Sponsor

Tuesday, May 14, 2013

ISLAM KULTURAL: PEMIKIRAN PEMBAHARUAN NURCHOLISH MAJID PENDAHULUAN

Hasil gambar untuk nurcholish madjid


Indonesia adalah negara-bangsa yang majemuk. Berbagai ras, suku, bahasa, kebudayaan, agama dan kepercayaan hidup di negeri ini. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” merupakan ungkapan yang tepat untuk menjelaskan realitas sekaligus harapan bangsa ini. walaupun terdiri dari beragam budaya, bahasa, ras, suku, bahasa, agama dan kepercayaan hidup, namun Indonesia tetaplah satu, tetap merasa saling memiliki, saling menghargai satu sama lain.
Beragam budaya dan agama berkembang dalam masyarakat, dimana keduanya tak jarang lebur dan terjadi akulturasi. Aklturasi tersebut seringkali menyebabkan berbagai hal yang dapat membingungkan orang untuk membedakan mana yang produk agama, dan mana yang merupakan produk budaya. Walaupun antara agama dan budaya tidaklah dapat dipisahkan, tetapi juga telah diinsafi oleh banyak ahli, agama dan budaya itu, meskipun tidak dapat dipisahkan namun dapat dibedakan, dan tidak dibenarkan mencampuradukkan diantara keduanya. Agama an sich bernilai mutlak, tidak berubah menurut perubahan waktu dan tempat. Tetapi budaya, sekalipun yang berdasarkan agama, dapat berubah dari waktu ke waktu, dan dari tempat ke tempat. Sementara kebanyakan budaya berdasarkan agama, namun tidak pernah terjadi sebaliknya, yaitu agama berdasarkan agama
Untuk membedakan dan memisahkan antara budaya dan agama, maka diperlukan pembaharuan. Dalam pandangan Nurcholis Madjid, pembaruan harus dimulai dari dua hal yang saling erat hubungannya, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional, dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan.[1] Dorongan melakukan pembaruan inilah yang menurut Nurcholish Madjid, mengandung konotasi, bahwa kaum muslim Indonesia sekarang ini telah mengalami kejumudan kembali dalam pemikiran dan pengembangan ajaran-ajaran Islam, dan kehilangan kekuatan secara psikologis perjuangannya.
Ide pembaruan dalam pemikiran Islam hanya dapat mungkin diterangkan, jika seseorang dapat secara historis-kritis mengamati perkembangan pemikiran Islam dalam hubungannya dengan konteks sosial-budaya yang mengitarinya. Tanpa mengaitkan dengan konteks tidak pernah ada pembaruan. Teks-teks al-Qur’an dan al-Sunnah akan tetap seperti itu adanya, sedang alam, peristiwa-perstiwa alam, peristiwa-peristiwa ilmu dan teknologi akan terus menerus berkembang tanpa mengenal batas yang final.[2]
Terdapat berbagai pemikiran pembaharuan- pembaharuan yang berkembang di kalangan masyarakat sekarang ini, saah satu diantaranya adalah Nurcholish Madjid yang sering di panggil dengan sebutan Cak Nur. Sebagai seorang intelektual, banyak pemikirannya yang berkembang sangatlah berpengaruh di masyarakat. Nurcholis Madjid berhasil mengembangkan wacana intelektual dikalangan masyarakat Islam, diantara beberapa pemikirannya ialah modernisasi, sekuklarisasi, dan desakralisasi.



PEMBAHASAN
Prof. Dr. Nurcholish Madjid, lahir pada 17 maret 1939 dan wafat pada tanggal 29 Agustus 2005, dikenal sebagai cendekiawan yang gigih sebagai perumus wajah baru Islam indonesia” yang empati dan inklusif melalui penyerasian tiga tema besar yang cukup softikatif: keislaman, kemoderenan, dan keindonesiaan.
Nurcholish adalah sosok cendekiawan yang tanpa pamrih. Dengan keberanian moralnya yang nothing to lose, dia tampil dengan gagasan yang segar dan membebaskan. Kalaupun dia dicitrakan sebagai sosok kontroversial, itu sepenuhnya bisa dimakluminya. Baginya, kontroversi menjadi semacam hukum alam (sunnah Allah) yang tak bisa dielakkan. Pada dirinya berlaku pepatah inggris: “to avoid critism, do nothing, say nothing, and be nothing”! ia tidak mau menjadi nothing- bukan karena dia mengharapkan popularitas, tetapi karen aia memandang bahwa itulah tugas yang harus diembannya sebagai hamba Allah.[4]
Di Jombang, Jawa Timur, dari kalangan-kalangan pesantren yang taat menjalankan Agama. Pendidikanya mulai dari sekolah rakyat di Majoanyar pada pagi hari. Sedangkan sore hari ia sekolah di Madrasah Ibtidaiyah di Majoanyar. Setelah menamatkan sekolahnya di Ibtidaiyah, ia melanjutkan belajar ke pesantern Darul Ulum di Rejosa, Jombang. Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya di Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyah (KMI) pesantern Darussalam di Gontor Ponogoro.
Setamat dari Gontor ia melanjutkan studi pada IAIN (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, pada Fakultas Adab, Jurusan Sastra Arab dan tamat tahun 1968. Pendidikan selanjutnya ia lakukan di Universitas Chacigo, Illinois, Amerika Serikat dan berhasil meraih gelar doktor dalam bidang Islmic Thougt (pemikiran islam) pada tahun 1984. Semasa jadi mahasiswa Nurcholis Madjid banyak melakukan kegiatan di berbagai organisasi. Ia pernah menjadi ketua umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Ciputat pada tahun 60-an, kemudian menjadi ketua umum pengurus besar HMI selama periode 1966-1969 dan 1967-1971.
Setamat dari IAIN Syarif Hidayatulloh jakarta, Nurcholis Madjid bekerja sebagai dosen di almamaternya, mulai tahun 1972-1976. Setelah berhasil meraih gelar doktor pada tahun 1985, ia ditugaskan memberikan kuliah tentang filsafat di Fakultas Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatulloh Jakarta. Selain sebagai orang yang banyak berkecimpung di organisasi dan memangku berbagai jabatan,  Nurcholis Madjid juga sebagai seseorang penulis yang produktif. Diantara karya tulisnya yang dapat disebut disini adalah sebagai berikut:[5]
1)      Khazanah intelektual Islam, (Jakarta, Bulan Bintang 1984)
2)      Islam Kemordenan dan Keislaman (Bandung, Mizan 1987)
3)      Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemordenan, (Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina 1992 )
4)      Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Karya bersama para pakar Indonesia lainya), (Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina  1995)
5)      Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Jakarta, Yayaysan Wakaf Paramadina  1995)
Selanjutnya sejak tahun 1986 Nurcholis Madjid mendirikan dan memimpin Yayasan Wakaf Paramadina dengan kegiatan yang mengarah kepada gerakan intelektual Islam indonesia.
1.      Islam Kultural[6]
Islam Kultural sebagai sebuah gerakan dimulai sejak tahun 1970 lebih terlihat muncul sebagai sebuah mainstream (arus utama) pemikiran dari pada sebuah gerakan yang tampak secara fisik, namun dampaknya dapat dirasakan terutama dalam menimbulkan wacana publik dan penyadaran terhadap umat dalam menyikapi permasalah sosial di sekitarnya. Selain itu juga, Islam Kultural dengan membawa konsep culture (budaya) berarti berniat menjadikan Islam sebagai sebuah cairan budaya yang merembes masuk ke setiap pori-pori kehidupan masyarakat Indonesia sehingga akan tercermin dari pola-pola perilaku keseharian umat yang berasaskan Islam.
Menurut Hassan Tibi Islam Kultural merupakan sebuah gerakan revitalisasi (cultural revitalization) yang lebih menekankan tampilnya Islam sebagai sumber etika dan moral serta landasan kultural dalam kehidupan seluruh bangsa Indonesia (Anwar, 1995). Dapat dikatakan bahwa Islam Kultural muncul sebagai sebuah ‘counter’ atau ‘tandingan’ dari meredupnya Islam politik sejak jatuhnya pesona Masyumi sebagai basis politik Islam terbesar dari kancah perpolitikan nasional karena keterlibatannya dalam gerakan Darul Islam-Tentara Islam Indonesia (DI-TII) tahun 1947.
Dari pengalaman sejarah menunjukkan bahwa Islam Politik hanya melahirkan perpecahan dan tidak menimbulkan sinergi antara umat Islam maka munculah adigium yang mengkritik kondisi Islam di dunia perpolitikan yang populer pada tahun 1970-an yang dilontarkan oleh seorang cendikia muda Nurcholis Madjid ‘Islam Yes, Politik Islam No’ konsesi ini menekankan akan sekulerisasi pergerakan Islam dalam bidang politik, Islam harus lebih berperan sebagai pandu moral dan sosial yang tercermin dalam konsepnya yang terkenal yaitu Islam kultural. Gerakan ini memperoleh sambutan positif dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) dengan mundur dari kancah politik dan bersifat kooperatif terhadap pemerintah.
Gerakan Islam kutural yang dimulai sejak tahun 1970 sebagai sebuah gerakan kaum cendikia yang mencoba memobilisasi pikiran masyarakat untuk tidak selalu terfokus pada gerakan politik yang hanya menimbuklan perpecahan, sesuai dengan pendapat Buya Syafii Maarif yang menyatakan:
“Politik hanya memecah belah dan menciptakan lawan, sedangkan dakwah berkeinginan merangkul dan memperbanyak kawan. Tentu hal itu itu tidak bisa dipungkiri begitu saja, sebab dengan berpolitik umat menjadi miopis, hanya mampu melihat realitas-realitas jangka pendek.” (Harian Republika 28/2/2004)
Bentuk Islam yang bersifat substansilistik -dimana islam melakukan upaya yang signifikan terhadap pemikiran dan orientasi politik yang menekankan manifestasi dari nilai- nilai Islamdalam aktivitas politik, proses islamisasi harus melalui bentuk kulturisasi bukan politisasi- oleh Nurcholish Madjid diwacanakan pada sebuah forum Halal bil Halal dan silaturahmi organisasi pemuda, pelajar dan mahasiswa Islam, yang pesertanya terdiri dari perwakilan anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pelajar Islam Indonesia (PIT), Persatuan Sarjana Muslim Indonesia (Persami) dan Gerakan pemuda Islam (GPI) pada tanggal 3 Januari 1970, melalui makalahnya yang  judul Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat ia melontarkan gagasannya mengenai sekulerisasi dan anjurannya kepada kaum muslimin untuk membedakan mana yang substansial dan transendental. Dalam hal ini, Islam kultural tidak mengharuskan terbentuknya negara Islam. Menurut pemikiran ini, yang paling penting adalah dilaksanakannya nilai-nilai substansi Islam, seperti keadilan, kesamaan, partisipasi, dan musyawarah. Dalam istilah Nurcholish Madjid, Islam kultural ini kemudian menjadi jelas dengan sekularisasi atau desakralisasi dan penolakan terhadap negara Islam (Jamilludin, 2010).
Islam Kultural adalah metode da’wah yang dipakai untuk mengajak masyarakat untuk masuk islam atau menta’ati segala perintah Allah dengan menggunakan pendekatan – pendekatan kultur atau budaya masyarakat setempat. Islam Kultural memberikan keanekaragaman dalam mengajak masyarakat untuk mencintai islam dengan cara – cara yang tidak kaku dan menyesuaikan keadaan kebudayaan setempat sehingga islam tidak lagi agama yang kaku dalam menyebarkan agama islam. Kaku yang di maksud adalah penyebaran agama islam tidak harus menggunakan metode atau cara yang dilakukan di negara Islam Timur Tengah dalam mensyi’arkan agama Islam.[7]
2.      Universalisme Islam
Al Islam shalih li kulli zaman wa makan, yang artinya Islam sesuai dengan segala zaman dan tempat. Kata- kata ini sering terucap oleh orang Muslim yang dibuktikan melalui pengamatan bahwa Islam adalah agama yang paling banyak mencakup berbagai ras dan kebangsaan, dengan kawasan pengaruh yang meliputi hampir semua ciri klimatologis dan geografis.
Kata Islam sendiri memiliki arti sikap pasrah kepada Tuhan bukan saja meupakan ajaran Tuhan kepada hamba-Nya, tetapi diajarkan oleh-Nya dengan disangkutkan kepada alam manusia itu sendiri, yaitu diajarkan sebagai pemenuhan alam manusia, sehingga pertumbuhan perwujudannya pada manusia selalu bersifat dari dalam, tridak tumbuh, apalagi dipaksakan dari luar. Dan karena sikap pasrah tersebut merupakan tuntuan alami manusia, maka agama (Arab: Al Din, secara harfiah berarti “ketundukan”, “kepatuhan” atau “ketaatan”) yang sah tidak bisa lain daripada sikap pasrah kepada Tuhan (Islam). Maka tidak agama tanpa sikap itu, yakni agama tanpa kepasrahan kepada Tuhan adalah tidak sejati.[8]
Karena prinsip tersebut maka semua agama yang benar pada hakikatnya adalah al Islam, yakni semua mengajarkan sikap pasrah kepada Sang Maha Pencipta, Tuhan yang Maha Esa.
Karena merupakan inti semua agama yang benar, maka al Islam, atau pasrah kepada Tuhan adalah pangkal dari adanya hidayah Ilahi kepada seseorang. Maka al Islam menjadi landasan universal kehidupan manusia, berlaku untuk setiap orang, di setiap tempat dan waktu.[9]
Kalangan kaum Muslim Indonesia kebanyakan belum jelas benar. Ketidakjelasan itu dengan sendirinya berpenagruh langsung kepada bagaimana penilaian tentang absah atau tidaknya suatu ekspresi kultural yang khas Indonesia, bahkan mungkin khas daerah tertentu Indonesia. Antara agama dan budaya tidaklah dapat dipisahkan. Tetapi juga telah diinsafi oleh banyak ahli, agama dan budaya itu, meskipun tidak dapat dipisahkan namun dapat dibedakan, dan tidak dibenarkan mencampuradukkan diantara keduanya. Agama an sich bernilai mutlak, tidak berubah menurut perubahan waktu dan tempat. Tetapi budaya, sekalipun yang berdasarkan agama, dapat berubah dari waktu ke waktu, dan dari tempat ke tempat. Sementara kebanyakan budaya berdasarkan agama, namun tidak pernah terjadi sebaliknya, yaitu agama berdasarkan agama. Sekurangnya begitulah menurut keyakinan berdasarkan kebenaran wahyu Tuhan kepada para Nabi dan Rasul. Oleh karena itu agama adalah primer, dan budaya adalah skunder. Budaya dapat merupakan ekspresi hidup keagamaan, karena itu sub-ordinate terhadap agama, dan tidak pernah sebaliknya. Maka, sementara agama adalah absolut, berlaku untuk setiap ruang dan waktu, budaya adalah relatif, terbatasi oleh ruang dan waktu.[10]

4.      Modernisasi
Modernisasi memiliki arti gerakan untuk merombak cara- cara kehidupan lama untuk menuju kehidupan yang baru.[11] Menurut Samuel Huntington, modernitas adalah produk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang membuat manusia mampu membentuk serta mengendalikan alam. Modernitas ditandai dengan proses perubahan yang sangat cepat dengan melibatkan industrialisasi, urbanisasi, dari suatu masyarakat primitif menuju masyarakat berperadaan.[12]
Sesuatu dapat disebut modern, kalau ia bersifat rasional, ilmiah dan bersesuaian dengan hukum-hukum yang berlaku dalam alam.[13] Jika modernisasi merupakan produk perkembangan ilmu pengetahuan, maka Islam menurut Nurcholish Madjid, adalah agama yang sangat modern bahkan terlalu modern untuk zamannya,[14] karena Islam adalah agama yang secara sejati memiliki hubungan organik dengan ilmu pengetahuan dan mampu menjelaskan kedudukan ilmu pengetahuan tersebut dalam kerangka keimanan,[15] maka kaum Muslim hendaknya yakin bahwa Islam bukan saja tidak menentang ilmu pengetahuan, tetapi justru menjadi pengembangannya  dan tidak melihat perpisahan antara iman dan ilmu.
Jika tindakan kultural selalu berlangsung dalam perangkat tradisi, maka usaha modernisasi sebagai usaha suatu bentuk tindakan kultural yang amat penting juga berlangsung dalam perangkat tradisi yang dinamis (dialogis). Itulah yang terjadi di Eropa Barat pada permulaan modernisasi, dan itulah yang seharusnya terjadi di tempat- tempat lain di luar Eropa Barat.
Muslim dan Barat lah yang melahirkan modernitas, namun interaksi antara dua kelompok ini ditandai dengan rasa permusuhan dan persaingan yang berkepanjangan, modernisasi bagi mereka menyangkut bentuk kesulitan lain yang meskipun bersifat sampingan namun cukup efektif menjadi penghalang, yaitu kesulitan psikologis berhadapan dengan Barat, bekas saingan, jika bukannya musuh sepanjang sejarah.[16]
Terdapat asumsi sosial yang menyatakan bahwa karena modernisasi merupakan produk Barat, maka bangsa-bangsa (terutama bangsa non-Barat) yang ingin menjadi modern harus terlebih dulu ter-Barat-kan, menggantikan budaya lokal mereka dengan kebudayaan yang mirip Barat atau mengalami westernisasi, karena westernisasi adalah pintu menuju modernisasi, seperti misalnya yang di lakukan oleh Mustafa Kemal Attaturk (Kemalisme) yang menciptakan Turki Baru di atas puing-puing kekuasaan Turki Usmani dan melakukan upaya kearah Westernisasi dan modernisasi.
Tantangan bangsa non- Barat, khususnya Muslim, dalam usaha mendorong modernitas ialah membebaskan diri dari “endapan” psikologis masa lalu yang serba tarumatis itu, diganti dengan kasanggupan melihat keadaan seperti adanya, kalau bisa malah secara positif dan optimis. Disebabkan oleh kebutuhan riil akan perangkat ekspresi simbolik dalam mengkomunikasikan ide, program maupun tindakan (khususnya yang berskala besar), maka disinilah letak relevansinya melihat kemungkinan terjadinya apa yang disyaratkan oleh Hodgson, yaitu dimunculkannya kepermukaan berbagai potensi kreatif dari celah sistem budaya yang ada, termasuk dan terutama budaya berdasarkan agama, jika memang pola budaya yang mapan sekarang tidak lagi dirasakan cukup menopang, apalagi jika menghambat.
“Semua pola budaya, termasuk yang berkembang berdasarkan agama, sebagai dialog dinamis, selalu bersifat historis, karena itu manusiawi. Salah satu makna dari kenyataan itu ialah bahwa suatu pola budaya, betapapun jauhnya mengakar pada agama, harus dinilai selalu berkembang, tidak statis, dan tidak dibuat- buat “sekali untuk selamanya”. Sebab bentuk hubungannya dengan suatu agama yang mendasarinya ialah hubungan interpretatif, dalam arti suatu pola budaya merupakan interpretasi manusiawi atas noktah- nokyah keagamaan. Ini berarti penghadapan suatu fase terakhir perkembangan itu tidak dengan agama an sich, tetapi dengan pola budaya keagamaan yang merupakan interpretasi manusiawi dan historis atas noktah- noktah ajaran agama.[17]
Maka tantangan yang berat ialah bagaimana membebaskan pemahaman manusia akan agama dari unsur- unsur tahayul, jika memang agama itu tidak merupakan kumpulan takhayul seperti halya agama- agama “primitif”.[18]
Sebagai seorang Muslim yang dengan sepenuhnya meyakini Islam sebagai Way of Life, yang juga akan menganut cara berfikir Islami, menurut Nurcholis Madjid pemaknaan terhadap substansi modernis harus berorintasi kepada nilai-nilai besar Islam. Dengan demikian akan memperkuat keyakinan kita bahwa modernisasi berarti rasionalisasi untuk memperoleh daya guna dalam berpikir dan bekerja secara maksimal merupakan perintah Tuhan yang imperatif dan mendasar.[19] Karena manusia para prinsipnya akan selalu mengalami perubahan dalam setiap kurun waktu, maka modernitas merupakan kelanjutan wajar dan logis dari sejarah perkembangan manusia yang lambat atau cepat pasti akan muncul.
Nurcholish Madjid berpendapat bahwa modernisasi identik dengan westernisasi, karena modernisasi ialah rasionalisai yang ditopang oleh dimensi-dimensi moral, dengan berpijak pada prinsip iman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Akan tetapi, kita juga sepenuhnya menolak pengertian yang mengatakan bahwa modernisasi ialah westernisasi, sebab kita menolak westernisme. Dan westernisme yang kita maksudkan itu ialah bahwa suatu keseluruhan paham yang membentuk suatu total way of life, di mana faktor yang paling menonjol ialah sekularisme, dengan segala percabangannya…[20]
Seperti halnya yang dilakukan oleh orang Jepang dengan slogan Wakon, Yosei, “semangat Jepang, teknik  Barat”.[21] Nurcholish Madjid menilai keberhasilan Jepang dalam mengadopsi teknologi Barat modern dan membuatnya sesuai selera kejepangan merupakan keberhasilan mentransfer modernitas dari Barat sehingga menyatu dengan sistem budaya mereka secara otentik dan absah.[22]
Melalui cara-cara yang fundamental, dunia bisa saja menjadi lebih modern dan tidak begitu ter-Barat-kan. Kasus bangsa Jepang diatas begitu meyakinkan bahwa modernisasi tidak mesti westernisasi. Ikatan-ikatan kultural, budaya-budaya pribumi, identitas-identitas lokal dan keagamaan, tetap saja dipertahankan bahkan mestinya diletakkan sebagai instrumen “filterisasi” budaya asing yang umumnya telah bercampur aduk dan dikalim menjadi bagian dari modernsasi.
Dalam memposisikan Islam dengan moderitas yang oleh kebanyakan orang dinilai dikotomis, mestinya kita kembali melihat Islam dalam semangatnya yang lebih dalam. Islam adalah sebuah agama yang mempunyai watak, visi, dan pandangan yang ke arah kemajuan. Islam justru sangat membuka peluang dan memberi tempat pada modernitas. Dalam hal ini masyarakat Islam bisa saja hidup di alam kemoderenan dengan tetap mempertahankan dan memegang teguh nilai-nilai agama yang di anut. Menjadi modern itu tidak harus menghalangi seseorang untuk tetap teguh dan kaffah dalam menjalankan ajaran agamanya. Fraseologinya seseorang bisa menjadi modern dengan tetap setia kepada Islam.[23]
5.      Sekularisasi
Sekuler secara harfiah memiliki arti bersifat keduniawian / kebendaan.[24] Sekularisme adalah suatu paham yang tertutup, suatu sistem ideologi tersendiri dan lepas dari agama. Inti sekulerisme ialah penolakan adanya kehidupan lain diluar kehidupan duniawi ini. dari perspektif Islam, sekulerisme adalah perwujudan modern dari paham Dhahirriyah. Sekulerisme tidak sejalan dengan agama, khususnya Islam.
Sementara sekularisasi memang dapat diartikan sebagai proses politik sosial menuju sekulerisme, dengan implikasi paling kuat ide pemisahan (total) agama dari negara. Sedangkan Talcott Parson menunjukkan bahwa sekularisasi sebagai bentuk proses sosiologis, lebih banyak mengisyaratkan kepada pengertian pembebasan masyarakat dari belenggu takhayul dalam beberapa aspek kehidupannya. Hal ini tidak bearti pengahpusan orientasi keagamaan dalam norma- normadari kemasyarakatan itu. Bahkan proses pembebasan dari takhayul itu bisa semata- mata terjadi karena dorongan, atau merupakan kelanjutan logis dari suatu bentuk orientasi keagamaan, khususnya monoteisme.[25]
Robert M. Bellah mengatakan bahwa Islam klasik telah melakukan “devaluasi radikal dan orang dibenarkan menyebutnya sekularisasi atas semua struktur sosial yang ada berhadapan dengan hubungan antara Allah dan manusia yang sentral. Proses “devaluasi radikal” atau “sekularisasi” dalam pandangan sosiologis Bellah, berpangkal dari monoteisme yang antara lain berakibat penurunan nilai pranata kesukuan dan perkeluargaan yang di zaman Jahiliyyah pusat rasa kesucian hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa belaka.
Penggunaan kata sekularisasi dalam sosiologi mengandung arti pembebasan, yaitu pembebasan dari sikap pensucian yang tidak pada tempatnya. Karena itu ia mengandung makna desakralisasi, yaitu pencabutan ketabuan dan kesakralan dari objek- objek yang semestinya tidak tabu dan tidak sakral. Jika diproyeksikan kepada situasi modern sekarang, maka “sekularisasi”- nya Robert N. Bellah akan mengambil bentuk pemberantasan bid’ah, khurafat dan syirik lainnya dengan kesemuanya itu berlangsung di bawah semboyan kembali kepada Kitab dan Sunnah dalam usaha memurnikan agama.[26]
Sebagai contoh, lambang kampus ITB di bandung, yaitu patung Ganesha yang merupakan Dewa Ilmu. Mereka memakai jaket dengan gambar Ganesha, tetapi tetap sembahyang di Masjid Salman,. Mengapa? Karena Ganesha sebagai Dewa sudah “dibunuh” atau sudah terkena La Ilaha Illallah, proses inilah yang sebetulnya secara sosiologis disebut sekularisasi, devaluasi, atau kadang- kadang juga demitologisasi.[27]
Sekularisasi yang dimaksudkan di sini ialah setiap bentuk “liberating development”. Proses ini diperlukan karena umat Islam, akibat dalam sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan nilai- nilai yang disangkanya islami itu, mana yang transedental dan mana yang temporal.  Sekalipun mungkin mereka tidak mengucapkannya secara lisan, malahan memungkirinya, namun sikap itu tercermin dalam tindakan mereka sehari- hari. Akibat hal itu, sudah maklum cukup parah,: Islam menjadi seniali dengan tradisi, dan menjadi islamis sederajat dengan menjadi tradisionalis.
Karena membela Islam menjadi sama dengan membela tradisi inilah, maka timbul kesan bahwa kekuataun Islam adalah kekuatan tradisi yang bersifat reaksioner. Kacamata hierarki inilah, yang dikalangan kaum Muslimin, tekah membuatnya tidak sanggup mengadakan respons yang wajar terhadap perkembangan pemikiran yang ada di dunia dewasa ini.
Jadi sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dengan mengubah kaum Muslimin menjadi kaum sekularis. Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai- nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk meng­-ukhrawi-kannya. Dengan demikian kesediaan mental untuk selalu menguji dan menguji kembali kebenaran suatu nilai dihadapan kenyataan- kenyataan materi, moral, maupun historis menjadi sifat kaum Muslimin. Lebih lanjut sekularisasi dimaksudkan untuk lebih memantapkan tugas duniawi manusia sebagai “khalifah Alam di bumi”.
Tetapi yang terjadi sekarang ialah bahwa umat Islam kehilangan  kreativitas dalam hidup duniawi ini sehingga mengesankan seolah- olah mereka memilih untuk tidak berbuat dan diam. Dengan kata lain mereka telah kehilangan semangat ijtihad. Sebenarnya pandangan yang wajar dan menurut apa adanya kepada dunia dan masalahnya, secara logis harus dipunyai oleh orang Muslim, sebagai konsekuensi logis dari tauhid.
Sekularisasi secara konkret memiliki makna desakralisasi terhadap segala sesuatu selain hal- hal yang bersifat Ilahiah (transedental), yaitu dunia ini.[28] dan yang dikenai proses desakralisai itu ialah objek duniawai, moral, maupun material.[29]
Ide sekularisasi Nurcholish Madjid pertama kali mucul saat kesempatan memberikan ceramah dalam acara beberapa organisasi mahasiswa pada 3 Januari 1970. Nurcholish Madjid menganjurkan sekularisasi sebagai sebuah bentuk pembebasan dari segala pandangan-pandangan keliru yang dianggapnya telah mapan, namun Nurcholish Madjid sendiri tidak bermaksud menerima paham sekularsisme, bahkan secara tegas ia menolaknya. Memulai anjurannya, Nurcholish Madjid mengatakan;
Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme, sebab sekularisme adalah nama sebuah ideologi, sebuah pandangan dunia baru yang tertutup yang dipandang berfungsi sangat mirip dengan agama. Dalam hal ini, yang dimaksudkan ialah setiap bentuk perkembangan yang membebaskan. Proses pembebasan ini diperlukan karena umat Islam, akibat perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang di sangkanya Islami itu, mana yang transendental dan mana yang temporal…[30]
Dari penegasan tersebut, nampaknya Nurcholish Madjid  ingin menjelaskan bahwa antara sekularisasi dan sekularisme merupakan dua hal yang berbeda. “Sekularisasi” cenderung kepada sebuah proses, dan “sekularisme” dengan isme-nya merupakan bentuk kepercayaan yang dianggap sebagai padanan agama, seperti yang ada pada dua ideologi besar dunia, sosialisme-komunis dan kapitalisme-sekuler yang dalam prosesnya berusaha melepaskan ketergantungan manusia dari asuhan agama.
Dalam hal penggunaan istilah sekularisasi diatas, Nurcholish Madjid seakan ingin memberikan sebuah pemahaman tentang pentingnya membedakan agama dan paham keagamaan. Menurut Nurcholish Madjid, agama dan paham keagamaan adalah sesuatu yang berbeda. Agama adalah sesuatu yang mutlak karena berasal dari Tuhan, yang maha mutlak, tetapi pemahaman keagamaan, cara manusia memahami agama tersebut terdapat unsur-unsur yang berbeda dalam lingkungan daya dan kemampuan manusia untuk melaksanakannya. Daya dan kemampuan manusia adalah bernilai manusiawi, karena ia berada pada diri manusia itu sendiri.[31]
Pemahaman keagamaan menurut Nurcholish Madjid lahir dari pada usaha-usaha keras (ijtihad) manusia terhadap pesan-pesan yang di sampaikan Tuhan, sehingga jelas mengisyaratkan adanya intervensi manusia dalam mamahami agama itu sendiri. Pemahaman terhadap agama itu sendiri, oleh Nurcholish Madjid tidak boleh disakralkan, sehingga diperlukan secara kontinyu usaha-usaha membangkitkan kembali ilmu pengetahuan yang telah hilang di masa-masa kejayaan masyarakat salaf untuk memahami kembali pesan-pesan agama.
Matinya ilmu pengetahuan dalam Islam menurut Nurcholish Madjid adalah akibat melemahnya kondisi sosial politik dan ekonomi dunia Islam, disebabkan percekcokan yang tidak habis-habisnya dikalangan mereka tidak dalam bidang-bidang pokok melainkan dalam bidang-bidang kecil seperti masalah fiqih dan peribadatan. Perdebatan itu justru diakhiri dengan menutup sama sekali pintu ijtihad, dan mewajibkan setiap orang taqlid kepada para pemimpin atau pemikir keagamaan yang telah ada, yang berakibat mematikan kreatifitas individual dan sosial kaum Muslim.[32].
6.      Desaklarisasi
Konsep kesucian dalam agama Islam adalah semacam keyword yang secara ritual keseharian biasa berkaita dengan, misalnya, konsep subh atau tasbih, artinya mensucikan Allah Swt. Kalau kita mengucapkan subhanallah, artinya kita mengaku bahwa yang suci atau sakral itu hanya Allah Swt: sementara yang lain tidak suci, tidak sakral. Pengakuan ini mempunyai implikasi yang sangat jauh. Pada Zaman Nabi Muhammad Saw., akibat yang paling langsung dari penyucian hanya kepada Allah ialah runtuhnya pandangan hidup orang Arab yang berpusat kepad suku.
Islam dengan konsep tauhidnya meruntuhkan semua fenomena tribalisme atau paham kesukuan Arab: meruntuhkan pandangan kesucian kepada objek apapun selain Allah. Dalam bahasa sekarang konsep kesukuan mengalami devaluasi, dari nilai yang sakral menjadi nilai yang tidak sakral, dari yang tabu menjadi tidak tabu, dari yang tertutup menjadi yang terbuka untuk dipersoalkan, dan seterusnya. Semua itu merupakan efek pembebasann semangat tasbih, yaitu “menghanyakan” kesucian kepada Allah Swt. semata. Konsep tasbih ini berasosiasi dengan konsep yang paling mendasar dalam agama Islam, yaitu la ilaha ilallah. Hanya saja penekanannya pada sesuatu atau objek yang disembah (ilah). Kalau diterjemahkan secara harfiyah maka berarti “tidak ada sesuatu yang boleh disembah kecuali yang berhak disembah itu sendiri”. Para ulama menyebut tentang al- nafy (peniadaan, negasi) dan al itsbat (afirmasi). Karena itu dalam konteks kalimat la ilaha ilallah, berarti menegasikan “segala sesuaatu yang tidak boleh disembah” dan mengafirmasi Allah. Artinya, tidak ada yang boleh disembah kecuali Allah Swt.; atau, tidak ada yang sakral kecuali Allah Swt.[33]
Ide desaklarisiasi Nurcholish Madjid berpangkal pada semangat perkataan “Tauhid” (di Indonesiaan menjadi tauhid)[34] yang mengandung makna pemebasan, yakni pembebasan dari segala obyek  duniawi, moral maupun material berupa nilai-nilai dan benda-benda. Jadi sederhananya, menurut Nurcholish Madjid, Tauhid yang mengajarkan sikap memaha-Esa-kan Tuhan itu memiliki konsekusensi pembebasaan diri dari segala sesuatu yang membelenggu selain Tuhan. Menyangkut konsekuensi perkataan tauhid tersebut Nurcholish Madjid menjelaskan;
…Sebenarnya pandangan yang wajar dan apa adanya kepada dunia dan masalahnya, secara otomatis harus dipunyai oleh seorang Muslim, sebagai konsekuensi logis dari tauhid. Pemutlakan transendensi semata-mata kepada Tuhan, sebenarnya, harus melahirkan desaklarisasi pandangan terhadap selain Tuhan, yaitu dunia dan masalah-masalah serta nilai-nilai yang bersangkutan dengannya. Sebab saklarisasi kepada sesuatu selain Tuhan itulah, pada hakikatnya yang dinamakan syirik, lawan tauhid. Maka sekularisasi itu memperoleh maknanya yang konkret, yaitu desaklarisasi terhadap segala sesuatu selain hal-hal yang benar-benar bersifat Ilahiah (transendental), yaitu dunia ini.[35]
Dari semangat Tauhid ini, lahir istilah – yang biasanya digunakan Nurcholish Madjid –“monoteisme radikal”. Semangat Tauhid tidak hanya berimplikasi sebagai memaha-Esa-kan Tuhan saja, tetapi juga memiliki efek pembebesan diri dan pembebasan sosial yang sangat kuat. Efek pembebesan itu sesuai dengan semangat dan fitrah kemanusiaan sebagai ciptaan Tuhan yang paling tinggi, yang karenanya manusia itu harus merdeka.
Perkataan Tauhid dan masalah percaya kepada Tuhan yang maha Esa menurut Nurcholish Madjid, masih harus di bicarakan kembali, sebab ada kesan bahwa ber-Tauhid hanyalah berarti percaya kepada Tuhan. Ternyata jika kita teliti lebih mendalam dan teliti al-Qur’an, tidaklah sepenuhnya demikian.[36] Masih ada hal penting yang harus diikuti dari semangat perkataan Tauhid itu, yakni menghilangkan paham syirik, paham yang menganggap Tuhan memiliki serikat atau sekutu. Inilah salah satu bentuk semangat Tauhid yang belum sepenuhnya mendasari konsekuensi logis paham ke-Tuhan-an.
Jika manusia tidak melakukan ketundukan dan kepasrahan kepada Tuhan secara mutlak, maka yang terjadi adalah manusia pasti akan tunduk kepada yang relatif. Manusia harus memperkuat ikatan dengan Tuhannya sehingga manusia dapat terbebaskan dari ikatan-ikatan atau dominasi sesuatu yang derajatnya lebih rendah dari manusia itu sendiri. Yaitu manusia yang sikap tauhidnya belum tercemari oleh nafsu pemujaan terhadap berhala materi.[37]
Dalam pandangan Nurcholish Madjid, problem utama umat manusia ialah politheisme, bukan ateisme, maka program pokok al-Qur’an ialah membebaskan manusia dari belenggu paham Tuhan banyak itu dengan mencanangkan dasar kepercayaan yang diungkapkan dalam kalimat “al-nafy wa al-itsbat” atau “negasi-konformasi” yaitu La ilaha illa Llah[38] yang oleh Marshall Hodgson disebut sebagai ”rumusan kepercayaan Muslim”[39]. Dengan negasi itu dimulai proses pembebesan yaitu pembebasan dari belenggu kepercayaan kepada hal-hal yang palsu. Tetapi demi kesemprunaan kebebasan itu manusia harus mempunyai kepercayaan kepada sesuatu yang benar. Sebab hidup tanpa kepercayaan sama sekali adalah sesuatu yang musthail.










KESIMPULAN
Islam Kultuaral yang dikonsesikan oleh Nurcholish Madjid pada tahun 1970-an berniat menjadikan Islam sebagai sebuah cairan budaya yang merembes masuk ke setiap pori-pori kehidupan masyarakat Indonesia sehingga akan tercermin dari pola-pola perilaku keseharian umat yang berasaskan Islam.
Konsep yang di kultuskannya adalah melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional, dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Konsesi tersebut di atas tercermin dalam pembahasan modernisasi (rasionalisasi untuk memperoleh daya guna dalam berpikir dan bekerja secara maksimal merupakan perintah Tuhan yang imperatif dan mendasar), sekularisasi (membedakan agama dan paham keagamaan), dan desakralisasi (mengandung makna pemebasan, yakni pembebasan dari segala obyek  duniawi, moral maupun material berupa nilai-nilai dan benda-benda).




DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, 2006, Islamic Studies di Perguruan Tinggi,Pendekatan Itegratif-Interkonektif, Cet; I Yogyakarta; Pustaka Pelajar Darmawan, Hendro dkk., 2010. Kamus Imiah Populer, Yogyakarta: Bintang Cemerlang
Hidayat, Komaruddin dan M. Wahyudi Nafis,  2003. Agama Masa Depan, Perspektif Filsafat Perennial, Jakarta; Paramadina
Hodgson , Marshall G. S., 2002. The Venture of Islam, Consciense and History in a World Civilization, Jilid I. Diterjemahkan oleh Mulyadhi Kartanegara dengan judul The Venture of Islam, Iman dan Sejarah Dalam Peradaban Dunia, Cet; II, Jakarta; Paramadina
Huntington, Samuel P., 2005. The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, di terjemahkan oleh M. Sadat Ismail dengan judul, Benturan Antarperedaban dan Masa Depan Politik Dunia, Cet, XI, Yogyakarta; Qalam
Madjid, Nurcholish,  Budhy Munawar-Rachman (penyunting), 2006. Ensiklopedi Nurcholish Madjid, Pemikiran Islam di kanvas Peradaban, Cet. 1, Jakarta; Mizan
_______, 2005. Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, Cet;.V, Jakarta; Paramadina
_______, 2003. Islam  Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina
_______, 1997. Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya Dalam Pembangunan di Indonesia, Cet, I; Jakarta; Paramadina
_______, 2008. Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, Cet, XI , Bandung; Mizan
Nata, Abudin 2005. Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Sejarah. kompasiana.com



[1] Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, Cet, XI (Bandung, Mizan; November 2008), hlm. 206
[2] M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi,Pendekatan Itegratif-Interkonektif, Cet; I (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 135
[3] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, (Cet;.V, Jakarta, Paramadina;2005)
[4] Nurcholish Madjid, Budhy Munawar-Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, Pemikiran Islam di kanvas Peradaban (Cover) , Cet. 1 (Jakarta:Mizan, 2006)
[5] Abudin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Indonesia,(Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2005) h, 322-324. Cet.1-3
[6] Sejarah. Kompasiana.com diakses pada 04 Maret 2013, 08.03 WIB
[8] Islam Doktrin dan Peradaban, Op. Cit., hlm.  426- 427
[9] Ilslam, Doktrin dan Peradaban., Op. Cit.,  hlm. 435
[10] Nurcholish Madjid, Islam  Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia (Jakarta: Paramadina, 2003) hlm. 36
[11] Hendro Darmawan, dkk., Kamus Imiah Populer, (yogyakarta: Bintang Cemerlang, 2010)  hlm. 442
[12] Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, di terjemahkan oleh M. Sadat Ismail dengan judul, Benturan Antarperedaban dan Masa Depan Politik Dunia, (Cet, XI; Yogyakarta, Qalam;2005), hlm. 95
[13] Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, Cet, XI; November 1998)  hlm. 172
[14] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Op.Cit, hlm. lxxiv, lihat juga, hlm. lxxx
[15]  Ibid, hlm. 590
[16] Nurcholish Madjid., Ensiklopedi Nurcholish Madjid.,Op. Cit., hlm.  2094
[17] Nurcholish Madjid, Ensiklopedi Nurcholish Madjid., hlm. 2094
[18] Ibid., hlm. 2095
[19] Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan, Op.Cit, h. 172
[20] Nucholis Madjid, Islam Kemodernan, Op.Cit, hlm. 187
[21] Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations, Op, Cit., hlm. 107
[22] Nurcholis Madjid, Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya Dalam Pembangunan di Indonesia, (Cet, I; Jakarta, Paramadina; Januari 1997), hlm.. 190
[23]Nurcholish Madjid, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, Op. Cit.
[24] Kamus ilmiah Op. cit.,  hlm. 670
[25] Nurcholish madjid,  Ensiklopedi Nurcholish Madjid., Op. Cit., hlm. 2969-2970
[26]Ibid.,
[27] Nurcholish Madjid, Ensiklopedi Nurcholish Madjid., Op. Cit., hlm. 2971
[28] Nurcholish Madjid, Ensiklopedi nurcholish Madjid, Op. Cit., hlm. 2972
[29] Nurcholish Madjid, Ensiklopedi nurcholish Madjid, Op. Cit. Hlm. 2973
[30] Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan, Op. Cit, hlm. 207
[31] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban,, hlm. 328-329
[32] Ibid, hlm.. xli
[33]Nurcholish Madjid,  Ensiklopedi Nurcholish Madjid, Op. Cit, hlm. 548-549
[34] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, hlm. 72
[35] Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan, Op.Cit, hlm. 208
[36] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, hlm. 74
[37] Komaruddin Hidayat dan M. Wahyudi Nafis, Agama Masa Depan, Perspektif Filsafat Perennial, (Terbitan Ulang Paramadina, Jakarta; Maret 2003), hlm. 61
[38] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban,, hlm. 78
[39] Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam, Consciense and History in a World Civilization, Jilid I. Diterjemahkan oleh Mulyadhi Kartanegara dengan judul The Venture of Islam, Iman dan Sejarah Dalam Peradaban Dunia, (Cet; II, Jakarta, Paramadina; Agustus 2002), hlm.. 115

No comments:

Post a Comment