya gagasan- gagasan dan pikiran sederhana.[15]
Yang membedakan Locke dengan lainnya adalah karakter pemikirannya yang
empiris di bangun atas dasar tunggal dan serbaguna. Semua pengalaman
(pengetahuan), kata Locke, berawal dari pengalaman. Pengalaman memberi kita
sensasi- sensasi. Dari sensasi ini kite memperoleh berbagai macam ide baru yang
lebih kompleks. Dan pikiran kita terpengaruh oleh perasaan refleksi. Kendati
Locke berbeda pandangan dengan filsuf lain, namun Locke juga menerima metafora
sentral Cartesian, pembedaan antara pikiran dan tubuh. Terbukti, dia memandang
bahwa pengetahuan pertama- tama berkenaan dengan pemeriksaan pikiran.[16]
Selain itu, Locke membedakan antara apa yang dinamakannya “kualitas primer”
dan “kualitas skunder”. Yang dimaksud dengan kualitas primer adalah luas,
berat,Yang dimaksud dengan kualitas primer adalah luas, berat, gerakan, jumlah
dan sebagainya. Jika sampai pada masalah kualitas seperti ini, kita dapat
merasa yakin bahwa indra- indra menirunya secara objektif. Tapi kita juga akan
merasakan kualitas- kualitas lain dalam benda – benda. Kita akan mengatakan
bahwa sesuatu itu manis atau pahit, hijau atau merah. Locke menyebut ini
sebagai kualitas skunder. Penginderaan semacam ini tidak meniru kualitas-
kualitas sejati yang melekat pada benda- benda itu sendiri.[17]
Proyek epistemologis Locke mencapai puncaknya dalam positivisme. Inspirasi
filosofis empirisme terhadap positivisme
terutama adalah prinsip objektivitas ilmu pengetahuan. Empirisme
memiliki keyakinan bahwa semesta adalah sesuatu yang hadir melalui data
indrawi. Karenanya pengetahuan harus berumber pengalaman dan pengamatan
empirik.[18]
David Hume lahir pada tahun 1711 dan wafat pada tahun 1776 . Hume adalah
pelopor para empiris, yang percaya bahwa seluruh pengetahuan tentang dunia
berasal dari indra. Menurutnya, ada batasan- batasan yang tegas tentang
bagaimana kesimpulan dapat diambil
melalui persepsi indra. David Hume lah aliran empirisme memuncak . empirisme
mendasarkan pengetahuan bersumber pada pengalaman, bukan rasio. Hume memilih
pengalman sebagai sumber utama pengetahuan. Pengetahuan itu dapat bersifat
lahiriah dan dapat pula bersifat batiniyah. Oleh karena
itu pengenalan inderawi meruakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan
sempurna.
Dua hal yang dicermati oleh Hume adalah substansi dan kausalitas. Hume
tidak menerima substansi, sebab yang dialami manusia hanya kesan- kesan saja
tentang beberapa ciri yang selalu ada bersama- sama. Dari kesan muncul gagasan.
Kesan adalah hasil penginderaan langsung atas realitas lahiriah, sedang gagasan
adalah ingatan akan kesan- kesan.[19]
Empirisme memiliki andil yang besar dalam
ilmu, yaitu dalam pengemangan berpikir induktif. Dalam ilmu pengetahuan, sumbangan
utama adalah lahirnya ilmu pengetahuan modern dan penerapan metode ilmiah untuk
membangun pengetahuan. Selain daripada itu, tradisi empirisme adalah fundamen
yang mengawali mata rantai evolusi ilmu pengetahuan sosial, terutama dalam
konteks perdebatan apakah ilmu pengetahuan sosial itu berbeda dengan ilmu alam.
Sejak saat itu empirisme menempati tempat yang terhormat dalam metodologi ilmu
pengertahuan sosial. Acapkali empirisme di paralelkan dengan tradisi
positivisme. Namun demikian keduanya mewakili pemikiran filsafat ilmu yang
berbeda .
Sedangkan dalam Islam, Empirisme dalam
Islam mempunyai peran penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan seperti ilmu
Fiqh yang bebasis empiris, yaitu (ibadah mumalah), shalat, zakat, puasa, dan
haji.
Empirisme lahir dan terjebak kepada
afirmasi rasio praksis dan menegasikan rasio murni sehingga muncul dogmatisme
empiris sendiri, terlebih dengan membangun kecurigaan/ ketidakpercayaan/
menegasikan (skeptisis) terhadap epistema yang lainnya telah banyak dianut oleh
pendidikan modern, inilah bukti kenaifannya.
Dampak epistemologis dari empirisme
diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Terjadinya pemisahan antara bidang sankral dan bidang duniawi, misalnya pemisahan
antara agama dan negara, agama dan politik, atau pemisahan materi dan ruh yang
terwujud dalam seorang ahli fisika atau ekonomi tidak akan berbicara agama
dalam karya ilmiah mereka, sementara fisika dan ekonomi direduksi menjadi
angka-angka, materi dan ruh tampak tidak kompatebel di mata mereka.[20]
2.
Kecendrungan kearah reduksionisme, materi dan benda direduksi kepada
element-elemennya. Ini tampak pada fisika Newton, sama halnya dengan homo
ekonomi-kus dalam ekonomi modern. (dua hal ini pengaruh sejarah rasionalisme
empirisme).
3.
Pemisahan antara subyektivitas dan obyektifitas, misalnya dalam ilmu sosial
hal yang merupakan debuku obyektif adalalah keniscayaan yang mengarah kepada
relitas pasti, (pengaruh positivisme pengetahuan yang berujung pada statusquo
hinggga dominasi kebenaran).
4.
Antroposentrisme, ini tampak dalam dalam konsep demokrasi dan
individualisme (ini merupakan pengaruh dari rasionalisme Rendescartes dengan
jargon individu bebas atau subyek manusia akan menjadi sentral peradaban
dunia).
5.
Progresivisme, progresivisme diwakili oleh Marx, tetapi juga diyakini
secara luas seperti pada kemajuan ilmu pengetahuan dan obat-obatan.
KESIMPULAN
Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang
berpendapat bahwa empiri atau pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan.
Akal bukanlah sumber pengetahuan, akan tetapi akal berfungsi mengolah data-data
yang diperoleh dari pengalaman. Metode yang digunakan adalah metode induktif.
Jika rasionalisme menonjolkan “aku” yang metafisik, maka empirisme menonjolkan
“aku” yang empiris.
Empirisme barawal dari Plato hingga John
Locke. Diantara tokoh- tokohnya adalah Davide Hume, Thomas Hobbes, dll.
Empirisme memiliki banyak pengaruh dalam bidang ilmu pengetahuan. Diantaranya
adalah dalam pengemangan berpikir induktif, tradisi empirisme adalah fundamen
yang mengawali mata rantai evolusi ilmu pengetahuan sosial, terutama dalam
konteks perdebatan apakah ilmu pengetahuan sosial itu berbeda dengan ilmu alam,
dll.
Ada dua ciri pokok empirisme, yaitu mengenai teori tentang makna dan teori tentang
pengetahuan. Teori makna pada aliran empirisme biasanya
dinyatakan sebagai teori tentang asal pengetahuan, yaitu asal-usul idea atau
konsep dan teori pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
Adian, Donny Gahral, 2002. Menyoal
Objektivisme Ilmu Pengetahuan dari David Hume sampai Thomas Khun. Jakarta:
Teraju
Ash-
Shadr, Muhammad Baqir,1994. Falsafatuna. Bandung: Mizan, 1994
Bagus , Lorens,1996. Kamus Filsafat.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Bambang Q. Anees
& Radea Juli A. Hanbali. Filsafat Umum, (cet.I Jakarta: Prenada Media, 2003)
Hadiwijono, Harun,1993.
Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius. Cet IX
Maksum, Ali. 2008. Pengantar Filsafat dari
masa Klasik Hingga Potmodernisme Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Q- Anees, Bambang. dan Radea Juli A. Hambali, 2003.
Filsafat Untuk Umum Jakarta: Kencana
Sadullah, Uyyoh, 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta
Schmad, Henry J., 2002. Filsafat Politik: Kajian
Toeri Historis dari Zaman Yunani Kuno sampai Zaman Modern Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Shimogaki, Kazuo.
Tt. Kiri Islam (antara modernisme dan posmodernisme) trj. Azis dan Jadul
Yogyakarta: Lkis
Solomon, Robert C. & Kathleen M. Higgins 2002. A Short
History of Philosophy, terjemahan. Yogyakarta: Bentang Budaya
Tafsir, Ahmad. 2008. Filsafat Umum,
Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
[2] Ali Maksum, Pengantar Filsafat dari masa Klasik Hingga Potmodernisme
(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008) hlm.357.
[3] Uyyoh Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung: Alfabeta, 2003), hlm 32.
[4] Harun Hadiwijono, Srai
Sejarah Filsafat Barat 2
(cet. IX: Yogyakarta: Kanisius:
1993)hlm. 31
[5] Harun Hadiwijono, Op.Cit.
hlm. 32
[6] Ibid., hlm. 36
[7] Bambang Q. Anees &
Radea Juli A. Hanbali. Filsafat Umum, (cet.I Jakarta: Prenada Media,
2003) hlm. 314
[8] Ahmad Tafsir, Filsafat
Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra (Bandung: Rosda, 2008), hlm.174
[9] Lorens Bagus, Kamus
Filsafat. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama: 1996) hlm. 201
[10] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan
Hati Sejak Thales Sampai Capra (Bandung: Rosda, 2008), hlm. 175- 174
[11] Ibid., hlm.174
[12] Henry J. Schmad, Filsafat
Politik: Kajian Toeri Historis dari Zaman Yunani Kuno sampai Zaman Modern (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 309
[13] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Cet. IX; Yogyakarta: Kanisius,
1993), hlm. 11
[14] Robert C. Solomon &
Kathleen M. Higgins 2002. A Short History of Philosophy, terjemahan.
Yogyakarta: Bentang Budaya hlm. 386- 387
[15] Donny Gahral Adian, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan dari David
Hume sampai Thomas Khun, (Jakarta: Teraju, 2002) hlm. 49
[16] Solomon, Sejarah
Filsafat.. hlm. 387
[17] Ali Maksum. Pengantar filsafat: dari Masa Klasik
hingga Postmodernisme (Jakarta: Ar
Ruzz Media,2008) hlm. 134
[18] Bambang Q- Anees dan Radea Juli A. Hambali, Filsafat Untuk Umum (Jakarta:
Kencana, 2003) hlm. 337
[19] Muji Sutrisno dan F. Budi
Hardiman, Para Filsuf Penentu Gerak Zaman (Yogyakarta: kanisius, 1992).
Hlm. 61
[20] Kazuo Shimogaki, Kiri
Islam (antara modernisme dan posmodernisme) trj. Azis dan Jadul (Yogyakarta:
Lkis) hlm. 26
No comments:
Post a Comment