Sponsor

Monday, May 13, 2013

MENANAMKAN JIWA ANTI KORUPSI PADA ANAK BANGSA MELALUI PENDIDIKAN KATAKTER

Hasil gambar untuk ANTI KORUPSI


PENDAHULUAN
      A.            Latar Belakang
Hampir setiap hari kita melihat dan mendengar berita tentang korupsi baik di media massa maupun elektronik. Anak-anak sampai orang dewasa dapat dengan mudah mengakses berita tersebut. Namun, tanpa disadari hal itu justru akan menimbulkan dampak negatif kepada anak-anak yang cara berfikirnya masih abstrak, terutama pada pengeroposan karakter. Anak bangsa yang notabene merupakan calon penerus dan pemimpin bangsa, jika karakter mereka tidak bimbing dan diarahkan sejak dini maka ditakutkan nantinya mereka akan terpengaruh oleh lingkungan dan budaya- budaya yang tidak sesuai dengan aturan- aturan dan norma- norma yang berlaku dan diharapkan.
Modus korupsi yang dulunya sekadar “salam tempel” sekarang menjadi semakin canggih dan sistemik mulai dengan rekayasa anggaran, bagi-bagi cek perjalanan, penggunaan kata sandi (password) apel Malang dan apel Washington, pengadaan kredit fiktif, manipulasi proyek, manipulasi data pajak, dan lain-lain modus operandi korupsi.
Amanat Undang-Undang No. 20 tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional Indonesia menyebutkan bahwa pengembangan karakter seperti beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab menjadikan fungsi dan tujuan yang harus dicapai dalam proses pembelajaran di sekolah
Melihat fenomena korupsi yang semakin marak, membudaya, canggih, bahkan mampu melakukan regenerasi dengan lahirnya koruptor-koruptor muda, memang sudah sangat mendesak untuk adanya penanaman jiwa anti korupsi pada anak bangsa melalui pendidikan karakter di sekolah-sekolah. Artinya, ada keinginan kuat agar pendidikan (sekolah) mampu memberikan kontribusi output siswa didik yang mempunyai integritas tinggi dan mampu menjadi penggiat anti korupsi di tengah masyarakat.
       B.            RUMUSAN MASALAH
Penulis telah menyusun beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai batasan dalam pembahasan bab isi. Adapun beberapa masalah yang akan dibahas dalam karya tulis ini antara lain:


BAB II
PEMBAHASAN
                  A.            Pengertian Jiwa Anti Korupsi
Sebelum mengetahui jiwa anti korupsi, terlebih dahulu kita mengetahui apa itu korupsi. Dalam mukadimah buku saku pandangan Islam terhadap korupsi,tertulis bahwa Istilah korupsi berasal dari perkataan latin ”coruptio” atau ”corruptus” yang berarti kerusakan atau kebobrokan. Istilah korupsi di beberapa negara, seperti ”gin moung” (Muangthai) yang berarti makan bangsa, ”tanwu” (Cina) berarti keserakahan bernoda, dan di Jepang ”Oshoku” berarti kerja kotor. Inti makna korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, penyimpangan, menghianati kepercayaan, penggelapan, penipuan, penyuapan, dan sebagainya yang mengandung nilai penghinaan dan fitnah.
Dalam literatur Fiqh, setidaknya ada enam istilah untuk korupsi, yaitu;
1.      Ghulul (penggelapan),
2.      risywah (penyuapan),
3.      Ghashab (perampasan),
4.      ikhtilas (pencopetan),
5.      Sirqoh (pencurian) dan
6.      Hirabah (perampokan)[1]
Kata anti sendiri dalam kamus ilmiah populer memiliki makna benci, menolak, melawan dan menentang. Jadi anti korupsi ialah benci, menolak atupun melawan korupsi. Dalam artian seseorang harus menghindarkan dirinya dari korupsi dan segala hal yang berkaitannya, dan mencoba untuk melawannya jika terrdapat korupsi.
Jati diri merupakan fitrah manusia yang merupakan potensi dan bertumbuh kembang selama hati manusia bersih, sehat dan tidak tertutup. Jati diri yang dipengaruhi oleh lingkungan akan tumbuh menjadi karakter dan selanjutnya karakter akan melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku manusia.[2]
Jiwa anti korupsi merupakan suatu kesadaran seorang individu dimana ia mengetahui apa itu korupsi, bahayanya dan ia berusaha untuk menghindari dan juga melawannya. Ia tidak terbawa dengan keadaan lingkungan, karena ia telah memiliki suatu jiwa yang mana telah ia tanami dengan sikap anti korupsi.
                   B.            Pengertian Pendidikan Karakter
Sebelum mengetahui pengertian pendidikan karakter, terlebih dahulu kita mengetahui apa itu makna karakter. Menurut kamus bahasa Indonesia  karakter diartiian sebagai tabiat, perangai, dan sifat karakter seseorang. Sementara berkarakter diartikan mempunyai kepribadian sendiri. Adapun kepribadian diartikan dengan sifat khas dan hakiki seseorang yang membedakan dengan orang lain.[3]
Menurut Drs. Sunhaji, M.Ag dalam kuliahnya Strategi Pembelajaran pada 9 Oktober 2009, karakter ada 3 macam, yaitu karakter dalam pembelajaran, karakter dalam budaya, dan karakter dalam ekstrakurikuler. Karakter pembelajaran merupakan karakter yang dimiliki oleh siswa dan juga karakter yang ditanamkan saat pembelajaran berlangsung. Karakter budaya merupakan karakter yang ditanamkan dalam diri seseorang yang ditanamkan melalui buday a dan lingkungan disekitarnya. Dan pendidikan karakter ekstrakurikuler merupakan budaya yang dibentuk dan ditanamkan pada diri seseorang melalui kegiatan- kegiatan ekstra, seperti halnya karakter kepemimpinan, sosial dan sebagainya pada anak- anak pramuka.
Menurut UU nomor 20 tahun 2003 disebutkan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Jika dipahami lebih jauh, dalam UU ini sudah mencakup pendidikan karekter. Misalnya pada bagian kalimat terakhir dari defenisi pendidikan dalam UU tentang SISDIKNAS ini, yaitu memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Menurut Kemendiknas  (2010), karakter adalah watak, tabiat, akhlak atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari internalisasi berbagai kebijakan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Sementara pendidikan karakter adalah pendidikan yang mengembangkan nilai- nilai karakter bangsa pada diri peserta didik, sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai- nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan warga negara yang religius, nsaionalis, produktif, dan kreatif.pendidikan dalam setting sekolah diartikan sebagai proses pembelajaran yang mengarahkan pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara utuh yang didasarkan pada suatu nilai tertentu yang ditunjuk oleh sekolah. Definisi tersebut mengandung makna:
1)      Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang terintegrasi dengan pembelajaran yang terjadi pada semua mata pelajaran.
2)      Diarahkan pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara utuh. Asumsinya, anak merupakan organisme manusia yang memiliki potensi untuk dikuatkan dan dikembangkan.
3)      Penguatan dan pengembangan perilaku didasari oleh nilai yang dirujuk sekolah/ lembaga.
Dengan demikian pendidikan karakter merupakan proses pemberian tuntunan peserta/ anak didik agar menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa.peserta didik diharrapkan memiliki karakter yang baik, meliputu kejujuran, tanggung jawab, bersih, cerdas dan sehat, peduli dan kreatif.[4]

                  C.          Konsep Jati Diri dan Esensi Karakter Bangsa
Jati diri merupakan fitrah manusia yang merupakan potensi dan bertumbuh kembang selama hati manusia bersih, sehat dan tidak tertutup. Jati diri yang dipengaruhi oleh lingkungan akan tumbuh menjadi karakter dan selanjutnya karakter akan melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku manusia. Oleh karena tugas kita adalah menyiapkan lingkungan yang dapat mempengaruhi jati diri menjadi karakter yang baik, sehinnga perilaku yang dihasilkan juga baik. Karakter pribadi- pribadi aan menjadi karakter masyarakat dan pada akhirnya menjadi karakter bangsa.
Dalam rangka untuk memperkuat pelaksanaan pendidika karakter telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya dan tujuan Pendidikan Nasional, diantaranya yaitu;Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa ingin tahu, Semangat kebangsaan, Cinta tanah air, Menghargai prestasi, Bersahabat/ komunikatif, Cinta damai, Gemar menbaca, Peduli lingkungan, Peduli sosial, Tanggung jawab.[5]
Untuk kemajuan Republik Indonesia, diperlukan karakter yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, patriotik, dinamis, berbudaya, dan b erorientasi Iptekk berdasarkan Pancasila dan di jiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karakter yang berlandaskan falsafah Pancasila artinya setiap aspek karakter harus dijiwai kelima sila Pancasila secara utuh dan komprehensif yang dapat dijelaska sebagai berikut:[6]
1.Bangsa yang Berketuhanan yang Maha Esa
2.Bangsa yang Menjunjung Kemanusiaan yang Adil daan Beradab
3.Bangsa yang mengedepankan Persatuan dan Kesatuan Bangsa
4.Bangsa yang Demokrratis dan menjunjung tinggi hukum dan Hak Asasi Manusia
5.Bangsa yang Mengedepankan Keadilan dan Kesejahteraan

                  D.          Pendidikan Karakter Untuk Membangun KeberadabanBangsa
Sejarah memberikan pelajaran yang amat berharga, betapa perbedaan, pertentangan, dan pertukaran pikiran itulah sesungguhnya yang mengantarkan kita ke gerbang kemerdekaan. Melalui perdebatan tersebut kita banyak belajar, bagaimana toleransi dan keterbukaan para Pendiri Republik ini dalam menerima pendapat, dan berbagai kritik saat itu. Melalui pertukaran pikiran itu kita juga bisa mencermati, betapa kuat keinginan para Pemimpin Bangsa itu untuk bersatu di dalam satu identitas kebangsaan, sehingga perbedaan-perbedaan tidak menjadi persoalan bagi mereka.
Karena itu pendidikan karakter harus digali dari landasan idiil Pancasila, dan landasan konstitusional UUD 1945. Sejarah Indonesia memperlihatkan bahwa pada tahun 1928, ikrar “Sumpah Pemuda” menegaskan tekad untuk membangun nasional Indonesia. Mereka bersumpah untuk berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu yaitu Indonesia. Ketika merdeka dipilihnya bentuk negara kesatuan. Kedua peristiwa sejarah ini menunjukan suatu kebutuhan yang secara sosio-politis merefleksi keberadaan watak pluralisme tersebut. Kenyataan sejarah dan sosial budaya tersebut lebih diperkuat lagi melalui arti simbol “Bhineka Tunggal Ika” pada lambang negara Indonesia.
 Dari mana memulai dibelajarkannya nilai-nilai karakter bangsa, dari pendidikan informal, dan secara pararel berlanjut pada pendidikan formal dan nonformal. Tantangan saat ini dan ke depan bagaimana kita mampu menempatkan pendidikan karakter sebagai sesuatu kekuatan bangsa. Oleh karena itu kebijakan dan implementasi pendidikan yang berbasis karakter menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka membangun bangsa ini. Hal ini tentunya juga menuntut adanya dukungan yang kondusif dari pranata politik, sosial, dan budaya bangsa.
 ”Pendidikan Karakter Untuk Membangun Keberadaban Bangsa” adalah kearifan dari keaneragaman nilai dan budaya kehidupan bermasyarakat. Kearifan itu segera muncul, jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas plural yang terjadi. Oleh karena itu pendidikan harus diletakan pada posisi yang tepat, apalagi ketika menghadapi konflik yang berbasis pada ras, suku dan keagamaan. Pendidikan karakter bukanlah sekedar wacana tetapi realitas implementasinya, bukan hanya sekedar kata-kata tetapi tindakan dan bukan simbol atau slogan, tetapi keberpihak yang cerdas untuk membangun keberadaban bangsa Indonesia. Pembiasaan berperilaku santun dan damai adalah refreksi dari tekad kita sekali merdeka, tetap merdeka. (Muktiono Waspodo)[7]

                   E.          Proses pendidikan karakter demi terwujudnya jiwaanti korupsi pada anak  bangsa
Demi terwujudnya jiwa anak bangsa yang anti terhadap korupsi maka dapat direalisasikan melalui beberapa cara, yaitu;
1)      Melalui keteladanan
Ini yang berat bagi seorang guru. Memberi contoh. Sifat anak adalah suka meniru, oleh karena itu sebagai guru hendaknya harus selalu memberi contoh yang baik sesuai dengan norma dan aturan yang ada. Maksud memberi contoh disini bukan sekedar menjelaskan contoh perilaku anti korupsi, tetapi ia sendiri mengamalkan perilaku yang ia ajarkan,sehingga dapat dicontoh para siswa. Seperti halnya sikap jujur, tidak berbohong dan memakan apa yang bukan haknya.
Merujuk pada nasihat Bapak Pendidikan Indonesia KH Dewantara, sekolah dan guru yang tidak bisa memberikan contoh keteladanan (ing ngarso sung tulodho) maka akan menyebabkan siswa mendapatkan bahaya dan kecelakaan (nyaru beboyo lan ciloko) di kemudian harinya..
2)      Melalui pembiasaan
Pembiasaan adalah merupakan salah satu cara yang dapat dipergunakan untuk mendidik siswa. Dengan cara ini diharapkan siswa akan terbiasa melalukan hal yang baik-baik.
Contoh untuk menanamkan jiwa anti korupsi ialah dengan jujur, seperti diadakannya kantin kejujuran dalam sekolah, disitulah siswa dilatih untuk bersikap jujur, karena ia yang mengambil jajan, ia yang membayar, ia yang menghitung dan ia juga yang memberikan kembalian uang sisa jajan. Dan bagi siswa yang ketahuan tidak jujur, maka diberikan hukuman yang sesuai agar dapat menimbulkan efek jera terhadap siswa sehingga siswa tidak mengulangi kesalahannya.
3)      Melalui Kurikulum.
Cara ini dapat ditempuh dengan memasukkan konsep karakter bangsa anti korupsi pada para siswa melalui kurikulum /program sekolah . Disini peran guru sangat penting dan diharapkan melalui kurikulum /program sekolah dengan kelengkapan silabus dan RPPnya guru dapat menanamkan jiwa dan karakter anti korupsi agar para siswa menjadi bangsa Indonesia yang tertanam dalam dirinya sifat- sifat anti korupsi.[8]
Dalam artikelnya, Prof . Suyanto Ph.D menyatakan bahwa terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.

 Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan.
 Dasar pendidikan karakter ini, sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age), karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak.
Dengan pendidikan karakter, penerapan, penanaman dan pembentukan jiwa anti korupsi yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk melawan korupsi..


KESIMPULAN

Jati diri merupakan fitrah manusia yang merupakan potensi dan bertumbuh kembang selama hati manusia bersih, sehat dan tidak tertutup. Jati diri yang dipengaruhi oleh lingkungan akan tumbuh menjadi karakter dan selanjutnya karakter akan melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku manusia.
. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak. Setelah itu dapat juga diterapkan dilingkungan sekitar (masyarakat) dan juga pendidikan formal yaitu sekolah.
Dengan pendidikan karakter, penerapan, penanaman dan pembentukan jiwa anti korupsi yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seornga anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan mudah berhasil menghadapi segala macam tantangan untuk melawan korupsi.
Pendidikan karakter dapat diterapkan melalui beberapa cara, yaitu melalui keteladanan, kebiasaan, dan kurikulum yang dibuat oleh sekolah. Dapat juga dengan menerapkan cara knowing the good, feeling the good, dan acting the good.



DAFTAR PUSTAKA


Badudu, J.S., dan Sutan Muhammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: paramadina, 1997
Bahan pelatihan penguatan metodologi pembelajaran berdasarkan nilai- nilai budaya untuk membentuk daya saing dan karakter bangsa, kementrian pendidikan nasional , badan penelitian dan pengembangan kurikulum, 2010,
Komisi Pemberantasan Korupsi.Buku Saku untuk Memahami Pandangan IslamTterhadap Korupsi: koruptor; Dunia Akhirat di Hukum. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi. 2007
Majid, Abdul, dkk. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2012
Tim penelitian program DPP Bakat Minat dan Keterampilan Fakultas Tarbiyah dan keguruan UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Pendidikan Karakter Pengalaman Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah. ( Jogkakarta: Tim penelitian program DPP Bakat Minat dan Keterampilan Fakultas Tarbiyah dan keguruan UIN Sunan Kalijaga. 2011








[1] Komisi Pemberantasan Korupsi.Buku Saku untuk Memahami Pandangan IslamTterhadap Korupsi: koruptor; Dunia Akhirat di Hukum. 2007( Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi).  hlm. 7
[2] Tim penelitian program DPP Bakat Minat dan Keterampilan Fakultas Tarbiyah dan keguruan UIN Sunan Kalijaga JogjakartaPendidikan Karakter Pengalaman Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah, 2011, ( Jogkakarta: Tim penelitian program DPP Bakat Minat dan Keterampilan Fakultas Tarbiyah dan keguruan UIN Sunan Kalijaga), hlm 44
[3] Badudu, J.S., dan Sutan Muhammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: paramadina, 1997. hlm. 617
[4] Tim penelitian program DPP Bakat Minat op. Cit. hlm. 8
[5] Bahan pelatihan penguatan metodologi pembelajaran berdasarkan nilai- nilai budaya untuk membentuk daya saing dan karakter bangsa, kementrian pendidikan nasional , badan penelitian dan pengembangan kurikulum, 2010, hlm., 25-30
[6] Tim penelitian program DPP Bakat Minat op. Cit. hlm. 45-46

No comments:

Post a Comment