Indonesia adalah
negara-bangsa yang majemuk. Berbagai ras, suku, bahasa, kebudayaan, agama dan
kepercayaan hidup di negeri ini. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” merupakan
ungkapan yang tepat untuk menjelaskan realitas sekaligus harapan bangsa ini.
walaupun terdiri dari beragam budaya, bahasa, ras, suku, bahasa, agama dan
kepercayaan hidup, namun Indonesia tetaplah satu, tetap merasa saling memiliki,
saling menghargai satu sama lain.
Beragam budaya dan
agama berkembang dalam masyarakat, dimana keduanya tak jarang lebur dan terjadi
akulturasi. Aklturasi tersebut seringkali menyebabkan berbagai hal yang dapat
membingungkan orang untuk membedakan mana yang produk agama, dan mana yang
merupakan produk budaya. Walaupun antara agama dan budaya tidaklah dapat
dipisahkan, tetapi juga telah diinsafi oleh banyak ahli, agama dan budaya itu,
meskipun tidak dapat dipisahkan namun dapat dibedakan, dan tidak dibenarkan
mencampuradukkan diantara keduanya. Agama an sich bernilai mutlak, tidak
berubah menurut perubahan waktu dan tempat. Tetapi budaya, sekalipun yang
berdasarkan agama, dapat berubah dari waktu ke waktu, dan dari tempat ke
tempat. Sementara kebanyakan budaya berdasarkan agama, namun tidak pernah
terjadi sebaliknya, yaitu agama berdasarkan agama
Untuk
membedakan dan memisahkan antara budaya dan agama, maka diperlukan pembaharuan.
Dalam pandangan Nurcholis Madjid, pembaruan harus dimulai dari dua hal yang
saling erat hubungannya, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional,
dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan.[1] Dorongan melakukan pembaruan inilah yang menurut Nurcholish Madjid,
mengandung konotasi, bahwa kaum muslim Indonesia sekarang ini telah mengalami
kejumudan kembali dalam pemikiran dan pengembangan ajaran-ajaran Islam, dan
kehilangan kekuatan secara psikologis perjuangannya.
Ide pembaruan
dalam pemikiran Islam hanya dapat mungkin diterangkan, jika seseorang dapat
secara historis-kritis mengamati perkembangan pemikiran Islam dalam hubungannya
dengan konteks sosial-budaya yang mengitarinya. Tanpa mengaitkan dengan konteks
tidak pernah ada pembaruan. Teks-teks al-Qur’an dan al-Sunnah akan tetap
seperti itu adanya, sedang alam, peristiwa-perstiwa alam, peristiwa-peristiwa
ilmu dan teknologi akan terus menerus berkembang tanpa mengenal batas yang
final.[2]
Terdapat berbagai
pemikiran pembaharuan- pembaharuan yang berkembang di kalangan masyarakat
sekarang ini, saah satu diantaranya adalah Nurcholish Madjid yang sering di
panggil dengan sebutan Cak Nur. Sebagai seorang intelektual, banyak pemikirannya
yang berkembang sangatlah berpengaruh di masyarakat. Nurcholis Madjid berhasil
mengembangkan wacana intelektual dikalangan masyarakat Islam, diantara beberapa
pemikirannya ialah modernisasi, sekuklarisasi, dan desakralisasi.
PEMBAHASAN
Prof. Dr.
Nurcholish Madjid, lahir pada 17 maret 1939 dan wafat pada tanggal 29 Agustus
2005, dikenal sebagai cendekiawan yang gigih sebagai perumus wajah baru Islam
indonesia” yang empati dan inklusif melalui penyerasian tiga tema besar yang
cukup softikatif: keislaman, kemoderenan, dan keindonesiaan.
Nurcholish
adalah sosok cendekiawan yang tanpa pamrih. Dengan keberanian moralnya yang nothing
to lose, dia tampil dengan gagasan yang segar dan membebaskan. Kalaupun dia
dicitrakan sebagai sosok kontroversial, itu sepenuhnya bisa dimakluminya.
Baginya, kontroversi menjadi semacam hukum alam (sunnah Allah) yang tak
bisa dielakkan. Pada dirinya berlaku pepatah inggris: “to avoid critism, do
nothing, say nothing, and be nothing”! ia tidak mau menjadi nothing-
bukan karena dia mengharapkan popularitas, tetapi karen aia memandang bahwa
itulah tugas yang harus diembannya sebagai hamba Allah.[4]
Di Jombang,
Jawa Timur, dari kalangan-kalangan pesantren yang taat menjalankan Agama.
Pendidikanya mulai dari sekolah rakyat di Majoanyar pada pagi hari. Sedangkan
sore hari ia sekolah di Madrasah Ibtidaiyah di Majoanyar. Setelah
menamatkan sekolahnya di Ibtidaiyah, ia melanjutkan belajar ke pesantern Darul
Ulum di Rejosa, Jombang. Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya di Kulliyatul
Mu’allimin Al-Islamiyah (KMI) pesantern Darussalam di Gontor Ponogoro.
Setamat dari
Gontor ia melanjutkan studi pada IAIN (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, pada
Fakultas Adab, Jurusan Sastra Arab dan tamat tahun 1968. Pendidikan selanjutnya
ia lakukan di Universitas Chacigo, Illinois, Amerika Serikat dan berhasil
meraih gelar doktor dalam bidang Islmic Thougt (pemikiran islam) pada tahun
1984. Semasa jadi mahasiswa Nurcholis Madjid banyak melakukan kegiatan di
berbagai organisasi. Ia pernah menjadi ketua umum Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI) cabang Ciputat pada tahun 60-an, kemudian menjadi ketua umum pengurus
besar HMI selama periode 1966-1969 dan 1967-1971.
Setamat dari
IAIN Syarif Hidayatulloh jakarta, Nurcholis Madjid bekerja sebagai dosen di
almamaternya, mulai tahun 1972-1976. Setelah berhasil meraih gelar doktor pada
tahun 1985, ia ditugaskan memberikan kuliah tentang filsafat di Fakultas Pasca
Sarjana IAIN Syarif Hidayatulloh Jakarta. Selain sebagai orang yang banyak
berkecimpung di organisasi dan memangku berbagai jabatan, Nurcholis
Madjid juga sebagai seseorang penulis yang produktif. Diantara karya
tulisnya yang dapat disebut disini adalah sebagai berikut:[5]
1)
Khazanah
intelektual Islam, (Jakarta, Bulan Bintang 1984)
2)
Islam
Kemordenan dan Keislaman (Bandung, Mizan 1987)
3)
Islam
Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan,
Kemanusiaan dan Kemordenan, (Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina 1992 )
4)
Kontekstualisasi
Doktrin Islam dalam Sejarah (Karya bersama para pakar Indonesia lainya),
(Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina 1995)
5)
Pintu-Pintu
Menuju Tuhan (Jakarta, Yayaysan Wakaf Paramadina 1995)
Selanjutnya
sejak tahun 1986 Nurcholis Madjid mendirikan dan memimpin Yayasan Wakaf
Paramadina dengan kegiatan yang mengarah kepada gerakan intelektual Islam
indonesia.
Islam Kultural sebagai sebuah
gerakan dimulai sejak tahun 1970 lebih terlihat muncul sebagai sebuah
mainstream (arus utama) pemikiran dari pada sebuah gerakan yang tampak secara
fisik, namun dampaknya dapat dirasakan terutama dalam menimbulkan wacana publik
dan penyadaran terhadap umat dalam menyikapi permasalah sosial di sekitarnya.
Selain itu juga, Islam Kultural dengan membawa konsep culture (budaya) berarti
berniat menjadikan Islam sebagai sebuah cairan budaya yang merembes masuk ke
setiap pori-pori kehidupan masyarakat Indonesia sehingga akan tercermin dari
pola-pola perilaku keseharian umat yang berasaskan Islam.
Menurut Hassan Tibi
Islam Kultural merupakan sebuah gerakan revitalisasi (cultural revitalization)
yang lebih menekankan tampilnya Islam sebagai sumber etika dan moral serta
landasan kultural dalam kehidupan seluruh bangsa Indonesia (Anwar, 1995). Dapat
dikatakan bahwa Islam Kultural muncul sebagai sebuah ‘counter’ atau ‘tandingan’
dari meredupnya Islam politik sejak jatuhnya pesona Masyumi sebagai basis
politik Islam terbesar dari kancah perpolitikan nasional karena keterlibatannya
dalam gerakan Darul Islam-Tentara Islam Indonesia (DI-TII) tahun 1947.
Dari pengalaman sejarah
menunjukkan bahwa Islam Politik hanya melahirkan perpecahan dan tidak
menimbulkan sinergi antara umat Islam maka munculah adigium yang mengkritik kondisi
Islam di dunia perpolitikan yang populer pada tahun 1970-an yang dilontarkan
oleh seorang cendikia muda Nurcholis Madjid ‘Islam Yes, Politik Islam No’
konsesi ini menekankan akan sekulerisasi pergerakan Islam dalam bidang politik,
Islam harus lebih berperan sebagai pandu moral dan sosial yang tercermin dalam
konsepnya yang terkenal yaitu Islam kultural. Gerakan ini memperoleh sambutan
positif dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) dengan mundur dari kancah politik
dan bersifat kooperatif terhadap pemerintah.
Gerakan Islam kutural
yang dimulai sejak tahun 1970 sebagai sebuah gerakan kaum cendikia yang mencoba
memobilisasi pikiran masyarakat untuk tidak selalu terfokus pada gerakan
politik yang hanya menimbuklan perpecahan, sesuai dengan pendapat Buya Syafii
Maarif yang menyatakan:
“Politik hanya memecah
belah dan menciptakan lawan, sedangkan dakwah berkeinginan merangkul dan
memperbanyak kawan. Tentu hal itu itu tidak bisa dipungkiri begitu saja, sebab
dengan berpolitik umat menjadi miopis, hanya mampu melihat realitas-realitas
jangka pendek.” (Harian Republika 28/2/2004)
Bentuk Islam yang
bersifat substansilistik -dimana islam melakukan upaya yang signifikan terhadap
pemikiran dan orientasi politik yang menekankan manifestasi dari nilai- nilai
Islamdalam aktivitas politik, proses islamisasi harus melalui bentuk
kulturisasi bukan politisasi- oleh Nurcholish Madjid diwacanakan pada sebuah
forum Halal bil Halal dan silaturahmi organisasi pemuda, pelajar dan mahasiswa
Islam, yang pesertanya terdiri dari perwakilan anggota Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI), Pelajar Islam Indonesia (PIT), Persatuan Sarjana Muslim Indonesia
(Persami) dan Gerakan pemuda Islam (GPI) pada tanggal 3 Januari 1970, melalui
makalahnya yang judul Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah
Integrasi Umat ia melontarkan gagasannya mengenai sekulerisasi dan anjurannya
kepada kaum muslimin untuk membedakan mana yang substansial dan transendental.
Dalam hal ini, Islam kultural tidak mengharuskan terbentuknya negara Islam.
Menurut pemikiran ini, yang paling penting adalah dilaksanakannya nilai-nilai
substansi Islam, seperti keadilan, kesamaan, partisipasi, dan musyawarah. Dalam
istilah Nurcholish Madjid, Islam kultural ini kemudian menjadi jelas dengan sekularisasi
atau desakralisasi dan penolakan terhadap negara Islam (Jamilludin, 2010).
Islam Kultural
adalah metode da’wah yang dipakai untuk mengajak masyarakat untuk masuk islam
atau menta’ati segala perintah Allah dengan menggunakan pendekatan – pendekatan
kultur atau budaya masyarakat setempat. Islam Kultural memberikan
keanekaragaman dalam mengajak masyarakat untuk mencintai islam dengan cara –
cara yang tidak kaku dan menyesuaikan keadaan kebudayaan setempat sehingga
islam tidak lagi agama yang kaku dalam menyebarkan agama islam. Kaku yang di
maksud adalah penyebaran agama islam tidak harus menggunakan metode atau cara
yang dilakukan di negara Islam Timur Tengah dalam mensyi’arkan agama Islam.[7]
Al Islam shalih
li kulli zaman wa makan, yang artinya
Islam sesuai dengan segala zaman dan tempat. Kata- kata ini sering terucap oleh
orang Muslim yang dibuktikan melalui pengamatan bahwa Islam adalah agama yang
paling banyak mencakup berbagai ras dan kebangsaan, dengan kawasan pengaruh
yang meliputi hampir semua ciri klimatologis dan geografis.
Kata Islam
sendiri memiliki arti sikap pasrah kepada Tuhan bukan saja meupakan ajaran
Tuhan kepada hamba-Nya, tetapi diajarkan oleh-Nya dengan disangkutkan kepada
alam manusia itu sendiri, yaitu diajarkan sebagai pemenuhan alam manusia,
sehingga pertumbuhan perwujudannya pada manusia selalu bersifat dari dalam,
tridak tumbuh, apalagi dipaksakan dari luar. Dan karena sikap pasrah tersebut
merupakan tuntuan alami manusia, maka agama (Arab: Al Din, secara
harfiah berarti “ketundukan”, “kepatuhan” atau “ketaatan”) yang sah tidak bisa
lain daripada sikap pasrah kepada Tuhan (Islam). Maka tidak agama tanpa
sikap itu, yakni agama tanpa kepasrahan kepada Tuhan adalah tidak sejati.[8]
Karena prinsip
tersebut maka semua agama yang benar pada hakikatnya adalah al Islam,
yakni semua mengajarkan sikap pasrah kepada Sang Maha Pencipta, Tuhan yang Maha
Esa.
Karena
merupakan inti semua agama yang benar, maka al Islam, atau pasrah kepada
Tuhan adalah pangkal dari adanya hidayah Ilahi kepada seseorang. Maka al
Islam menjadi landasan universal kehidupan manusia, berlaku untuk setiap
orang, di setiap tempat dan waktu.[9]
Kalangan kaum Muslim Indonesia kebanyakan belum jelas benar.
Ketidakjelasan itu dengan sendirinya berpenagruh langsung kepada bagaimana
penilaian tentang absah atau tidaknya suatu ekspresi kultural yang khas
Indonesia, bahkan mungkin khas daerah tertentu Indonesia. Antara agama dan
budaya tidaklah dapat dipisahkan. Tetapi juga telah diinsafi oleh banyak ahli,
agama dan budaya itu, meskipun tidak dapat dipisahkan namun dapat dibedakan,
dan tidak dibenarkan mencampuradukkan diantara keduanya. Agama an sich bernilai
mutlak, tidak berubah menurut perubahan waktu dan tempat. Tetapi budaya,
sekalipun yang berdasarkan agama, dapat berubah dari waktu ke waktu, dan dari
tempat ke tempat. Sementara kebanyakan budaya berdasarkan agama, namun tidak
pernah terjadi sebaliknya, yaitu agama berdasarkan agama. Sekurangnya begitulah
menurut keyakinan berdasarkan kebenaran wahyu Tuhan kepada para Nabi dan Rasul.
Oleh karena itu agama adalah primer, dan budaya adalah skunder. Budaya dapat
merupakan ekspresi hidup keagamaan, karena itu sub-ordinate terhadap
agama, dan tidak pernah sebaliknya. Maka, sementara agama adalah absolut,
berlaku untuk setiap ruang dan waktu, budaya adalah relatif, terbatasi oleh
ruang dan waktu.[10]
4.
Modernisasi
Modernisasi
memiliki arti gerakan untuk merombak cara- cara kehidupan lama untuk menuju
kehidupan yang baru.[11] Menurut
Samuel Huntington, modernitas adalah produk perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang membuat manusia mampu membentuk serta mengendalikan alam.
Modernitas ditandai dengan proses perubahan yang sangat cepat dengan melibatkan
industrialisasi, urbanisasi, dari suatu masyarakat primitif menuju masyarakat
berperadaan.[12]
Sesuatu dapat
disebut modern, kalau ia bersifat rasional, ilmiah dan bersesuaian dengan
hukum-hukum yang berlaku dalam alam.[13]
Jika modernisasi merupakan produk perkembangan ilmu pengetahuan, maka Islam
menurut Nurcholish Madjid, adalah agama yang sangat modern bahkan terlalu
modern untuk zamannya,[14]
karena Islam adalah agama yang secara sejati memiliki hubungan organik dengan
ilmu pengetahuan dan mampu menjelaskan kedudukan ilmu pengetahuan tersebut
dalam kerangka keimanan,[15]
maka kaum Muslim hendaknya yakin bahwa Islam bukan saja tidak menentang ilmu
pengetahuan, tetapi justru menjadi pengembangannya dan tidak melihat perpisahan antara iman dan
ilmu.
Jika tindakan
kultural selalu berlangsung dalam perangkat tradisi, maka usaha modernisasi
sebagai usaha suatu bentuk tindakan kultural yang amat penting juga berlangsung
dalam perangkat tradisi yang dinamis (dialogis). Itulah yang terjadi di Eropa
Barat pada permulaan modernisasi, dan itulah yang seharusnya terjadi di tempat-
tempat lain di luar Eropa Barat.
Muslim dan
Barat lah yang melahirkan modernitas, namun interaksi antara dua kelompok ini
ditandai dengan rasa permusuhan dan persaingan yang berkepanjangan, modernisasi
bagi mereka menyangkut bentuk kesulitan lain yang meskipun bersifat sampingan
namun cukup efektif menjadi penghalang, yaitu kesulitan psikologis berhadapan
dengan Barat, bekas saingan, jika bukannya musuh sepanjang sejarah.[16]
Terdapat asumsi
sosial yang menyatakan bahwa karena modernisasi merupakan produk Barat, maka
bangsa-bangsa (terutama bangsa non-Barat) yang ingin menjadi modern harus
terlebih dulu ter-Barat-kan, menggantikan budaya lokal mereka dengan kebudayaan
yang mirip Barat atau mengalami westernisasi, karena westernisasi adalah pintu
menuju modernisasi, seperti misalnya yang di lakukan oleh Mustafa Kemal
Attaturk (Kemalisme) yang menciptakan Turki Baru di atas puing-puing kekuasaan
Turki Usmani dan melakukan upaya kearah Westernisasi dan modernisasi.
Tantangan
bangsa non- Barat, khususnya Muslim, dalam usaha mendorong modernitas ialah
membebaskan diri dari “endapan” psikologis masa lalu yang serba tarumatis itu,
diganti dengan kasanggupan melihat keadaan seperti adanya, kalau bisa malah
secara positif dan optimis. Disebabkan oleh kebutuhan riil akan perangkat
ekspresi simbolik dalam mengkomunikasikan ide, program maupun tindakan
(khususnya yang berskala besar), maka disinilah letak relevansinya melihat kemungkinan
terjadinya apa yang disyaratkan oleh Hodgson, yaitu dimunculkannya kepermukaan
berbagai potensi kreatif dari celah sistem budaya yang ada, termasuk dan
terutama budaya berdasarkan agama, jika memang pola budaya yang mapan sekarang
tidak lagi dirasakan cukup menopang, apalagi jika menghambat.
“Semua pola
budaya, termasuk yang berkembang berdasarkan agama, sebagai dialog dinamis,
selalu bersifat historis, karena itu manusiawi. Salah satu makna dari kenyataan
itu ialah bahwa suatu pola budaya, betapapun jauhnya mengakar pada agama, harus
dinilai selalu berkembang, tidak statis, dan tidak dibuat- buat “sekali untuk
selamanya”. Sebab bentuk hubungannya dengan suatu agama yang mendasarinya ialah
hubungan interpretatif, dalam arti suatu pola budaya merupakan interpretasi
manusiawi atas noktah- nokyah keagamaan. Ini berarti penghadapan suatu fase
terakhir perkembangan itu tidak dengan agama an sich, tetapi dengan pola
budaya keagamaan yang merupakan interpretasi manusiawi dan historis atas
noktah- noktah ajaran agama.[17]
Maka tantangan
yang berat ialah bagaimana membebaskan pemahaman manusia akan agama dari unsur-
unsur tahayul, jika memang agama itu tidak merupakan kumpulan takhayul
seperti halya agama- agama “primitif”.[18]
Sebagai seorang
Muslim yang dengan sepenuhnya meyakini Islam sebagai Way of Life,
yang juga akan menganut cara berfikir Islami, menurut Nurcholis Madjid
pemaknaan terhadap substansi modernis harus berorintasi kepada nilai-nilai
besar Islam. Dengan demikian akan memperkuat keyakinan kita bahwa modernisasi
berarti rasionalisasi untuk memperoleh daya guna dalam berpikir dan bekerja
secara maksimal merupakan perintah Tuhan yang imperatif dan mendasar.[19]
Karena manusia para prinsipnya akan selalu mengalami perubahan dalam setiap
kurun waktu, maka modernitas merupakan kelanjutan wajar dan logis dari sejarah
perkembangan manusia yang lambat atau cepat pasti akan muncul.
Nurcholish
Madjid berpendapat bahwa modernisasi identik dengan westernisasi, karena
modernisasi ialah rasionalisai yang ditopang oleh dimensi-dimensi moral, dengan
berpijak pada prinsip iman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Akan tetapi, kita juga
sepenuhnya menolak pengertian yang mengatakan bahwa modernisasi ialah
westernisasi, sebab kita menolak westernisme. Dan westernisme yang kita
maksudkan itu ialah bahwa suatu keseluruhan paham yang membentuk suatu total way
of life, di mana faktor yang paling menonjol ialah sekularisme, dengan
segala percabangannya…[20]
Seperti halnya
yang dilakukan oleh orang Jepang dengan slogan Wakon, Yosei, “semangat
Jepang, teknik Barat”.[21]
Nurcholish Madjid menilai keberhasilan Jepang dalam mengadopsi teknologi Barat
modern dan membuatnya sesuai selera kejepangan merupakan keberhasilan
mentransfer modernitas dari Barat sehingga menyatu dengan sistem budaya mereka
secara otentik dan absah.[22]
Melalui
cara-cara yang fundamental, dunia bisa saja menjadi lebih modern dan tidak
begitu ter-Barat-kan. Kasus bangsa Jepang diatas begitu meyakinkan bahwa
modernisasi tidak mesti westernisasi. Ikatan-ikatan kultural, budaya-budaya
pribumi, identitas-identitas lokal dan keagamaan, tetap saja dipertahankan
bahkan mestinya diletakkan sebagai instrumen “filterisasi” budaya asing
yang umumnya telah bercampur aduk dan dikalim menjadi bagian dari modernsasi.
Dalam
memposisikan Islam dengan moderitas yang oleh kebanyakan orang dinilai
dikotomis, mestinya kita kembali melihat Islam dalam semangatnya yang lebih
dalam. Islam adalah sebuah agama yang mempunyai watak, visi, dan pandangan yang
ke arah kemajuan. Islam justru sangat membuka peluang dan memberi tempat pada
modernitas. Dalam hal ini masyarakat Islam bisa saja hidup di alam kemoderenan
dengan tetap mempertahankan dan memegang teguh nilai-nilai agama yang di anut.
Menjadi modern itu tidak harus menghalangi seseorang untuk tetap teguh dan kaffah
dalam menjalankan ajaran agamanya. Fraseologinya seseorang bisa menjadi modern
dengan tetap setia kepada Islam.[23]
5.
Sekularisasi
Sekuler secara
harfiah memiliki arti bersifat keduniawian / kebendaan.[24] Sekularisme
adalah suatu paham yang tertutup, suatu sistem ideologi tersendiri dan lepas
dari agama. Inti sekulerisme ialah penolakan adanya kehidupan lain diluar
kehidupan duniawi ini. dari perspektif Islam, sekulerisme adalah perwujudan
modern dari paham Dhahirriyah. Sekulerisme tidak sejalan dengan agama,
khususnya Islam.
Sementara sekularisasi memang dapat diartikan sebagai proses
politik sosial menuju sekulerisme, dengan implikasi paling kuat ide pemisahan
(total) agama dari negara. Sedangkan Talcott Parson menunjukkan bahwa
sekularisasi sebagai bentuk proses sosiologis, lebih banyak mengisyaratkan
kepada pengertian pembebasan masyarakat dari belenggu takhayul dalam
beberapa aspek kehidupannya. Hal ini tidak bearti pengahpusan orientasi
keagamaan dalam norma- normadari kemasyarakatan itu. Bahkan proses pembebasan
dari takhayul itu bisa semata- mata terjadi karena dorongan, atau merupakan
kelanjutan logis dari suatu bentuk orientasi keagamaan, khususnya monoteisme.[25]
Robert M. Bellah mengatakan bahwa Islam klasik telah melakukan “devaluasi
radikal dan orang dibenarkan menyebutnya sekularisasi atas semua struktur
sosial yang ada berhadapan dengan hubungan antara Allah dan manusia yang sentral.
Proses “devaluasi radikal” atau “sekularisasi” dalam pandangan
sosiologis Bellah, berpangkal dari monoteisme yang antara lain berakibat
penurunan nilai pranata kesukuan dan perkeluargaan yang di zaman Jahiliyyah
pusat rasa kesucian hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa belaka.
Penggunaan kata sekularisasi dalam sosiologi mengandung arti
pembebasan, yaitu pembebasan dari sikap pensucian yang tidak pada tempatnya.
Karena itu ia mengandung makna desakralisasi, yaitu pencabutan ketabuan dan
kesakralan dari objek- objek yang semestinya tidak tabu dan tidak sakral. Jika
diproyeksikan kepada situasi modern sekarang, maka “sekularisasi”- nya Robert
N. Bellah akan mengambil bentuk pemberantasan bid’ah, khurafat dan syirik
lainnya dengan kesemuanya itu berlangsung di bawah semboyan kembali kepada
Kitab dan Sunnah dalam usaha memurnikan agama.[26]
Sebagai contoh, lambang kampus ITB di bandung, yaitu patung Ganesha
yang merupakan Dewa Ilmu. Mereka memakai jaket dengan gambar Ganesha, tetapi
tetap sembahyang di Masjid Salman,. Mengapa? Karena Ganesha sebagai Dewa sudah
“dibunuh” atau sudah terkena La Ilaha Illallah, proses inilah yang
sebetulnya secara sosiologis disebut sekularisasi, devaluasi, atau kadang-
kadang juga demitologisasi.[27]
Sekularisasi yang dimaksudkan di sini ialah setiap bentuk “liberating
development”. Proses ini diperlukan karena umat Islam, akibat dalam
sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan nilai- nilai yang disangkanya
islami itu, mana yang transedental dan mana yang temporal. Sekalipun mungkin mereka tidak mengucapkannya
secara lisan, malahan memungkirinya, namun sikap itu tercermin dalam tindakan
mereka sehari- hari. Akibat hal itu, sudah maklum cukup parah,: Islam menjadi
seniali dengan tradisi, dan menjadi islamis sederajat dengan menjadi
tradisionalis.
Karena membela Islam menjadi sama dengan membela tradisi inilah,
maka timbul kesan bahwa kekuataun Islam adalah kekuatan tradisi yang bersifat
reaksioner. Kacamata hierarki inilah, yang dikalangan kaum Muslimin, tekah
membuatnya tidak sanggup mengadakan respons yang wajar terhadap perkembangan
pemikiran yang ada di dunia dewasa ini.
Jadi sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan
sekularisme dengan mengubah kaum Muslimin menjadi kaum sekularis. Tetapi
dimaksudkan untuk menduniawikan nilai- nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi
dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk meng-ukhrawi-kannya.
Dengan demikian kesediaan mental untuk selalu menguji dan menguji kembali
kebenaran suatu nilai dihadapan kenyataan- kenyataan materi, moral, maupun
historis menjadi sifat kaum Muslimin. Lebih lanjut sekularisasi dimaksudkan
untuk lebih memantapkan tugas duniawi manusia sebagai “khalifah Alam di bumi”.
Tetapi yang terjadi sekarang ialah bahwa umat Islam kehilangan kreativitas dalam hidup duniawi ini sehingga
mengesankan seolah- olah mereka memilih untuk tidak berbuat dan diam. Dengan kata
lain mereka telah kehilangan semangat ijtihad. Sebenarnya pandangan yang wajar dan
menurut apa adanya kepada dunia dan masalahnya, secara logis harus dipunyai
oleh orang Muslim, sebagai konsekuensi logis dari tauhid.
Sekularisasi secara konkret memiliki makna desakralisasi terhadap
segala sesuatu selain hal- hal yang bersifat Ilahiah (transedental), yaitu
dunia ini.[28]
dan yang dikenai proses desakralisai itu ialah objek duniawai, moral, maupun
material.[29]
Ide
sekularisasi Nurcholish Madjid pertama kali mucul saat kesempatan memberikan
ceramah dalam acara beberapa organisasi mahasiswa pada 3 Januari 1970. Nurcholish
Madjid menganjurkan sekularisasi sebagai sebuah bentuk pembebasan dari segala
pandangan-pandangan keliru yang dianggapnya telah mapan, namun Nurcholish Madjid
sendiri tidak bermaksud menerima paham sekularsisme, bahkan secara tegas ia
menolaknya. Memulai anjurannya, Nurcholish Madjid mengatakan;
Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme,
sebab sekularisme adalah nama sebuah ideologi, sebuah pandangan dunia baru yang
tertutup yang dipandang berfungsi sangat mirip dengan agama. Dalam hal ini,
yang dimaksudkan ialah setiap bentuk perkembangan yang membebaskan. Proses pembebasan
ini diperlukan karena umat Islam, akibat perjalanan sejarahnya sendiri, tidak
sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang di sangkanya Islami itu, mana yang
transendental dan mana yang temporal…[30]
Dari penegasan
tersebut, nampaknya Nurcholish Madjid ingin menjelaskan bahwa antara sekularisasi
dan sekularisme merupakan dua hal yang berbeda. “Sekularisasi” cenderung kepada
sebuah proses, dan “sekularisme” dengan isme-nya merupakan bentuk kepercayaan yang
dianggap sebagai padanan agama, seperti yang ada pada dua ideologi besar dunia,
sosialisme-komunis dan kapitalisme-sekuler yang dalam prosesnya berusaha
melepaskan ketergantungan manusia dari asuhan agama.
Dalam hal
penggunaan istilah sekularisasi diatas, Nurcholish Madjid seakan ingin
memberikan sebuah pemahaman tentang pentingnya membedakan agama dan paham
keagamaan. Menurut Nurcholish Madjid, agama dan paham keagamaan adalah sesuatu
yang berbeda. Agama adalah sesuatu yang mutlak karena berasal dari Tuhan, yang
maha mutlak, tetapi pemahaman keagamaan, cara manusia memahami agama tersebut
terdapat unsur-unsur yang berbeda dalam lingkungan daya dan kemampuan manusia
untuk melaksanakannya. Daya dan kemampuan manusia adalah bernilai manusiawi,
karena ia berada pada diri manusia itu sendiri.[31]
Pemahaman
keagamaan menurut Nurcholish Madjid lahir dari pada usaha-usaha keras (ijtihad)
manusia terhadap pesan-pesan yang di sampaikan Tuhan, sehingga jelas
mengisyaratkan adanya intervensi manusia dalam mamahami agama itu sendiri.
Pemahaman terhadap agama itu sendiri, oleh Nurcholish Madjid tidak boleh
disakralkan, sehingga diperlukan secara kontinyu usaha-usaha membangkitkan
kembali ilmu pengetahuan yang telah hilang di masa-masa kejayaan masyarakat
salaf untuk memahami kembali pesan-pesan agama.
Matinya ilmu
pengetahuan dalam Islam menurut Nurcholish Madjid adalah akibat melemahnya
kondisi sosial politik dan ekonomi dunia Islam, disebabkan percekcokan yang
tidak habis-habisnya dikalangan mereka tidak dalam bidang-bidang pokok
melainkan dalam bidang-bidang kecil seperti masalah fiqih dan peribadatan.
Perdebatan itu justru diakhiri dengan menutup sama sekali pintu ijtihad, dan
mewajibkan setiap orang taqlid kepada para pemimpin atau pemikir keagamaan yang
telah ada, yang berakibat mematikan kreatifitas individual dan sosial kaum
Muslim.[32].
Konsep kesucian
dalam agama Islam adalah semacam keyword yang secara ritual keseharian
biasa berkaita dengan, misalnya, konsep subh atau tasbih, artinya
mensucikan Allah Swt. Kalau kita mengucapkan subhanallah, artinya kita
mengaku bahwa yang suci atau sakral itu hanya Allah Swt: sementara yang lain
tidak suci, tidak sakral. Pengakuan ini mempunyai implikasi yang sangat jauh.
Pada Zaman Nabi Muhammad Saw., akibat yang paling langsung dari penyucian hanya
kepada Allah ialah runtuhnya pandangan hidup orang Arab yang berpusat kepad
suku.
Islam dengan
konsep tauhidnya meruntuhkan semua fenomena tribalisme atau paham kesukuan
Arab: meruntuhkan pandangan kesucian kepada objek apapun selain Allah. Dalam
bahasa sekarang konsep kesukuan mengalami devaluasi, dari nilai yang
sakral menjadi nilai yang tidak sakral, dari yang tabu menjadi tidak tabu, dari
yang tertutup menjadi yang terbuka untuk dipersoalkan, dan seterusnya. Semua
itu merupakan efek pembebasann semangat tasbih, yaitu
“menghanyakan” kesucian kepada Allah Swt. semata. Konsep tasbih ini
berasosiasi dengan konsep yang paling mendasar dalam agama Islam, yaitu la
ilaha ilallah. Hanya saja penekanannya pada sesuatu atau objek yang
disembah (ilah). Kalau diterjemahkan secara harfiyah maka berarti “tidak
ada sesuatu yang boleh disembah kecuali yang berhak disembah itu sendiri”. Para
ulama menyebut tentang al- nafy (peniadaan, negasi) dan al itsbat
(afirmasi). Karena itu dalam konteks kalimat la ilaha ilallah, berarti
menegasikan “segala sesuaatu yang tidak boleh disembah” dan mengafirmasi Allah.
Artinya, tidak ada yang boleh disembah kecuali Allah Swt.; atau, tidak ada yang
sakral kecuali Allah Swt.[33]
Ide
desaklarisiasi Nurcholish Madjid berpangkal pada semangat perkataan “Tauhid”
(di Indonesiaan menjadi tauhid)[34]
yang mengandung makna pemebasan, yakni pembebasan dari segala obyek duniawi, moral maupun material berupa
nilai-nilai dan benda-benda. Jadi sederhananya, menurut Nurcholish Madjid,
Tauhid yang mengajarkan sikap memaha-Esa-kan Tuhan itu memiliki konsekusensi
pembebasaan diri dari segala sesuatu yang membelenggu selain Tuhan. Menyangkut
konsekuensi perkataan tauhid tersebut Nurcholish Madjid menjelaskan;
…Sebenarnya
pandangan yang wajar dan apa adanya kepada dunia dan masalahnya, secara
otomatis harus dipunyai oleh seorang Muslim, sebagai konsekuensi logis dari
tauhid. Pemutlakan transendensi semata-mata kepada Tuhan, sebenarnya, harus
melahirkan desaklarisasi pandangan terhadap selain Tuhan, yaitu dunia
dan masalah-masalah serta nilai-nilai yang bersangkutan dengannya. Sebab
saklarisasi kepada sesuatu selain Tuhan itulah, pada hakikatnya yang dinamakan
syirik, lawan tauhid. Maka sekularisasi itu memperoleh maknanya yang konkret,
yaitu desaklarisasi terhadap segala sesuatu selain hal-hal yang benar-benar
bersifat Ilahiah (transendental), yaitu dunia ini.[35]
Dari semangat
Tauhid ini, lahir istilah – yang biasanya digunakan Nurcholish Madjid –“monoteisme
radikal”. Semangat Tauhid tidak hanya berimplikasi sebagai memaha-Esa-kan
Tuhan saja, tetapi juga memiliki efek pembebesan diri dan pembebasan sosial
yang sangat kuat. Efek pembebesan itu sesuai dengan semangat dan fitrah
kemanusiaan sebagai ciptaan Tuhan yang paling tinggi, yang karenanya manusia
itu harus merdeka.
Perkataan
Tauhid dan masalah percaya kepada Tuhan yang maha Esa menurut Nurcholish Madjid,
masih harus di bicarakan kembali, sebab ada kesan bahwa ber-Tauhid hanyalah
berarti percaya kepada Tuhan. Ternyata jika kita teliti lebih mendalam dan
teliti al-Qur’an, tidaklah sepenuhnya demikian.[36]
Masih ada hal penting yang harus diikuti dari semangat perkataan Tauhid itu,
yakni menghilangkan paham syirik, paham yang menganggap Tuhan memiliki
serikat atau sekutu. Inilah salah satu bentuk semangat Tauhid yang belum
sepenuhnya mendasari konsekuensi logis paham ke-Tuhan-an.
Jika manusia
tidak melakukan ketundukan dan kepasrahan kepada Tuhan secara mutlak, maka yang
terjadi adalah manusia pasti akan tunduk kepada yang relatif. Manusia harus
memperkuat ikatan dengan Tuhannya sehingga manusia dapat terbebaskan dari
ikatan-ikatan atau dominasi sesuatu yang derajatnya lebih rendah dari manusia
itu sendiri. Yaitu manusia yang sikap tauhidnya belum tercemari oleh nafsu
pemujaan terhadap berhala materi.[37]
Dalam pandangan
Nurcholish Madjid, problem utama umat manusia ialah politheisme, bukan ateisme,
maka program pokok al-Qur’an ialah membebaskan manusia dari belenggu paham
Tuhan banyak itu dengan mencanangkan dasar kepercayaan yang diungkapkan dalam
kalimat “al-nafy wa al-itsbat” atau “negasi-konformasi” yaitu La
ilaha illa Llah[38]
yang oleh Marshall Hodgson disebut sebagai ”rumusan kepercayaan Muslim”[39].
Dengan negasi itu dimulai proses pembebesan yaitu pembebasan dari belenggu
kepercayaan kepada hal-hal yang palsu. Tetapi demi kesemprunaan kebebasan itu
manusia harus mempunyai kepercayaan kepada sesuatu yang benar. Sebab hidup
tanpa kepercayaan sama sekali adalah sesuatu yang musthail.
KESIMPULAN
Islam
Kultuaral yang dikonsesikan oleh Nurcholish Madjid pada tahun 1970-an berniat
menjadikan Islam sebagai sebuah cairan budaya yang merembes masuk ke setiap
pori-pori kehidupan masyarakat Indonesia sehingga akan tercermin dari pola-pola
perilaku keseharian umat yang berasaskan Islam.
Konsep
yang di kultuskannya adalah melepaskan diri
dari nilai-nilai tradisional, dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa
depan. Konsesi tersebut di atas tercermin dalam pembahasan modernisasi (rasionalisasi
untuk memperoleh daya guna dalam berpikir dan bekerja secara maksimal merupakan
perintah Tuhan yang imperatif dan mendasar), sekularisasi (membedakan
agama dan paham keagamaan), dan desakralisasi (mengandung makna
pemebasan, yakni pembebasan dari segala obyek
duniawi, moral maupun material berupa nilai-nilai dan benda-benda).
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
M. Amin, 2006, Islamic Studies di Perguruan Tinggi,Pendekatan
Itegratif-Interkonektif, Cet; I Yogyakarta; Pustaka Pelajar Darmawan, Hendro
dkk., 2010. Kamus Imiah Populer, Yogyakarta: Bintang Cemerlang
Hidayat,
Komaruddin dan M. Wahyudi Nafis, 2003. Agama
Masa Depan, Perspektif Filsafat Perennial, Jakarta; Paramadina
Hodgson
, Marshall G. S., 2002. The Venture of Islam, Consciense and History in a
World Civilization, Jilid I. Diterjemahkan oleh Mulyadhi Kartanegara dengan
judul The Venture of Islam, Iman dan Sejarah Dalam Peradaban Dunia, Cet;
II, Jakarta; Paramadina
Huntington,
Samuel P., 2005. The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order,
di terjemahkan oleh M. Sadat Ismail dengan judul, Benturan Antarperedaban
dan Masa Depan Politik Dunia, Cet, XI, Yogyakarta; Qalam
Madjid,
Nurcholish, Budhy Munawar-Rachman
(penyunting), 2006. Ensiklopedi Nurcholish Madjid, Pemikiran Islam di kanvas
Peradaban, Cet. 1, Jakarta; Mizan
_______,
2005. Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, Cet;.V, Jakarta; Paramadina
_______,
2003. Islam Agama Kemanusiaan,
Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina
_______,
1997. Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya Dalam Pembangunan di Indonesia, Cet,
I; Jakarta; Paramadina
_______,
2008. Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, Cet, XI , Bandung; Mizan
Nata,
Abudin 2005. Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Indonesia, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada
Sejarah.
kompasiana.com
[1]
Nurcholis
Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, Cet, XI (Bandung, Mizan;
November 2008), hlm. 206
[2]
M. Amin
Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi,Pendekatan
Itegratif-Interkonektif, Cet; I (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2006), hlm.
135
[3] Nurcholish
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, (Cet;.V, Jakarta, Paramadina;2005)
[4] Nurcholish
Madjid, Budhy Munawar-Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid,
Pemikiran Islam di kanvas Peradaban (Cover) , Cet. 1 (Jakarta:Mizan, 2006)
[5] Abudin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan
Islam Indonesia,(Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2005)
h, 322-324. Cet.1-3
[6] Sejarah. Kompasiana.com diakses pada 04 Maret 2013, 08.03 WIB
[7] http://bangbudi.blog.ugm.ac.id/2012/09/16/islam-kultural-dan-islam-struktural-lawan-atau-pilihan/
di akses pada 04 Maret 2013, 08.30 WIB
[8] Islam
Doktrin dan Peradaban, Op. Cit., hlm. 426- 427
[9] Ilslam,
Doktrin dan Peradaban., Op. Cit., hlm.
435
[10] Nurcholish
Madjid, Islam Agama Kemanusiaan,
Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia (Jakarta: Paramadina, 2003)
hlm. 36
[11] Hendro
Darmawan, dkk., Kamus Imiah Populer, (yogyakarta: Bintang Cemerlang,
2010) hlm. 442
[12] Samuel P.
Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order,
di terjemahkan oleh M. Sadat Ismail dengan judul, Benturan Antarperedaban
dan Masa Depan Politik Dunia, (Cet, XI; Yogyakarta, Qalam;2005), hlm. 95
[13] Nurcholis
Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan,
Cet, XI; November 1998) hlm. 172
[14] Nurcholis
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Op.Cit, hlm. lxxiv, lihat juga, hlm.
lxxx
[16] Nurcholish
Madjid., Ensiklopedi Nurcholish Madjid.,Op. Cit., hlm. 2094
[17] Nurcholish
Madjid, Ensiklopedi Nurcholish Madjid., hlm. 2094
[18] Ibid., hlm.
2095
[19] Nurcholis
Madjid, Islam, Kemodernan, Op.Cit, h. 172
[20] Nucholis
Madjid, Islam Kemodernan, Op.Cit, hlm. 187
[21] Samuel P.
Huntington, The Clash of Civilizations, Op, Cit., hlm. 107
[22] Nurcholis
Madjid, Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya Dalam Pembangunan di Indonesia,
(Cet, I; Jakarta, Paramadina; Januari 1997), hlm.. 190
[23]Nurcholish
Madjid, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, Op. Cit.
[24] Kamus
ilmiah Op. cit., hlm. 670
[25] Nurcholish
madjid, Ensiklopedi Nurcholish
Madjid., Op. Cit., hlm. 2969-2970
[26]Ibid.,
[27] Nurcholish
Madjid, Ensiklopedi Nurcholish Madjid., Op. Cit., hlm. 2971
[28] Nurcholish
Madjid, Ensiklopedi nurcholish Madjid, Op. Cit., hlm. 2972
[30] Nurcholis
Madjid, Islam Kemodernan, Op. Cit, hlm. 207
[31] Nurcholis
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban,, hlm. 328-329
[32] Ibid, hlm..
xli
[33]Nurcholish
Madjid, Ensiklopedi Nurcholish
Madjid, Op. Cit, hlm. 548-549
[34] Nurcholis
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, hlm. 72
[35] Nurcholis
Madjid, Islam Kemodernan, Op.Cit, hlm. 208
[36] Nurcholis
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, hlm. 74
[37] Komaruddin
Hidayat dan M. Wahyudi Nafis, Agama Masa Depan, Perspektif Filsafat
Perennial, (Terbitan Ulang Paramadina, Jakarta; Maret 2003), hlm. 61
[38] Nurcholis
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban,, hlm. 78
[39] Marshall G. S.
Hodgson, The Venture of Islam, Consciense and History in a World
Civilization, Jilid I. Diterjemahkan oleh Mulyadhi Kartanegara dengan judul The
Venture of Islam, Iman dan Sejarah Dalam Peradaban Dunia, (Cet; II, Jakarta,
Paramadina; Agustus 2002), hlm.. 115
No comments:
Post a Comment