Sponsor

Monday, May 13, 2013

TAFSIR MADHAB - MADHAB KALAM PERIODE AFIRMASI PERBEDAAN PAHAM MU’TAZILAH DAN DAN ASY’ARIAH TENTANG KEADILAN ILAHI


Gambar terkait

PENDAHULUAN

“Semua perbuatanNya adalah adil, dan bukan setiap yang adil mesti Dia perbuat”
Pergeseran epistemologi (cara berpikir) ternyata tidak saja terjadi dalam dunia filsafat, tetapi juga dalam dunia tafsir. Dalam perkembangan sejarahnya, tafsir yang secara etimologis berarti al- Kasyf (membuka, menyingkapkan) al- ‘Idlah, al ‘Ibanah (menjelaskan)makna teks al Qur’an,[1] terntata telah mengalami semacam paradigm shift. Pergesersn Epistem dan paradigma itu terjadi karen adilatari oleh kondisi sosio-historis dari para mufassir yang berbeda-beda dan tentunya memiliki implikasi teoritis tersendiri bagi proses dan produk penafsiran.
Secara kategoris, istilah tafsir dapat dibedakan menjadi dua yaitu: Pertama, tafsir sebagai produk, ia merupakan tafsir dealektika seorang mufassir dengan teks dan konteks yang tertuang dalam kitab- kitab tafsir, baik secara lengkap 30 jz, maupun yang hanya sebagian ayat Al Qura’an. Kedua, tafsir sebagai proses, ia merupakan aktifitas berpikir untuk mentafsirkan objek (dalam hal ini teks Al Qur,an dan realitas).
Saat kita mendapati seorang pemimpin A melanggar hak orang lain dan  berbuat dzalim terhadap rakyatnya, apa yang akan kita katakan? Dan bagaimana pula saat kita mendapati seorang pemimpin B yang selalu melakukan apa yang memang sudah menjadi hak dan kewajibannya? Tak jauh, kita pasti akan mengatakan bahwa pemimpin yang A merupakan pemimpin yang dzalim dan tidak adil, dan pemimpin yang kedua adalah pemimpin yang adil dan bijaksana.
Saat hal tersebut dilakukan oleh manusia kita dapat menilainya secara langsung, apakah hal tersebut adil atau merupakan perbuatan dzalim, namun dapatkah kita nisbahkan hal yang sama tersebut terhadap Tuhan?
Sering terjadi perdebatan sengit antar berbagai aliran yang menyatakan dirinya masing- masing sebagai golongan yang paling benar dan yang lain salah, bahkan tak jarang mereka saling mengkafirkan satu sama lain. Seperti halnya golongan Mu’tazilah yang membumingkan tentang keadilan Ilahi, yang mana Tuhan tidak mungkin melakukan kedzaliman sehingga manusia bebas dalam berkehendak, sedangkan Asy’ari dan beberapa aliran yang lain menyatakan bahwa Tuhan itu adil tetapi tidak membebaskan manusia sepenuhnya seperti yang dikatakan oleh Mu’tazilah.
Dalam makalah ini akan dibahas tafsir era afirmatif dengan nalar ideologis, dan perdebatab antara Mu’tazilah dan Asy’ariah sebagai contohnya, dan pandangan mereka tentang Keadilan Ilahi yang berkait dengan kebebasan manusia dalam berbuat dan berkehendak, dan diberikan beberapa pandangan penulis terkait perdebatan tersebut.









Penafsiran di era ini lebih di dominasi oleh kepentingan- kepentingan ideologi tertentu. Posisi al Qur’an sering kali di perlakukan hanya sebagai legitimsi ideologis, teologis atau madzhab tertentu. Posisi al- Qur’an di sini cenderung sebagai objek, sedangkan realitas dan mufassirnya sebagai subjek. Akibatnya sering terjadi pemaksaan gagasan  non-qur’ani dalam penafsiran al-Qur’an.
Di era afirmatif ini berbagai kitab tafsir terus bermunculan seiring dengan perkembangan peradaban manusia, utamanya mulai dari abad ke 3 Hijriah sampai sekitar abad ke 5 Hijriah. Bahkan tafsir merupakan disiplin ilmu yang sangat mendapat perhatian khusus dari para sarjana muslim selama berabad- abad. Setiap generasi muslim dari masa ke masa telah melakukan interpretasi dan reinterpretasi terhadap al-Qur’an.
Beragam corak dan beragam penafsiran mulai muncul terutama masa akhir dinasti Bani Umayah dan awal Bani Abbasiyah, terutgama pada masa kekhalifahan Harun Al Rasyid yang kemudian dilanjutkan oleh Al Makmun.
Munculnya tafsir- tafsir sufi seiring dengan era penerjemahan karya- karya filsafat Neo- Platonisme di dunia Islam. Di era ini kecenderungan ideologis memang sangat kuat, namun ada kelebihan yang menonjol dari era ini yaitu bahwa telah munncul prodik-  produk penafsiran yang sistematis dan sampai ke generasi sekarang dalam bentuk buku. Era ini di kenal sebagai era keemasan ilmu pengetahuan yang ditandai dengan berkembangnya berbagai diskusi di segala cabang ilmu pengetahuan. Dan perhatian pemerintah dalam hal ini menjadi stimulus yang sangat signifikan bagi perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Kepedulian pemerintah terlihat dari peneremahan buku- buku ilmiah atau pengiriman delegasi ilmiah ke pusat- pusat ilmu pengetahuan dunia yang terkenal.
Dalam forum khalifah sering terjadi dialog antar disiplin ilmu yang kadang- kadang berakhir dengan mendiskreditkan pihak lain. Perdebatan terjadi antara ahli kalam dan ahli hadis, demikian juga antara ahli kalam dengan ahli fiqih.
Dampak psikologis dari ketegangan antar disiplin ilmu di atas adalah bahwa di kalangan masing- masing peminat ilmu berusaha untuk meraih dukungan masyarakat maupun pemerintah dari klaim kebenaran dan menunjukkan kebenaran pihaknya dengan mencari justifikasi dari al- Qur’an. Dukungan resmi dari pemerintah terhadap disiplin ilmu tertentu pada gilirannya tidak saja menjadikan peminat disiplin tersebut bangga dengan minatnya, bahkan mengecilkan arti penting disiplin yang lain.
Pada periode pertengahan bahkan muncul fanatisme terhadap kelompok- kelompok tertentu yang kemudian mengarah kepada sikap taklid buta. Tidak Cuma itu, bahkan sampai ada kecenderungan untuk menghapuskan sikap toleransi dan cara berpikir kritis. Akibatnya bagi generasi ini, pendapat imam dan tokoh besar dalam fiqh tertentu misalnya, seringkali menjadi basis dan standar penafsiran teks al-Qur’an atau bahkan di posisikan setara dengan teks itu sendiri. Sikap fanatik dan sektarianisme yang berbasis pada nalar ideologis, akhirnya memunculkan kelompok moderat yang berusaha merespon fanatisme tersebut.[2]



Sumber Penafsiran
Metode Penafsiran
Validitas Penafsiran
Karakteristik dan tujuan penafsiran
Akal (itihad) lebih dominan daripada Qur’an dan Hadis

Posisi Penafsir sebagai subjek dan teks sebagai objek
Bi al Ra’yi deduktif- tahlili; dengan analisis kebahasaan dan disiplin keilmuan masing- masing mufassir
Kesesuaian (Coherency) antara hasil penafsiran dengan kepentingan penguasa dan madzhab (aliran) dan ilmu yang di tekuni oleh para mufassir
Ideologis Sektarian; pemaksaan gagasna non- qur’ani; ada kecenderungan truth daim
Tujuan penafsiran untuk mendukung kekuasaan, madzhab atau ilmu yang di tekuni mufassir.
1.      Mu’tazilah
a.      Aliran Mu’tazilah
Secara harfiah Mu’tazilah berasal dari i’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti menjauhkan diri. Secara teknis Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan, yaitu golongan Mu’tazilah I muncul sebagai respon politik murni dan golongan kedua disebut Mu’tazilah II sebagai respon persoalan teologis yang berkembang dikalangan khawarij dan Murji’ah akibat adanya peristiwa tahkim.[4]
Golongan Mu’tazilah dikenal juga dengan nama ahl al- ‘adl  yang berarti golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan dan ahl at- tauhid wa ‘adl  yang berati golongan yang mempertahankan keesaan murni dan keadilan Tuhan. Lawan berarti Mu’tazilah  memberi nama golongan al Qadariah karena mereka menganut paham free will and free act, yakni bahwa manusia itu bebas berkehendak dan bebas berbuat.
Mu’tazilah memiliki lima ajaran dasar teologi, kelima ajaran tersebut tertuang dalam al Ushul al khamsah adalah at Tauhid (pengesaan Tuhan), al ‘adl, (Keadilan Tuhan), al waad al wa’id (janji dan ancaman Than), al Manzilah bainal Manzilatain (posisi diantara dua posisi), dan al amr bi al ma’ruf wa nahy an al munkar (menyeru kepadada kebaikan dan mencegah kemungkaran).[5]
b.      Metode Mu’tazilah
Ciri yang paling khusus dari Mu’tazilah, ialah bahwa mereka meyakini sepenuhnya kemampuan akal. Prinsip ini mereka gunakan untuk menghukumi berbagai hal. Mereka berpendapat bahwa alam punya hukum kokoh yang tunduk pada akal. Mereka tidak mengingkari naql  (teks al Qur’an dan Hadits), tetapi tanpa ragu- ragu mereka menundukkan naql kepada hukum akal.  Mereka menetapkan bahwa akal adalah sebelum sam’i. Untuk itu mereka menakwilkan ayat- ayat mutasyabihat, menolak hadits- hadits yang tidak diakui oleh akal. Secara garis besar mereka menghindari hadits ahad.
Aliran Mu’tazilah memakai akal sebagai prinsip tahsin (untuk menganggap baik), dan taqbih (menganggap buruk). Artinya mereka memendang baik baik jika sesuatu itu dinyatakan baik oleh akal, dan jelek jika sesutau dinyatakan jelek oleh akal. Mu’tazilah memiliki kecenderungan sangat akliah dalam mengemukakan argumentasinya, dan Mu’tazilah selalu berusaha mengompromikan antara pemikiran- pemikiran Islam dengan pemikiran- pemikiran tsaqofah Yunani, untuk membangun madhab yang sudah populer tersebut. Pemberian status akal yang sangat tinggi pada aliran Mu’tazilah ini terlihat pada aspek: pertama manusia mempunyai kemampuan besar dengan akal yang dimilikinya, dan kedua, bahwa segala perbuatan manusia secara eskatologis tak ada yang sia- sia pada masa apaun.[6]
Ayat- ayat al qur’an yang dijadikan sandaran dlam memperkuat pendapat Mu’tazilah adalah;[7]
Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan (QS. Al anbiya: 47)
Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak dibalasi, kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan. ( QS.Yasin; 54)
Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya. (QS. Al Fushilat: 46)
Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar (QS. An Nisa: 40)
Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: "Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun." (QS. Al Kahfi: 49)
2.      Asy’ariah
a.      Aliran asy’ariah
Aliran Asyari’ah adalah adalah aliran sinkretis yang berusaha mengambil sikap tengah- tengah antara dua kutub akal dan naql, antara kaum salaf dan Mu’tazilah. Titik tengah yang sebenarnya, selamanya tidak jelas, dan tak terbataskan. Dengan sendirinya ia tidak menyetujui kedua belah pihak , sebaliknya tidak terlepas dari kritik oleh kaum Mu’tazilah belakangan dimana pemipinnya adalah al Qaadi Abdul Jabbar maupun kaum kaum salaf belakang dimana tokoh terdepannya adalah Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyah. Dari sisi lain, orang yang memadukan itu berusaha untuk menyelaraskan dan menghubungkan antara pandangan- pandangan  dari kedua belah kubu yang sling berlawanan. Puncak tujuannya adalah hubungan ini harus sempurna dalam bentuk yang bisa diterima.[8]
Asy’ariah pada abad ke- 6 H menjadi madhab satu- satunya dan akidah yang resmi bagi daulah Sunni. Tak Pelak lagi bahwa orang- orang Saljuk dan Ayubiah yang datang sesudah mereka mengakarnya di Timur, dan Ibnu Tumart, murid al Ghazali ini berhasil mentransfernya ke Maghrib. Hingga saat ini pendapat Asy’ariah telah menjadi akidah Ahl- al Sunnah. Pendapatnya dekat sekali dengan pendapat al Maturidi yang satu saat pernah ia tentang disebabkan oleh persaingan dalam masalah Fiqh, karena ia mewakili orang- orang syafi’iah dan Malikiah mendominasi pendapat al Asy’ari.
b.      Metode Asy’ariah
Mazhab Asy’ariah bertumpu pada al- Qur’an dan Sunnah. Mereka amat teguh memegangi al Ma’su, ittiba’  lebih baik daripada ibtida, (membuat bid’ah). Al asy’ari mengatakan : “pendapat yang kami ketengahkan dan akidah yang kami pegangi adalah sikap berpegang teguh pada Kitab Allah, Sunnah Nabi- Nya,dan apa yang diriwayatkan dari sahabat, tabi’in, dan imam- imam hadits...”
Dalam mensitir ayat dan hadits yang hendak dijadikan argumentasi, kaum Asy’ari bertahap, yang ini merupakan pola yang sebelumnya sudah diterapkan oleh al Asy’ari. Basanya mereka mengambil makna lahir dari Nash (teks ayat al Qur’an dan Hadits). Mereka berhati- hati, tidak menolak, penakwilan. Sebab, memang ada nash- nash tertentu yang memiliki pengertian samar yang tidak bisa diambil dari makna lahirnya, tetapi harus ditakwilkan untuk mengetahui pengertian yang dimaksud.
Kaum asy’ariah tidak menolak akal, karena bagiamana mereka akan menolak akal padahal Allah sendiri menganjurkan agar umat Islam melakukan kajian Rasional:
“Apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi (al A’raf 185).”
Pada prinsipnya kaum Asy;ariah tidak memberikan kebebasan sepenuhnya kepada akal seperti yang dilakukan oleh kaum Mu’tazilah, sehingga tidak memenangkan dan menempatkan akal di atas naql (teks- teks agama). Bahkan sebaliknya, mereka secara umum berprinsip bahwa naql menempati posisi teratas. Akal mereka anggap sebagai pelayan bagi naql. Akal dan naql saling membutuhkan. Naql bagaikan matahari yang bersinar sedangkan akal laksana mata yang sehat. Dengan akal kita bisa meneguhkan naql dan membela agama.[9]
Ayat- ayat al Qur’an yang dijadikan sandaran oleh aliran Asy’aariah untuk memperkuat pendapatnya adalah ayat Surat al Buruj:16, Surat yunus: 99, Surat as- sajdah: 13, surat al an’am:112, al Baqarah: 253.
Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.( Q.S  al Buruj:16)
Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?(Surat yunus: 99)
Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada tiap- tiap jiwa petunjuk, akan tetapi telah tetaplah perkataan dari padaKu: "Sesungguhnya akan Aku penuhi neraka jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama." (QS. as- Sajdah: 13)
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia[10]. Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.( al An’am:112)
Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya. (QS. Al Baqarah:253).
Ayat- ayat tersebut dipahami oleh Asy’ari sebagai pernyataan tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Kehendak Tuhan mesti berlaku. Bila kehendak Tuhan tidak berlaku, itu berarti Tuhan lupa, lalai dan lemah untuk melaksanakan kehendak-Nya itu, sedangkan sifat lalai, lupa, apalagi lemah, adalah sifat- sifat yang mustahil bagi Allah oleh sebab itu kehendak Tuhan tersebutlah yang berlaku, bukan kehendak yang lain. Manusia berkehendak setelah Tuhan sendiri menghendaki agar manusia berkehendak. Tanpa dikehendaki oleh Tuhan, manusia tidak akan berkehendak apa- apa. Ini berarti kehendak dan kekuasaan Tuhan berlaku semutlak- mutlaknya dan sepenuh- penuhnya. Tanpa makna itu, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan tidak memiliki arti apa- apa.
Karena menenkankan kehendak mutlak Tuhan, aliran Asy’ariah memberi makna keadilan Tuhan dengan pemahaman bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya. Dengan demikian, ketidak adilan difahami dalam arti Tuhan tidak dapat berbuat sekehendak-Nya terhadap makhluk-Nya. Atau dengan kata lain dikataka tidak adil, bila yang dipahami Tuhan tidak lagi berkuasa mutlak terhadap milik-Nya.[11]

3.      Teori Keadilan Ilahi
Adakah kekuasaan dan penciptaan Allah Universal, yaitu menciptakan segala hal yang muncul dari apa saja yang telah dilakukan oleh seorang sekalipun maksiat? Atau allah karena Maha Kesempurnaan-Nya bersih dari penciptaan dosa dan kejahatan. Karena manusi bebas dalam memilih dan berkehendak untuk melakukan perbuatan- perbuatan-Nya.
Adakah Allah memberikan hidayah kepada yang dikehendaki dan menyesatkan kepada yang dikehenadaki dan tidak dimintai tanggug jawab atas apa tindakan-Nya. Atau kita tidak boleh mengasosiasikan kepada Allah suatu bentuk tindakan menyesatkan atau membelokkan seseorang? Karena hal semacam ini tidak termasuk dalam kategori tidak sesuai dengan keadilan.
Akhirnya apakah keadilan Allah yang telah dinyatakan sendiri oleh-Nya dan telah pula kita tetapkan menjadi keharusan untuk merealisasikan pahala kepada orang yang taat dan hukuman kepada orang yang berbuat dosa. Atau karena Dia memilih kehendak mutlak, kekuasaan yang sempurna dan rahmat yang luas, maka dapat menghukum siapa saja yang dia kehendaki, sekalipun ia orang Muslim yang taat dan baik, atau mengampuni siapa saja yang dikehendaki-Nya walaupun ia seorang yang jahat dan durhaka.[12]

Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al ‘adl , yang berarti Tuhan Maha Adil. Adil ini merupakan sifat yang paling gamblang untuk meninjikkan kesempurnaan.karena Tuhan Maha Sempurna, Dia sudah pasti adil. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar- benar adil menurut sudut pandang manusia,karena alam semesta ini sesungguhnya diciptakan untuk kepentingan manusia. Tuhan dipandang adil apabila bertindak hanya yang baik. Begitu pula Tuhan itu adil bila tidak melanggar janji-Nya. Dengan demikian Tuhan trikat dengan janji-Nya.
Ajaran tentang keadilan ini berkait erat dengan beberapa hal berikut ini:
1)      Perbuatan manusia
Manusia menurut Mu’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannyua sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara langsung ataupun tidak. Manusia benar- benar bebas untuk menentuan piilihan perbuatannya; baik dan buruk. Tuhan hanya menyuruh  dan menghendaki yang baik, bukan yang buruk. Adapun yang disuruh Tuhan pastilah baik dan apa yang dilarang-Nya tentulah buruk. Tuhan berlepas diri dari perbuatan yang buruk. Konsep ini memiliki konsekuensi logis dengan keadilan Tuhan, yaitu apapun yang akan diterima manusia di akhirat merupakan balasan perbuatannya di dunia. Kebaikan akan dibalas dengan kebaikan dan kebrukan akan dibalas dengan keburukan, dan itulah keadilan. Karena ia berbuat atas kemauan dan kemampuannya sendiri dan tidak dipaksa.
2)      Berbuat baik dan terbaik
Dalam istilahnya berbuat baik dan terbaik disebut istilah wa al ashlah. Maksudnya adalah kewajiban Tuhan untuk berbuat baik, bahkan terbaik bagi manusia. Tuhan tidak mungkin jahat dan aniaya karena akan menimbulkan kesan Tuhan penjahan dan penganiaya, sesuatu yang tidak layak lagi disebut Tuhan. Jika Tuhan berlaku jahat pada seseorang dan berbuat baik kepada orang lain berarti ia tidak adil/ dengan sendirinya Tuhan juga tidak Mahasempurna. Bahkan menurut an Nazam, salah satu tokoh Mu’tazilah, Tuhan tidak dapat berbuat jahat. Konsep ini berkaitan dengan Kebijaksanaan, Kemurahan, Kepengasihan Tuhan, yaitu sifat- sifat layak bagi-Nya. Artinya, bila Tuhan tidak bertindak seperti itu, berarti ia tidak bijaksana, pelit, kasar/ kejam.
3)      Mengutus Rasul
Mengutus Rasul kepada manusia merupakan kewajiban Tuhan karena alasan- alasan berikut:
1)      Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud, kecuali dengan mwngutus Rasul kepada mereka.
2)      Al Qur’an secara tegas menyatakan kewajuban Tuhan ubtuk memberikan belas kasih kepada manusia (Q.S. As Syu’ara :29). Cara yang terbaik untuk maksud tersebut adalah dengan pengutusan Rasul.
3)      Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Agar tujuan tersebut berhasil, tidak ada jalan lain, selai dengan mengutus Rasul.[13]

Kaum Asy’ariah setuju bahwa Allah adil. Namun, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah penguasa Mutlak. Karena percaya kepada kemutlakan kekuasaan Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan tidak memiliki tujuan, yang mendorong Tuhan melakukan sesuatu adalah kekuasaan dan kehendak Mutlak-Nya dan bukan karena kepentingan manusia atau tujuan yang lain. Mereka mengartikan keadilan dengan menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya, yaitu mempunyai kekuasaan Mutlak terhadap harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai dengan kehendak-Nya. Dengan demikian keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan Mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berkehendak sesuka hati-Nya. Tuhan dapat memberi pahala kepada hamba-Nya atau dapat memberikan siksa dengan sekehendak hatin-Nya, dan itu semua adalah adil bagi Tuhan. Justru tidak adil jika Tuhan tidak dapat berbuat sekehendak-Nya karena Dia adalah Penguasa Mutlak. Sekiranya Tuhan menghendaki semjua makhluk-Nya ke dalam surga ataupun neraka, itu adalah adil karena Tuhan berbuat dan membuat hukum menurut kehendak-Nya.
Aliran Asy’ariah yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kecil dan manuisa tidak memiliki kebebasan atas kehendak dan perbuatannya, mengemukakan bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan haruslah berlaku semutlak- mutlaknya. Al asy’ari sendiri menjelaskan bahwa Tuhan tidak tunduk kepada siapapun dan tidak satu dzat lain diatas Tuhan yang dapat membuat hukum serta menentukan apa yang boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat Tuhan. Malah lebih jauh dikatakan Asy’ari, kaalau memang Tuhan menginginkan, Ia dapat saja meletakkan beban yang tak terpikul oleh manusia.[14]

4.      Analisis Teori Keadilan Ilahi Mu’tazilah Dan Asy’ari
Jika manusia bebas memilih, pahala dan siksa akan memilki konsep dan makna yang sejati, namun sebaliknya jika manusia tidak bebas memilih, kedua tangannya terbelenggu sepenuhnya dibawah kendali kehendak Ilahi dan hukum- hukum serta kodrat- kodrat alam.
Dalam hal ini kaum Mu’tazilah membela keadilan dan kebebasan sedangkan kaum asy’ari atau ahli hadis yang membela predestinasi.
Pada prinsipnya para penolak keadilan tidak menolak prinsip keadilan Ilahi sepenuhnya secara lugas, lantaran al Qur’an yang menjadi sandaran kedua kelompok menentang kedzaliman dan menafikannya dari dzat Allah serta mengisbatkan keadilan pada-Nya. Hanya saja kaum Asy’ari mendefinisikan keadilan ke dalam pengertian khas. Mereka mengatakan :”keadilan itu tidak memiliki hakikat yang tetap sebelumnya sehingga kita belum bisa mengungkapkannya dan menjadikannya sebagai patokan perbuatan Allah. Pasalnya, bila kita menjadikannya sebagai patokan perbuatan Allah, berarti kita membatasi dan memasung kehendak Allah. Bukankah mustahil kita mengasumsikan adanya hukum atau aturan yang menentukan perbuatan- perbuatan Allah SWT?! Semua hukum adalah bagian dari ciptaan-Nya dan ditentukan olehNya. Allah adalah penentu mutlak segala sesuatu setiap asumsi yang menjadikan kehendak Allah sebagai efek (dari sesuatu diluar dirinya), niscaya bertentangan dengan sifat- sifat Allah, seperti kekuasaan dan kewenangan-Nya.[15]
Kaum Asy’ari berpendapat bahwa sifat adil bersumber dari perbuatan Allah qua  perbuatan Allah. Bagi mereka perbuatan pada esensiya tidak memiliki sifat adil ataupun dzalim. Setiap perbuatan menjadi adil apabila perbuata itu berasal dari Allah. Setiap perbuatan Allah pasti adil: sekalipun tidak setiap perbuatan adil dilakukan Allah. Kaum Asy’ari tidak menolak keadilan, hanya saja penafsiran mereka atasnya menyebabkan mereka secara praktis telah menolak keadilan. Kaum Asy’ari mengira bahwa mereka telah mendapatkan cara untuk mentanzihkan Allah dari syirik dari penciptaan, tetapi mereka sebenarnya menyucikan orang- orang yang bernuat zalim dan membebaskan mereka dari beban segenap perbuatan keji.  Apa yang dilakukan mereka pada dasarnya tidak dia lakukan melainkan Allah yang melakukannya, karena semua perbuatan adalah milik Allah.
Sedangkan Mu’tazilah berkeyakinan bahwa sebagaimana halnya keabaikan dan keburukan adalah tolak ukur semua perbuatan manusia, demikian pula kebaukan dan keburukan adalah tolak ukur perbuatan Allah SWT. Mereka berpendapat keadilan itu pada esensi dan substasinya adalah baik, sementara kezaiman itu pada dasarnya adalah buruk. Dan mengningat Allah adalah akal tanpa batas, dan Dialah yang menganugerahkan akal kepada makhluk-Nya, maka Dia tidak akan meninggalkan perbuatan apapun yang yang oleh akal dipandang baik, dan tidak akan melakukan perbuatan apapun yang oleh akal dipandang buruk.
Seangkan menurut perspektif para filsuf, kebaikan dan keburukan dalam perbuatan hanya berlaku pada perbuatan- perbuatan manusia lantaran kesadaran moral manusia dibentuk oleh atas dasar itu. Jadi baik dan buruk itu merupakan ide i’tibari, bukan hakiki. Fungsinya hanyalah sebagai perantara dan sarana. Pelaku potensial merasa perlu pada perantara untuk mencapai tujuan dari perbuatan- perbuatan yang dikehendakinya, dan perantara ini tak lain adalah ide- ide yang ditetapkannya tersebut.
Sebaliknya mengingat Dzat Allah Yang Maha suci adalah eksistensi Mutlak, Kesempurnaan Sejati, dan Aktualitas Murni, maka dia tersucikan dari semua perantara, ide, dan sarana dalam bentuk dan cara apapun. [16]




PENUTUP

Dari pemaparan diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwasannya penafsiran era afirmatif lebih didominasi oleh kepentingan-kepentingan ideologi tertentu sehingga Al Qur’an sering kali diperlakukan sebagai legitimasi ideologis, teolofis atau madzhab tertentu. Posisi Al Qur’an cenderung sebagai objek, sedangkan relitas dan mufassirnya sebagai subjek. Akibatnya sering terjadi pemaksaan gagasan Non-Qur’ani dalam penafsiran al-Qur’an.
Sebagaimana halnya perdebatan yang terjadi antara kaum Mu’tazilah dan Asy’ariah terkait dengan Keadilan Ilahi. Asy’ariah mengatakan bahwasannya Tuhan Adil. Karena percaya kepada kemutlakan kekuasaan Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan tidak memiliki tujuan, yang mendorong Tuhan melakukan sesuatu adalah kekuasaan dan kehendak Mutlak-Nya dan bukan karena kepentingan manusia atau tujuan yang lain. Tuhan mempunyai kekuasaan Mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berkehendak sesuka hati-Nya.
Sedangkan menurut Mu’tazilah Tuhanitu Adil, dan dipandang adil apabila bertindak hanya yang baik. Begitu pula Tuhan itu adil bila tidak melanggar janji-Nya. Dengan demikian Tuhan terikat dengan janji-Nya.
Namun masing- masing pemikiran tersebut memiliki kelemahan masing- masing, dan dapat kita cari titik- titik kesalahan dan kebenaran yang ada di dalamnya. Asy’ariah dan Mu’tazilah yang awalnya ingin mentanzihkan Allah dai segala kemusyrikan ternyata mereka malah menjerembabkan diri mereka sehingga pada akhirnya mereka malah berlaku sebaliknya, yaitu tidak mentanzihkan Allah.



DAFTAR PUSTAKA

Ghazali, Adeng Muchtar. Perkembangan Ilmu Kalam dari Klasik Hingga Modern. Pustaka Setia; Bandung. 2003
Madkour,Ibrahim, Aliran dan Teori Filsafat Islam, Bumi Aksara; Jakarta. 2004
Muhammad ‘Abdul ‘Azhim al- Zarqani, tt, Manahil Irfan fi ‘Ulum al Qur’an, juzz II, Mesir: Busthafa Baby a-Halaby
Musa, M. Yusuf. Al Qur’an dan Filsafat (penuntun mempelajari Filsafat Islam). PT. Tiara Wacana Yogya; Yogyakarta. 1991
Muthahhari, Murtadha. Keadilan Ilahi Asas Pandangan Dunia Islam. PT Mizan Pustaka; Bandung. 2009
Rozak, Abdul, dkk., ilmu Kalam Untuk UIN, STAIN, dan PTAIS, CV Pustaka Setia; Bandung. 2001
Tim Redaksi, Tashwirul Afkar Edisi No. 18, Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, Jakarta Selatan; Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (LAKPESDAM) dan The Asia Foundation (TAF), 2004



[1] Muhammad ‘Abdul ‘Azhim al- Zarqani, Manahil Irfan fi ‘Ulum al Qur’an, juzz II (Mesir: Busthafa Baby a-Halaby, tth)hlm. 3
[2] Tim Redaksi, Tashwirul Afkar edisi No. 18, Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, Jakarta Selatan; Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (LAKPESDAM) dan The Asia Foundation (TAF), hlm. 96
[3] Ibid, hlm. 102
[4] Abdul Rozak, Ilmu kalam untuk UIN, STAIN, dan PTAIN. (CV. Pustaka Setia; Bandung) hlm. 77
[5] Ibid,hlm. 80
[6] Adeng Muchtar Ghozali. Perkembnagan ilmu kalam dari Klasik Hingga Modern (Pustaka Setia; Bandung), hlm. 98
[7] Abdul Rozak, Op. Cit, hlm.82
[8] Ibrahim Madkour. Aliran dan Teori filsafat.(Bumi Aksara; Jakarta), hlm. 64
[9] Ibid, hlm. 66-67
[10] Maksudnya syaitan-syaitan jenis jin dan manusia berupaya menipu manusia agar tidak beriman kepada Nabi.
[11] Abdul Rozak, Op, Cit,  hlm. 184-186
[12] M. Yusuf Musa, Al Qur’an dan filsafat ()penuntun Mempelajari Filsafat Islam (PT. Tiara Wacana Yogya; Yogyakarta ), 93-94
[13] Ibid, hlm. 83-84
[14] Abdul Rozak, Op, Cit, hlm. 184-186
[15] Murtadha Muthahhari. Keadilan Ilahi Asas Pandangan Dunia Islam.( PT Mizan Pustaka; Bandung). Hlm. 17
[16] Ibid , hlm 55

No comments:

Post a Comment