PENDAHULUAN
Diskusi mengenai
apakah Islam mempunyai konsep tentang sistem kenegaraan atau tidak, nampaknya
terus menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan bermacam pendapat telah
muncul dalam rangka menganalisis teori tentang kedudukan negara dalam Islam.[1]
Para ilmuwan
Islam berpendapat mengenai hubungan sistem ketatanegaraan dengan Islam- apakah
dalam Islam diajarakan atau dituntut agar mendirikan negara atau tidak-
kenyataan umat Islam selalu membutuhkan sebuah sistem kenegaraan yang Islami.
Karena bagaimanapun untuk mengamankan suatu kebijaksanaan diperlukan suatu
kekuatan (institusi politik).[2]
Realitas
sejarah menunjukkan bahwa ngara itu dibutuhkan dalam rangka pemngembangan
dakwah. Misalnya ketika Nabi masih di Makkah (611-622) tidak banyak yang dapat
diperbuat di bidang politik karena kekuatan politik di dominasi oleh kaum
Aristokrat Quraisy yuang memusuhi Nabi. Tetapi setelah hijrah ke Madinah,
dimana Nabi telah mempunyai komunitas sendiri yang berjanji setia untuk hidup
bersama dengan suatu kesepakatan dengan menggunakan aturan yang disepakati
berupa Piagam Madinah.
Kehudupan Nabi
bersama umatnya pada periode Madinah ini, oleh banyak pakar dianggap sebagi
kehidupan yang bernegara.[3]
Penilaian ini tentu didasarkan pada kenyataan yang dapat dijadikan sebagai
argumen bahwa ketika itu telah terwujud sebuah negara, baik itu wilayah,
masyarakat, maupun penguasa. Demikian juga penilaian terhadap Nabi ketika itu
telah bertindak sebagai kepala negara, misalnya memutuskan hukum, mengirim dan
menerima utusan dan juga memimpin peperangan.[4]
PEMBAHASAN
Keimamahan termsuk dalam kewalian umum yang meliputi semua akivitas
kehidupan, baik yang bersangkutan dengan hal- hal keagamaan atau keduniaan jika
seorang imam dapat menjalankan semua tugas itu seorang diri; sehingga tidak ada
jalan lain selain mewakilkannya kepada orang lain. Dia harus mempunyai pembatu
dan para pegawai yang ditunjuk untuk melaksanakan berbagai tugas, yang notabene
menjadi sebab didirikannya suatu negara. Karena yang diwakilkan kepada seorang
imam yang berjenaan dengan pengurusan tidak dapat ditangani semuanya sendirian,
kecuali dengan jalan menunjuk wakil pelaksana. Seluruh pekerjaan tersebut
membutuhkan spesialisasi dan pengetahuan yang notabene sangat beragam sehingga
harus didistribusikan, juga membutuhkan orang- orang yang kapabel dan sesuai,
yang dapat melaksanakan tugas itu secara sempurna.
Sejatinya negara menurut ulama fiqh hanya sebuah kumpulan dari
beberapa kontrak atau sebuah rentetan dari beberapa tanggung jawab dan
konsekuensi yang harus dilaksanakan. Tujuan dari kontrak yang pertama
(pemimpin) adalah sebagai media untuk membagi tanggung jawab dan
menciptakan lembaga lainnya. Antara
pemimpin kontrak dan kekuasaan harus ada hubungan langsung dengan keputusan
yang berasal dari rakyat. Jadi, seorang pemimpin hanya menjadi antara rakyat
dan para pembantunya yang menjalankan tugas- tugas kenegaraan , dalam kapasitas
bahwa pelaksanaan setiap tugas oleh seorang pembantu imam bisa dianggap sebagai
pemenuhan terhadap salah satu hak yang dimiliki umat.[5]
1.
Mandataris dan menteri eksekutif[6]
Para fuqaha telah berhasil merumuskan dan mempersepsikan pemikiran
politik tinggi yang sangat urgen, yaitu ide tentang “kesinambungan negara” dan
sebuah negara memiliki jati diri immaterial yang terus ada walaupun figur-
figur yang memimpinnya berbeda- beda atau berganti- ganti. Hal itu termasuk
salah satu teori politik yang terbaru.
Konsep dasar yang cukup mendapat perhatian para ulama fiqh adalah
mereka membagi perwakilan tugas ke dalam dua bagian, perwakilan mandataris dan
eksekutif.
Mandataris
|
Menteri eksekutif
|
Dinamakan senator
|
Dinamakan gubernur
|
Mendapat kekuasaan melalui sebuah kontrak
|
Hanyalah sebagai mandat yang tidak memerlukan sebuah konvensi
tertentu, hanya butuh persetujuan saja
|
Menguasai bidang perundang- undangan serta mempunyai hak untuk
mengurusi pelaksanaan tugas maupun penanganan keuangan. Syarat untuk
menduduki jabatan ini cukup banyak.
|
Kekuasaan lemah dan syarat – syarat untuk menduduki jabatan ini
sedikit karena tugasnya melaksanakan perintah dari imam dan untuk imam.
|
Spesifikasi yang membedakan kontrak mandataris dengan kontrak
lainnya adalah bahwa seorang pemimpin ketika dia melaksanakan tugas sebenarnya
melakukan tugas umat yang dibebankan kepadanya, bukan melaksanakan tugasnya
pribadi. Kekuasaan yang dijalankan oleh adalah kekuasaan yang independen.posisi
orang yang mendapat kekuasaan seperti itu akan menjadi tetap dan aman, selama
berjalan pada ketentuan yang berlaku.
2.
Pemerintahan Bukan Milik Pribadi[7]
Ketika seorang pemimpin memangku jabatan, dia tidak akan bertujuan
untuk mengambil hak- hak dan keistimewaan lainnya bagi dirinya. Dia tidak
berhak belaku sewenang – wenang atas jabatannya. Dia terikat oleh syarat-
syarat dan batas- batas yang telah digariskan oleh Undang – Undang. Para
pekerja yang bertugas dalam wilayah tugas umum dan khusus bukanlah pengikut
iman. Keikutsertaan rakyat dalam menentukan keberlangsungan bangsanya akan
menciptakan keharmonisan yang terpadu antara kedua belah pihak. Semua bekerja
sama mulai dari atasan sampai bawahan dalam melaksanakan undang- undang. Sudah
menjadi konsensus bahwa penerapan undang – undang merupakan tujuan pertama
pendirian sebuah negara.
3.
Variansi Kepemimpinan Negara
Kedudukan pemimpin (keimamahan) menjadi sumber legitimasi kekuasaan
eksekutif yang dalam bahasa fiqhnya disebut dengan kewalian atau dalam bahasa
lainnya tugas kepegawaian. Kepemimpinan suatu negara yang berasla dari seorang
imam dibagi menjadi empat bagian;[8]
a.
Kementrian
Kementrian adalah golongan kedua dalam negara setelah imam.
Kementrian dalam lingkup kerja umum, yaitu meliputi berbagai daerah yang
menjadi kekuasaan negara. Dalam praktikalnya, kementrian memiliki kesamaan
dengan pemimpin negara dalam perannya.
b.
Kementrian Eksekutif
Kementrian eksekutif adalah seseorang yang ditunjuk oleh imam untuk
menggantikan kedudukannya dalanm sistem dalam melaksanakan tugas- tugas seorang
imam, dengan tidak mempunyai kekuasaan independen.
c.
Kementrian mandataris
Menteri mandataris menjadi tulang punggung untuk memandatkan
pekerjaanya dengan pendapat dan pandangannya dalam mengeluarkan keputusan.
Menteri mandataris mempunyai kekuasaan independen dan kekuasaan umum dalam
setiap permasalahan, bukan saja dari sisi pelaksanaan melainkan dari sisi
pandangannya dalam mengejawentahkan tugasnya sesuai dengan pendapat yang
ditemukan.
Tiga hal yang tidak dapat dilakukan oleh menteri mandataris, yaitu;
1)
Seorang
imam berhak memberi jabatan kepada orang yang dianggap mumpuni dalam memangku
jabatan tersebut, sedangkan menteri tidak mempunyai kekeuasaan seperti itu.
2)
Seorang
imam meminta persetujuan kepemiminan dari pihak rakat, sedangkan menteri tidak
begitu prosedurnya.
3)
Seorang
imam boleh meninggalkan perbuatan yang dilakukan oleh menteri sementara menteri
tidak dapat meninggalkan begitu saja.
d.
Kesatuan dan keberagaman Kementrian
Kementrian eksekutif boleh memiliki lebih dari satu menteri dalam
jajaran kepengurusannya. Begitu juga dalam menteri lain dikementrian eksekutif
boleh diadakan pengangkatan secara formal yang terjadi pada menteri mandataris
dan menteri eksekutif. Menteri mandataris memiliki hak bebas dalam melaksanakan
tugasnya, dan menteri eksekutof terbatas pada perintah imam.
e.
Kementrian Masa Lalu dan Masa Sekarang
Terdapat perbedaan antara perdana menteri sekarang dengan perdana
menteri mandataris, ialah bahwa menteri pertama sekarang terikat dalam
melaksanakan tugasnya oleh pandangan dewan kementrian, dan para menteri juga
ikut serta dalam dalam merumuskan permasalahan secara bersama- sama. Sedangkan
menteri eksekutif melaksanakan segala
keputusan yang keluar dari dewan kementrian atau dewan negara.[9]
f.
Perspektif Sejarah
Ibnu Khaldun berpendapat bahwa penyebab kemunculan dua menteri ini
adalah karena adanya kesewenang- wenangan terhadap kekuasaan pada masa Abbasi,
atau adanya pergantian menteri denagn sewenang – wenang maupun pergantian
sultan yang tidak sejalann dengan konstitusi yang ada.[10]
g.
Gubernur daerah
Adanya perkembangan politik telah menuntut munculnya sebuah jabatan
lain seperti halnya gubernur, terutama jika negara bertambah luas daerah
kekuasaannya. Gubernur akan berfungsi sebagai imam dalam kekuasaan kepemimpinan
jika dilihat dari kepentingan umum.
4.
Kapabilitas dan Otoritas Kekuasaan
Ulama Fiqh memandang kekuasaan gubernur daerah terbagi menjadi dua
bagian, yaitu gubernur yang memimpin karena mempunyai kapabilitas, dan kedua
pemimpin yang memimpin karena otoritas (tidak mempunyai kemampuan untuk
memimpin dengan persyaratan yang semestinya dipenuhi).
a.
Gubernur berdasarkan kapabilitas
Syarat kapabilitas seorang pemimpin, seperti halnya yang telah
dikatakan oleh al Mawardi bahwa persyaratan
gubernur memiliki persamaan dengan menteri mandataris, perbedaannya,
kegubernuran persyaratannya khusus, sedangkan kementrian kekuasaannya umum, dan
keumuman kekuasaan itu hanya terletak pada tempat bukan pada bidang
pandangannya. Dikatakan sebuah pandangan yang umum dari gubernur itu karena
seorang gubernur diangkat oleh khalifah untuk menguasai sebuah daerah tertentu,
dan kekuasaanya mencakup seluruh yang ada didaerah tersebut.[11]
Perhatian yang harus dicurahkan oleh seorang gubernur yang memenuhi
kapabilitas untuk memimpin terjabarkan sebagai berikut:[12]
1)
Mengawasi
pengurusan militer
2)
Mengawasi
kehakiman
3) Pemungutan
pajak dan pemberian sedekah kepada yang berhak menerimanya
4)
Menjaga
agama dan membela kesakralannya
5)
Menegakkan
hudud dalam hak Allah dan hak bani Adam.
6)
Menjadi
imama dalam berbagai hak
7)
Memberi
fasilitas akomodasi perjalanan haji dan pelaksanaan lainnya.
8) Wajib
melaksanakan jihad bagi yang berada di perbatasan dan berhadapan langsung
dengan musuh.
b.
Gubernur berdasarkan otoritas kekuasaan
Gubernur yang menduduki kekuasaan dengan cara paksaan atau otoritas
adalah sebuah kekuasaan yang muncul dengan keadaan yang terpaksa dan kondisi
sedemikian rupa.
Pengangkatan seorang gubernur dalam perundang- undangan yang
berhubungan dengan kemanusiaan, yaitu;
1)
Menjaga
kedudukan kepemimpinan dalam kekhilafaham Nabi dan mengatur permasalahan
keagamaan
2)
Menampakkan
ketaatannya pada agama yang dapat menghilangkan sifat pembangkangan dan melenyapkan
dosa penyempalan.
3)
Mempersatukan
pendapat dari setiap golongan dengan penuh toleransi dan menumbuhkan sikap
saling menolong sehingga seorang muslim adalah tangan yang membantu muslim
lainnya.
4)
Menjamin
kebolehan atau keabsahan kontrak- kontrak kepemimpinan, sebagaimana juga
mnejamin pelaksanaan ketentuan hukum dan peradilan.
5)
Mempergunakan
keuangan kenegaraan sesuai dengan kepentingannya sehingga yang akan
mempergunakannya lepas dari tanggung jawab dan boleh mengambil uang tersebut
dengan sah.
6)
Hukum-
hukum agama dapat dilaksnakan sesuai denmgan ketentuan yang ada dan berjalan
pada aturannya. “sisi kaum muslimin adalah batas yang tidak boleh dilanggar,
kecuali dilandasi oleh hak Allah dan hudud-Nya.”
7)
Seorang
gubernur harus menjadi penjaga agama dan memperhatikan hal- hal yang diharamkan
Allah. Menyuruh pada jalan Allah dan menyeru untuk taat kepada-Nya.
B. Syarat- Syarat Gubernur dan Menteri
1.
Berilmu (Kualifikasi Ijtihad)
Memiliki kualifikasi ijtihad maksudnya adalah mempunyai ilmu
syari’at Islam dan hukum- hukumnya beserta sumber- sumber pengambilan hukum.
Seorang gubernur dan menateri harus mengetahui ilmu- ilmu berikut: ilmu tafsir
dan ilmu hadits, sejarah hukum Islam, Sejarah kenegaraan Islam, Ilmu Ushul,
ilmu Manthiq, ilmu- ilmu bahasa, dan ditambah lagi dengan ilmu- ilmu Politik,
ekonomi, dan ilmu perkembangan Sosial.[13]
2.
Mengetahui ilmu politik, perang dan administrasi
Seorang imam, menteri dan gubernur harus mempunyai wawasan luas
dalam urusan perpolitikan, perang dan administrasi, yang nantinya dengan
wawasannya itu mampu melaksanakan tugasnya dari tiga aspek tersebut.
3.
Kondisi jiwa dan raga yang baik[14]
Imam Haramain berkata, “syarat- syarat dari seorang imam adalah
harus mampu menghadapi berbagai permasalahan dan mengantisipasinya dengan
cepat; cekatan dalam mempersiapkan militer untuk menghadapi musuh dan mempunyai
pandangan yang jernih bagi kepentingan rakyat. Dia tidak mengikuti hawa nafsu
yang mengakibatkan ketidakjelian dalam mengawasi kebegaraan dan cukup keras
memperjuangkan tegaknya hukum- hukum Tuhan. Sedangkan yang dimaksud dengan
sehat badan adalah sehat panca indera dan anggota badan yang dapat mempengaruhi
etos kerja.
4.
Berlaku adil dan berakhlak mulia
Apa- apa yang diucapkannya dapat dipercaya dan menjauhi perbuatan
dosa, tidak melakukan perbuatan yang terlarang, serta menghindari perbuatan
yang memunculkan keraguan. Selain itu, juga mencari keridhaan dan menahan
timbunya kemarahan, dapat dicontohkan bagi agamanya dan dunianya.[15]
5.
Memiliki kualifikasi kepemimpinan yang penuh
Kepemimpinan yang penuh yaitu, dia merupakan seorang muslim, bebas,
laki-laki, dan berakal. Islam adalah persyaratan pertama yang menentukan
keabsahan kesaksian dan kepemimpinan. Allah berfirman,
“...Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada
orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (an Nisa: 141)
Kebebasan, orang yang tidak bebas (budak) termasuk dalam kekurangan
dalam syarat kepemimpinan terhadap orang lain. Laki-laki; sebagian fuqaha
memfatwakan bahwa perempuan juga mempunyai kekurangan dalam hierarki kepemimpinan,
walaupun perkataan mereka dapat menentukan keputusan hukum. kedewasaan; orang yang tidak dewasa tidak
dikenai tanggungan dan hukuman yang berlaku. Dan berakal; al Mawardi berkata
“tidak hanya dengan akal yang berhubungan dengan kewajiba, tetapi harus
mengetahui hal-hal yang sangat urgen, sehingga dapat membedakan dengan seksama
semua permasalahan yang ada, terhindar dari dorongan nafsu dan lupa.
6.
Keturunan[16]
Seorang imam harus berasal dari keturunan Quraisy. Dalam persyaratan
ini para ulama berbeda pendapat. Ahlussunah setuju dengan hal ini, berbeda
dengan Mu’tazilah dan Khawarij, mereka berpendapat keimamahan adalah hak bagi
setiap muslim yang telah memenuhi syarat. Ibnu Khaldun setelah menganalisis
problema yang ada, ditemukan bahwa Quraisy adalah yang sangat fanatik kesukuanm
sehingga manusia mengakui kedudukan Quraisy dalam hal ini. akhirnya, mereka
menjadi yang lebih utama untuk menduduki
khilafah dan mendapat perhatian dari yang lainnya, semuanya taat pada
pemimpinnya.
C. Kewajiban – Kewajiban Umum
1.
Masyarakat Mukallaf[17]
Mukallaf (citizen) adalah orang yang mempunyai tanggung
jawab. Setiap orang yang yang telah dewasa dan berakal, baik laki- laki ataupun
perempuan, sebuah anggota komunitas sosial atau keturunan, sampai para nabi pun
ataupun para pemimpin, memiliki persamaan dalam hal ini dengan rakyatnya.
Mereka dikenai tanggung jawab. Sementara orang- orang yang dikenai tanggung
jawab tersebut dalam sebuah kelompok orang dinamakan sebagai tanggung jawab
komunitas.
Hak itu milik Allah dan manusia harus menyadari bahwa dia hanya
sekedar meminjam kenikmatan dari kepemilikannya, sehingga semua tindakan yang
dilakukannya berkenaan dengan barang itu hany mewakili Pemilik yang sebenarnya.
2.
Hak dan kewajiban[18]
Terdapat dua hak, yaitu Hak Allah dan hak- hak manusia. Hak Allah
yaitu hak- hak yang berkaitan dengan ubudiyah, atau berkenaan dengan
kemaslahatan umum umat, terutama ketentuan yang berkaitan dengan ketentuan had
yang syari’atkan oleh Allah, karena menjadi faktor conditio sine qua non
daripada eksistensi masyarakat.
Hak yang kedua adalah hak properti yang dimiliki oleh para
individu, ataupun yang berkaitan dengan kepentingan pribadi. Hak ini disebut
juga dengan hak orisinil ataupun difitrahkan, tetapi dipandang sebagai kah- hak
yang diperoleh (muktasabah).
Para ulama telah membagi kewajiban ke dalam dua bagian; kewajiban
individual dan kewajiban kolektif. Kewajiban yang pertama diwajibkan pada
setiap individu itu sendirinya, sedangkan yang kedua diwajibkan pada sekelompok
orang dalam satu kesatuan tanpa melihat pada aspek individunya.
3.
Kewajiban Etis Dalam Politik[19]
Kewajiban yang cukup penting dan mempunyai pengaruh besar terhadap
kehidupan adalah kewajiban untuk menerapkan etika moral yang telah
diperintahkan Islam untuk berkonsekuensi: memenuhi janji, ikhlas dalam segala
perbuatan yang dikerjakannya, mendekatkan diri pada Allah dalam setiap
pekerjaan, bersiap untuk berinteraksi dengan komunitas sosial dalam menjalankan
perbuatan yang baik dan berorientasi ketakwaan, serta mengikuti segala nasihat
yang datangnya dari Tuhan, Rasulullah dan para ulama shalihin.
4.
Kewajiban Kifayah Atau Kewajiban Umum[20]
Kewajiban kifayah ialah jika dalam pelaksanaannya bisa dicukupkan
apabila telah dilakuka oleh sebagian orang. Sedangkan fardhu ‘ain disebut
sebagai kewajiban perseorangan atau privat.
5.
Urgensitas kewajiban umum (bersama)
Kewajiban kolektif pada dasarnya adalah kewajiban individual juga.
Tujuan individual tujuannya bagi kepentingan diri sendiri dan tanpa mediator,
sedangkan kewajiban kolektif memerlukan mediator, baik dengan jalan perwakilan
atau dengan pengutusan orang tertentu untuk melaksanakannya.
Gambaran
umum tentang setiap perluasan kewajiban, diantaranya;
a.
Keimamahan
Kewajiban mendirikan negara Islam yang legal yang merupakan dasar
utama untuk terealisasinya seluruh kewajiban yang akan diterapkan pada
komunitas sosial.
b.
Pengadilan negeri dan pengadilan tata negara
Tujuan utama pengadilan adalah untuk menghukum para pejabat
pemerintah dalam komunitas sosial yang ada atau menghukum para pemimpin daerah
dan para wilayah lain- lain, atau menghukum para pelaksana negara jika mereka
menganiaya anggota masyarakat.
c.
Jihad
Jiihad merupakan jalan untuk menentang kezaliman, membebaskan
belenggu dari leher kemanusiaan, dan akhirnya menghilangkan segala rintangan
yang menghalangi upayanya untuk meraih kemajuan. Hukumnya adalah fardhu kifayah
menurut mayoritas kaum muslimin, kecuali jika wilayah Islam diagresi, pada saat
itru berubah manjadi fardhu ‘ain.
d.
Amar ma’ruf nahi munkar
Kewajiban amar ma’ruf nahi munkar terdapat banyak di ayat al-
Qur'an diantaranya
e.
Penerapan ilmu agama dan keduniaan
Setiap ilmu yang bermanfaat untuk penambahan pembangunan serta
menjaga kelangsungan hidup dan mengembanhkan peradaban, disamping ilmu
pengetahuan yang berorientasi pada penjagaan agama, penjagaan hukum Islam, sah
tidaknya sesuatu yang sesuai dengan hukum, dan yang berhubungan dengannya.
Serta ilmu pengetahuan itu wajib bagi negara untuk mengembangkan dan menjaganya
dengan mengajarkan pada bangsa. negara berusaha memajukan ilmu pengetahuan dan
mencari saran untuk pengembangan ilmu yang lebih efektif, sehingga dapat
dirasakan oleh semua orang.[21]
f.
Perangkat- perangkat pembangunan[22]
Agama sebagai wakil dari rakyat adalah menyediakan sarana yang
dapat merealisasikan pembangunan dan memberikan fasilitas yang dapat dipakai
untuk meningkatkan kehidupan rakyat, menggali sumber daya alam, dan
memproduksinya dengan sendirinya. Hal tersebut menunjukkan bahwa Islam adalah
agama yang membangun dan mengembangkan ilmu pengetahuan, Islam sangat
memperhatikan kepentingan dunia seperti halnya memperhatikan kepentingan agama.
g.
Solidaritas sosial
Salah satu kewajiban yang telah diwajibkan oleh hukum terhadap
negara adalah adanya sikap sepenanggungan satu sama lain sehingga seseorang
diantara mereka tidak dibiarkan begitu saja jika memiliki kebutuhan. Setiap
individu akan saling membahu satu sama lainya. Prinsip yang demikian merupakan
prinsip yang sangat tinggi, yang telah dirintis
oleh Islam sejak pertamanya, mendahului sistem yang lainnya selain
Islam. Kecuali pada masa sekarang.[23]
Dalam Islam, negara harus menyiapkan kebutuhan rakyatnya- baik yang
muslim maupun yang dzimmi- mulai dari pakaian, makanan, perumahan, pengobatan
dan sebagainya. Bahkan, juga pelayanan kepada yang membutuhkan, seperti orang
yang tidak mampu dan orang lumpuh. Pelayan seperti itu bukan sekedar untuk
menyambung hidup, melaainkan harus mencukupi kebutuhannya, yaitu yang dapat
mewujudkan tingkat hidup yang layak.[24]
6.
Kewajiban imam atau kepala negara
Al Mawardi berkata bahwa yang harus dipenuhi oleh seorang imam
dalam permasalahan umum ada sepuluh, sebagai berikut,[25]
a.
Menjaga
agama (akidah dan syari’at)
b.
Melaksanakan
pengadilan
c.
Menjaga
stabilitas keamanan
d.
Menerapkan
hukum pidana
e.
Mempersiapkan
sarana pertahanan negera.
f.
Berjihad
menghadapi musuh
g.
Menarik
pendapatan negara
h.
Membagikan
hak dan gaji pegawai
i.
Memantau
langsung segala permasalahan
7.
Gambaran umum sistem pemerintahan Islam
Ibnu Khaldun menamakan tugas- tugas yang harus dilakukan oleh
negara dengan sebuah rancangan. Dia membicarakan rancangan tersebut dan
membagikannya ke dalam: rancangan keagamaan dan rancangan kekuasaan
(sultaniyah) yang di maksud Ibnu Khaldun, sebagaimana kita pahami sekarang,
dengan nama politik dan administrasi. Ibnu khaldun berpendapat bahwa
kepemimpinan dalam Islam meliputi hal di atas, karena kerajaan berada dibawah
kekhalifahan, sehingga kewenangan sebuah lebih umum daripada sebuah negara.
HUBUNGAN
UMAT DENGAN PENGUASA
A. Prinsip Dasar Negara Islam
A. Prinsip Dasar Negara Islam
1.
Keadilan
Keadilan adalah tujuan umum atau tujuan akhir dari tujuan pemerintahan Islam. Perintah melaksanakan keadilan banyak ditemukan secara eksplisit dalam Al- Qur’an. Ayat- ayat Al- Aqur’an yang menyuruh untuk berlaku adil dan Allah sendiri menjadikan keadilan itu sebagai tujuan dari pemerintahan.[26] Diantaranya Firman Allah,
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”(QS. An Nisa: 58)
Keadilan adalah tujuan umum atau tujuan akhir dari tujuan pemerintahan Islam. Perintah melaksanakan keadilan banyak ditemukan secara eksplisit dalam Al- Qur’an. Ayat- ayat Al- Aqur’an yang menyuruh untuk berlaku adil dan Allah sendiri menjadikan keadilan itu sebagai tujuan dari pemerintahan.[26] Diantaranya Firman Allah,
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”(QS. An Nisa: 58)
2.
Persamaan dihadapan hukum
Prinsip
persamaan manusia tepat dijadikan sebagai salah satu sendi utama dalam membina
negara Islam. Islam menghendaki tatanan masyarakat yang didalamnya tidak ada
kelas dan kasta. Dengan menampilkan ajaran persamaan ini bearti Islam pada
dasarnya menghendaki masyarakat egalitarian.[27]
Persamaan manusia dimuka hukum berimplikasi pada soal pelaksanaan hukum, yaitu
bahwa semua manusaia berhak mendapatkan perlakuan sama dimuka hukum, dan
persamaan antar manusia di muka hukum sebagai landasan sistem kemasyarakatan
Islam.[28]
3.
Keadilan dan pembangunan
Haykal menulis
bahwa dalam sistem negara Islam semua warga negara memiliki hak yang sama untuk
berpartisipasi dalam pembangunan negara.[29]
Ungkapan Haykal tersebut menggambarkan bahwa masyarakat Islam adalah masyarakat
terbuka, yaitu masyarakat yang membuka seluas- luasnya kepada setiap individu
untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial politik. Adanya tingkat partisipasi
sosial- politik yang tinggi dalam Islam itu berakar pada dari adanya hak- hak
pribadi dan masyarakat yang tidak bleh diingkari. Hak pribadi dalam masyarakat,
menurut Nurcholis Madjid, membawa kepada timbulnya tanggung jawab bersama
terhadap kesejahteraan para warga. Sebaliknya, hak masyarakat atas pribadi
warganya menghasilkan kewajiban setiap pribadi warga itu kepada masyarakat.
Jadi, hak dan kewajiban sesungguhnya merupakan dua sisi dari hakikat manusia:
harkat dan martabatnya.[30]
4.
Keadilan bagi kalangan minoritas
Berbuat adil
terhadap orang- orang nonmuslim yang tinggal di negara muslim termasuk keadilan
yang telah diperintahkan oleh Islam. Dalam syari’at dsendiri telah diterangkan
begitu jelas bahwa negara mempunyai kewajiban untuk menlindungi mereka seperti
yang dilakukan terhadap kaum muslimin secara sama- sama. Mereka memiliki
persamaan dalam hak meskipun para umat Islam terdahulu lebih menekankan pembahasannya
pada kewajiban- kewajiban mereka.[31]
B. Syura[32]
Sistem kenegaraan yang dianjurkan oleh Islam harus memegang prinsip syura. Allah mewajibkannya sebagaimana perintah-Nya terhadap Rasulullah saw. Untuk menjalankan syura:
B. Syura[32]
Sistem kenegaraan yang dianjurkan oleh Islam harus memegang prinsip syura. Allah mewajibkannya sebagaimana perintah-Nya terhadap Rasulullah saw. Untuk menjalankan syura:
“Maka disebabkan rahmat dari
Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[33]. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Al Imran: 159).
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[33]. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Al Imran: 159).
Diriwayatkan oleh Rasulullah saw:
“Tidak ada sebuah kaum pun yang
melakukan musyawarah kecuali mereka dapat merumuskan pilihan yang terbaik dalam
mengatasi permasalahan mereka.”
Rasulullahj memerintahkan untuk
melakukan musyawarah bukan karena beliau membutuhkan pendapat mereka, melainkan
karean ketika beliau menanyakan pendapat mereka, setiap orang akan berusaha
berpikir keras untuk merumuskan pendapat yang terabaik dalam pendangan mereka,
sehingga sesuai dengan suasana hati- masing- masing.
“Maka sesuatu yang diberikan kepadamu, itu
adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan
lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka,
mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan
perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. Dan
(bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan
mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (asy-Syuura:36-38)
C. Tanggung jawab pemimpin
Tanggung jawab
seorang pemimpin merupakan dasar kepemimpinan ketiga dalam pemerintahan Islam.
Selama seorang pemimpin berpegang pada perintah Allah, memimpin atas dasar
keadilan, melaksanakan segala hukum yang ada, dan berkonsekuinsi terhadap hukum
dalam pelaksanaannya, serta selalu menjaga amanat kepemimpinannya. Yang
demikian itu diwajibkan terhadap rakyatnya untuk taat dan mendukung
perbuatannya.[34]
Pemimpin
memiliki banyka padanan kata, diantaranya adalah Ulil Amri seperti yang
terdapat pada beberapa firman Allah,
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu....” (An- Nisa: 59)
Kata Ulil
Amri Minkum memiliki makna para pemimpin yang berjalan dengan kebenaran.
Karena, para pemimpin yang berlaku dzalim telah terlepas dari Allah dan
Rasul-Nya. Oleh karena itu, mereka tidak dapat disandingkan dengan ketaatan
terhadap para pemimpin yang berjalan dalam jalan A;llah dan Rasul-Nya, adalah
ketaatan dalam mewujudkan keadilan, memilih kebenaran, amar ma’ruf, dan
melarang dari lawannya. Mereka tidak seperti Khulafaur Rasyidin dan orang-
orang yang mengikuti mereka dengan baik.[35]
D. Karakteristik negara dan kedaulatan
D. Karakteristik negara dan kedaulatan
Konsep kedaulatan berdasarkan al
Qur’an cukup sederhana.Tuhan adalah Pencipta alam semesta. Dia adalah
Pemelihara dan Penguasa sejati. Kehendak-Nyalah yang dominan di kosmos dan
sekelilingnya, karena semua makhluk adalah milik-Nya dan perintah-Nya juga
harus ditegakkan dan ditaati dalam masyarakat manusia. Dialah kedaulatan sejati
dan kehendak-Nya harus berkedudukan sebagai Undang- Undang.[36]
Dr. Thaha Husein berpendapat bahwa “
Sistem pemerintahan Islam pada waktu itu tidak dapat dikatakan sebagai sistem
pemerintahan otoriter, bukan pula pemerintahan otoriter, bukan pula
pemerintahan demokrasi seperti yang di kenal oleh Yunani, juga bukan sistem
kerajaan, republik, atau kekaisaran terbatas seperti yang di kenal oleh Romawi.
Namun sistem pemerintahan Islam itu adalah sistem pemerintahan Arab Murni; yang
batasan- batasan umumnya ditetapkan oleh Islam, kemudian batasan- batasan itu
berusaha diisi oleh kaum muslimin.”[37]
Tanggapan terhadap pandangan di atas
yang mengatakan bahwa sistem pemerintahan Islam pada saat itu adalah sistem
Arab, baik murni maupun tidak murni Arab, berarti mengandung makna yang
menyinggung adanya pemaknaan etnisitas, padahal Islam datang untuk
menghilangkan unsur rasial yang telah berkembang kuat di Arab.
E. Islam dan Demokrasi
Jika yang dimaksud dengan demokrasi
adalah pemerintahan rakyat, melalui rakyat dan untuk kepentingan rakyat, maka
hal tersebut sebenarnya telah tercakup dalam sistem pemerintahan Islam, kecuali
jika pernyataan istilah masyarakat harus dipahami secara tertentu dan
menyeluruh.
Begitu juga jika yang dimaksud
dengan demokrasi adalah apa yang sering dikaitkan dengannya seperti konsep
persamaan di hadapan undang- undang, kebebasan kepercayaan dan akidah,
mewujudkan keadilan sosial, maka prinsip dan hak tersebut terwujudkan dan
terjamin dalam Islam.
Sedang jika yang dimaksud dengan
demokrasi adalah sisem yang menjadi ikutanya, yaitu konsep pembagian kekuasaan,
maka hal seperti itu pun ada dalam Islam.
Adanya konsep ijma yang merupakan
salah satu keistimewaan syari’at Islam, dan yang hanya di akui oleh Islam,
memperkuat statemen bahwa Islam memberikan tempat khusus bagi umat dan
aspirasinya dalam sistem Islam, yang lebih tinggi daripada apa yang dapat
dicapai dalam sistem demokrasi manapun, sesempurna apapun demokrasi itu.
F.
Karakteristik Negara Islami
Nama yang lebih cocok untuk politik
Islam ini adalah “Kerajaan Tuhan” (Kingdom of God) yang didalam bahasa
politik diebut sebagai “teokrasi”. Tetapi teokrasi Islam merupakan sesuatu yang
sama sekali berbeda dari teokrasi yang pernah jaya di Eropa tempat terjadinya
pengalaman pahit kaena adanya kelompok pendeta- yaitu suatu kelompok masyarakat
khusus yang melakukan dominasi tak terhingga dan menegakkan hukum- hukumnya
sendiri atas nama Tuhan, dan pada akhirnya memaksakan keilahian dan ketuhanan
mereka sendiri atas rakyat. Teori yang dibangun Islam tidaklah dikuasai oleh
kelompok keagamaan manapun kecuali seluruh masyarakat Islam dari semua
kelompok. Seluuh penduduk muslim mnyelenggarakan pemerintahan sejalan dengan
kitabullah dan praktek Rasulullah.[38]
Perbedaan sistem pemerintahan Islam
dengan sistem demokrasi adalah dalam tiga unsur:[39]
No.
|
Unsur
|
Sistem Islam
|
Sitem demokrasi
|
1.
|
Rakyat /bangsa
|
Humanisme,
dan orientasinya adalah universal. “Dan
Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai
pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan
manusia tiada mengetahui” (Saba’: 28)
|
Rakyat yang terbatas pada teritorial geografis yang hidup dalam
suatu daerah tertentu, disatukan oleh ikatan darah, ras, bahasa dan tradisi
yang sama.
|
2.
|
Tujuan
|
Untuk
mewujudkan kemaslahatan akhirat dan duniawi manusia yang kembali kepadanya
(akhirat)
|
Untuk kepentingaan dunia atau materi.
|
3.
|
Kekuasaan umat
|
Kekuasaan
umat terikat oleh syari’at, yaitu agama Allah yang wajib dilaksanakan oleh
setiap individu.
|
Bersifat
mutlak, yaitu pemegang kedaulatan.
|
G.
Sistem Pemerintahan Islam
Haykal
mengatakan bahwa apapun sistem dan bentuk suatu pemerintahan selama dijalankan
untuk tujuan merealisasikan prinsip- prinsip dasar negara Islam dan ditegakkan
di atas landasan prinsip- prinsip tersebut, disebut saja pemerintahan Islam.
Umat Islam bebas mengambil sistem pemerintahan yang bagaimanapun asalkan sistem
tersebut mejamin persamaan diantara para warga negaranya, baik dalam hak maupun
kewajiban mereka, dan juga persamaan dimuka hukum.[40]
Pemilik kedaulatan
dalam negara Islam ialah dua hal yang saling bersatu yang harus saling
berhubungan, dan keberadaan negara serta kelangsungannya tidak terbayangkan
tanpa adanya hal itu. Dua hal tersebut yaitu umat (rakyat) dan undang- undang
atau syari’at Islam. Sistem ini harus diberi istilah khusus, karena ia
merupakan suatu sistem tersendiri, yaitu an-Nizamul Islami ‘sistem
politik Islam’.[41]
KESIMPPULAN
Dari berbagai
uraian di atas, maka dapat di ambil kesimpulan bahwa untuk terbentuknya sebuah
negara diperlukan adanya Kewalian Negara, Kementrian Dan Kepemimpinan Regional,
yang mana mereka memiliki berbagai
persyaratan yang harus dipenuhi, diantaranya adalah Berilmu (Kualifikasi
Ijtihad), Mengetahui ilmu politik, perang dan administrasi, Kondisi jiwa dan
raga yang baik, Berlaku adil dan berakhlak mulia, Memiliki kualifikasi
kepemimpinan yang penuh dan juga Keturunan. Dan mereka pun harus memenuhi
beberapa hak dan juga kewajiban mereka yang merupakan peran dari adanya
statusnya.
Nama yang lebih
cocok untuk politik Islam ini adalah “Kerajaan Tuhan” (Kingdom of God)
yang didalam bahasa politik diebut sebagai “teokrasi”. Tetapi teokrasi Islam
merupakan sesuatu yang sama sekali berbeda dari teokrasi yang pernah jaya di
Eropa tempat terjadinya pengalaman pahit kaena adanya kelompok pendeta- yaitu
suatu kelompok masyarakat khusus yang melakukan dominasi tak terhingga dan
menegakkan hukum- hukumnya sendiri atas nama Tuhan, dan pada akhirnya
memaksakan keilahian dan ketuhanan mereka sendiri atas rakyat. Teori yang
dibangun Islam tidaklah dikuasai oleh kelompok keagamaan manapun kecuali
seluruh masyarakat Islam dari semua kelompok. Seluruh penduduk muslim
mnyelenggarakan pemerintahan sejalan dengan kitabullah dan praktek Rasulullah.
Hubungan antara
umat dengan penguasa, haruslah trejalin dengan baik, dengan melihat beberapa poin
penting dari prinsip dasar negara Islam, yaitu keadilan, Persamaan dihadapan
hukum, Keadilan dan pembangunan, dan Keadilan bagi kalangan minoritas
Sistem
kenegaraan yang dianjurkan oleh Islam harus memegang prinsip syura. Allah
mewajibkannya sebagaimana perintah-Nya terhadap Rasulullah saw. Untuk
menjalankan syura.
DAFTAR PUSTAKA
Al maududi, Abu A’la, 1995. Hukum
dan Konstitusi Sistem Politik Islam . Bandung: mizan
Amiruddin, M. Hasbi, 2000. Konsep
Negara Islam menurut Fazlur Rahman . Yogyakarta: UII Press
Budiarjo, Miriam, 1981. Dasar-
Dasar Ilmu Politik . Jakarta: Gramedia
Haykal, al Hukumah al Islamiyah,
Madjid, Nucholis., 2005. Islam:
Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan,
Kemanusiaan, dan Kemoderenan. Jakarta: Paramadina
Mulia, Musdah, 2001. Negara
Islam, Pemikiran Politik Husain Haikal, Jakarta; Paramadina
Nasution, Harun, 1986. Islam di
tinjau dari Beberapa Aspeknya, jilid I, Jakarta: UII Press
Quthb, Sayyid, 1967. al ‘adalah
al ijtima’iyah fi al Islam, (Beirut: Dar al Kitab al ‘Arabi
Rais, M. Dhiauddin, 2001. Teori
Politik Islam, Jakarta: Gema Insani Press
Rahman, Fazlur, 1994. Prinsip syura
dan Peranan Umat dalam Islam “ dalam Mumtaz Ahmad, Masalah- Maslah Teori
Polotik Islam. Bandung: Mizan
[1]
M. Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam menurut Fazlur Rahman (Yogyakarta:
UII Press, 2000) hlm. 1
[2]
Miriam Budiarjo, Dasar- Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1981) hlm.
8-9
[3]
Harun Nasution, Islam di tinjau dari Beberapa Aspeknya, jilid I,
(Jakarta: UII Press, 1986) hlm. 92
[4]
M. Hasbi Amiruddin, Op. Cit., hlm. 3
[5] M. Dhiauddin
Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001) hlm. 203-204
[7] Ibid., hlm.
207
[8] Ibid., hlm.
209
[9] Ibid., hlm.
220
[10] Ibid.,
[11] Ibid., hlm.
225
[12] Ibid., hlm.
226
[13]
Ibid., hlm. 234
[14]
Ibid., hlm. 235
[15]
Ibid., hlm. 236
[16]
Ibid., hlm. 239- 244
[17]
Ibid., hlm. 247
[18]
Ibid., hlm. 248-249
[19]
Ibid., hlm. 249
[20]
Ibid., hlm. 250
[21]
Ibid., hlm. 258
[22]
Ibid., hlm. 259
[23]
Ibid., hlm. 260
[24]
Ibid., hlm. 261
[25]
Ibid., hlm. 262-263
[27] Fazlur Rahman,
:Prinsip syura dan Peranan Umat dalam Islam “ dalam Mumtaz Ahmad, Masalah-
Maslah Teori Polotik Islam (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 128
[28] Musdah Mulia, Negara
Islam, Pemikiran Politik Husain Haikal, Jakarta; Paramadina, 2001) hlm. 128
[29] Haykal, al
Hukumah al Islamiyah, hlm. 52
[30] Nucholis
majid, islam: Doktrin dan Peradaban, hlm. 563
[31]
M. Dhuauddin Rais., op. Cit. Hlm. 271
[32]
Ibid., hlm. 273-274
[33] Maksudnya:
urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik,
ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya.
[34]
M. Dhiauddin., Op. Cit., hlm. 276
[35]
Ibid., hlm. 296
[36]
Abu A’la al Maududi, Op. Cit., hlm. 189
[37]
M. Dhiauddin Rais, Op. Cit., hlm. 302
[38] Abu A’la al
maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam (Bandung: mizan,
1995), hlm. 160
[39]
M. Dhiauddin Rais, Op. Cit., hlm. 309- 311
[40]
Sayyid quthb, al ‘adalah al ijtima’iyah fi al Islam, (Beirut: Dar al
Kitab al ‘Arabi, 1967), Hlm. 101- 108
[41]
M. Dhiauddin Rais, Op. Cit., hlm.
312
like it...
ReplyDeletehappy blogging, kawan...