
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hampir
setiap hari kita melihat dan mendengar berita tentang korupsi baik di media
massa maupun elektronik. Anak-anak sampai orang dewasa dapat dengan mudah
mengakses berita tersebut. Namun, tanpa disadari hal itu justru akan
menimbulkan dampak negatif kepada anak-anak yang cara berfikirnya masih abstrak,
terutama pada pengeroposan karakter. Anak bangsa yang notabene merupakan calon
penerus dan pemimpin bangsa, jika karakter mereka tidak bimbing dan diarahkan
sejak dini maka ditakutkan nantinya mereka akan terpengaruh oleh lingkungan dan
budaya- budaya yang tidak sesuai dengan aturan- aturan dan norma- norma yang berlaku
dan diharapkan.
Modus
korupsi yang dulunya sekadar “salam tempel” sekarang menjadi semakin canggih
dan sistemik mulai dengan rekayasa anggaran, bagi-bagi cek perjalanan,
penggunaan kata sandi (password) apel Malang dan apel Washington, pengadaan
kredit fiktif, manipulasi proyek, manipulasi data pajak, dan lain-lain modus
operandi korupsi.
Amanat
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional Indonesia
menyebutkan bahwa pengembangan karakter seperti beriman, bertaqwa, berakhlak
mulia, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan
bertanggung jawab menjadikan fungsi dan tujuan yang harus dicapai dalam proses
pembelajaran di sekolah
Melihat
fenomena korupsi yang semakin marak, membudaya, canggih, bahkan mampu melakukan
regenerasi dengan lahirnya koruptor-koruptor muda, memang sudah sangat mendesak
untuk adanya penanaman jiwa anti korupsi pada anak bangsa melalui pendidikan karakter
di sekolah-sekolah. Artinya, ada keinginan kuat agar pendidikan (sekolah) mampu
memberikan kontribusi output siswa didik yang mempunyai integritas tinggi dan
mampu menjadi penggiat anti korupsi di tengah masyarakat.
B.
RUMUSAN MASALAH
Penulis
telah menyusun beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai
batasan dalam pembahasan bab isi. Adapun beberapa masalah yang akan dibahas
dalam karya tulis ini antara lain:
BAB II
PEMBAHASAN
Sebelum
mengetahui jiwa anti korupsi, terlebih dahulu kita mengetahui apa itu korupsi.
Dalam mukadimah buku saku pandangan Islam terhadap korupsi,tertulis bahwa Istilah
korupsi berasal dari perkataan latin ”coruptio” atau ”corruptus”
yang berarti kerusakan atau kebobrokan. Istilah korupsi di beberapa negara,
seperti ”gin moung” (Muangthai) yang berarti makan bangsa, ”tanwu”
(Cina) berarti keserakahan bernoda, dan di Jepang ”Oshoku” berarti kerja
kotor. Inti makna korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan,
ketidakjujuran, penyimpangan, menghianati kepercayaan, penggelapan, penipuan,
penyuapan, dan sebagainya yang mengandung nilai penghinaan dan fitnah.
Dalam
literatur Fiqh, setidaknya ada enam istilah untuk korupsi, yaitu;
1. Ghulul (penggelapan),
2. risywah (penyuapan),
3. Ghashab (perampasan),
4. ikhtilas (pencopetan),
5. Sirqoh (pencurian)
dan
6. Hirabah (perampokan)[1]
Kata anti
sendiri dalam kamus ilmiah populer memiliki makna benci, menolak, melawan dan
menentang. Jadi anti korupsi ialah benci, menolak atupun melawan korupsi. Dalam
artian seseorang harus menghindarkan dirinya dari korupsi dan segala hal yang
berkaitannya, dan mencoba untuk melawannya jika terrdapat korupsi.
Jati diri
merupakan fitrah manusia yang merupakan potensi dan bertumbuh kembang selama
hati manusia bersih, sehat dan tidak tertutup. Jati diri yang dipengaruhi oleh
lingkungan akan tumbuh menjadi karakter dan selanjutnya karakter akan melandasi
pemikiran, sikap, dan perilaku manusia.[2]
Jiwa anti
korupsi merupakan suatu kesadaran seorang individu dimana ia mengetahui apa itu
korupsi, bahayanya dan ia berusaha untuk menghindari dan juga melawannya. Ia
tidak terbawa dengan keadaan lingkungan, karena ia telah memiliki suatu jiwa
yang mana telah ia tanami dengan sikap anti korupsi.
Sebelum
mengetahui pengertian pendidikan karakter, terlebih dahulu kita mengetahui apa
itu makna karakter. Menurut kamus bahasa Indonesia karakter diartiian sebagai tabiat, perangai,
dan sifat karakter seseorang. Sementara berkarakter diartikan mempunyai
kepribadian sendiri. Adapun kepribadian diartikan dengan sifat khas dan hakiki
seseorang yang membedakan dengan orang lain.[3]
Menurut Drs.
Sunhaji, M.Ag dalam kuliahnya Strategi Pembelajaran pada 9 Oktober 2009,
karakter ada 3 macam, yaitu karakter dalam pembelajaran, karakter dalam budaya,
dan karakter dalam ekstrakurikuler. Karakter pembelajaran merupakan karakter
yang dimiliki oleh siswa dan juga karakter yang ditanamkan saat pembelajaran
berlangsung. Karakter budaya merupakan karakter yang ditanamkan dalam diri
seseorang yang ditanamkan melalui buday a dan lingkungan disekitarnya. Dan
pendidikan karakter ekstrakurikuler merupakan budaya yang dibentuk dan
ditanamkan pada diri seseorang melalui kegiatan- kegiatan ekstra, seperti
halnya karakter kepemimpinan, sosial dan sebagainya pada anak- anak pramuka.
Menurut UU
nomor 20 tahun 2003 disebutkan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Jika
dipahami lebih jauh, dalam UU ini sudah mencakup pendidikan karekter. Misalnya
pada bagian kalimat terakhir dari defenisi pendidikan dalam UU tentang
SISDIKNAS ini, yaitu memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Menurut
Kemendiknas (2010), karakter adalah watak,
tabiat, akhlak atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari internalisasi
berbagai kebijakan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara
pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Sementara pendidikan karakter
adalah pendidikan yang mengembangkan nilai- nilai karakter bangsa pada diri
peserta didik, sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter
dirinya, menerapkan nilai- nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai
anggota masyarakat, dan warga negara yang religius, nsaionalis, produktif, dan
kreatif.pendidikan dalam setting sekolah diartikan sebagai proses pembelajaran
yang mengarahkan pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara utuh yang
didasarkan pada suatu nilai tertentu yang ditunjuk oleh sekolah. Definisi
tersebut mengandung makna:
1) Pendidikan karakter
merupakan pendidikan yang terintegrasi dengan pembelajaran yang terjadi pada
semua mata pelajaran.
2) Diarahkan pada
penguatan dan pengembangan perilaku anak secara utuh. Asumsinya, anak merupakan
organisme manusia yang memiliki potensi untuk dikuatkan dan dikembangkan.
3) Penguatan dan
pengembangan perilaku didasari oleh nilai yang dirujuk sekolah/ lembaga.
Dengan
demikian pendidikan karakter merupakan proses pemberian tuntunan peserta/ anak
didik agar menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati,
pikir, raga, serta rasa dan karsa.peserta didik diharrapkan memiliki karakter
yang baik, meliputu kejujuran, tanggung jawab, bersih, cerdas dan sehat, peduli
dan kreatif.[4]
Jati diri
merupakan fitrah manusia yang merupakan potensi dan bertumbuh kembang selama
hati manusia bersih, sehat dan tidak tertutup. Jati diri yang dipengaruhi oleh
lingkungan akan tumbuh menjadi karakter dan selanjutnya karakter akan melandasi
pemikiran, sikap, dan perilaku manusia. Oleh karena tugas kita adalah
menyiapkan lingkungan yang dapat mempengaruhi jati diri menjadi karakter yang
baik, sehinnga perilaku yang dihasilkan juga baik. Karakter pribadi- pribadi
aan menjadi karakter masyarakat dan pada akhirnya menjadi karakter bangsa.
Dalam
rangka untuk memperkuat pelaksanaan pendidika karakter telah teridentifikasi 18
nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya dan tujuan Pendidikan
Nasional, diantaranya yaitu;Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja keras, Kreatif,
Mandiri, Demokratis, Rasa ingin tahu, Semangat kebangsaan, Cinta tanah air, Menghargai
prestasi, Bersahabat/ komunikatif, Cinta damai, Gemar menbaca, Peduli
lingkungan, Peduli sosial, Tanggung jawab.[5]
Untuk
kemajuan Republik Indonesia, diperlukan karakter yang tangguh, kompetitif,
berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, patriotik, dinamis,
berbudaya, dan b erorientasi Iptekk berdasarkan Pancasila dan di jiwai oleh
iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karakter yang berlandaskan falsafah
Pancasila artinya setiap aspek karakter harus dijiwai kelima sila Pancasila
secara utuh dan komprehensif yang dapat dijelaska sebagai berikut:[6]
1.Bangsa yang
Berketuhanan yang Maha Esa
2.Bangsa yang
Menjunjung Kemanusiaan yang Adil daan Beradab
3.Bangsa yang
mengedepankan Persatuan dan Kesatuan Bangsa
4.Bangsa yang
Demokrratis dan menjunjung tinggi hukum dan Hak Asasi Manusia
5.Bangsa yang
Mengedepankan Keadilan dan Kesejahteraan
Sejarah
memberikan pelajaran yang amat berharga, betapa perbedaan, pertentangan, dan
pertukaran pikiran itulah sesungguhnya yang mengantarkan kita ke gerbang
kemerdekaan. Melalui perdebatan tersebut kita banyak belajar, bagaimana
toleransi dan keterbukaan para Pendiri Republik ini dalam menerima pendapat,
dan berbagai kritik saat itu. Melalui pertukaran pikiran itu kita juga bisa
mencermati, betapa kuat keinginan para Pemimpin Bangsa itu untuk bersatu di dalam
satu identitas kebangsaan, sehingga perbedaan-perbedaan tidak menjadi persoalan
bagi mereka.
Karena itu
pendidikan karakter harus digali dari landasan idiil Pancasila, dan landasan
konstitusional UUD 1945. Sejarah Indonesia memperlihatkan bahwa pada tahun
1928, ikrar “Sumpah Pemuda” menegaskan tekad untuk membangun nasional
Indonesia. Mereka bersumpah untuk berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu
yaitu Indonesia. Ketika merdeka dipilihnya bentuk negara kesatuan. Kedua
peristiwa sejarah ini menunjukan suatu kebutuhan yang secara sosio-politis
merefleksi keberadaan watak pluralisme tersebut. Kenyataan sejarah dan sosial
budaya tersebut lebih diperkuat lagi melalui arti simbol “Bhineka Tunggal Ika”
pada lambang negara Indonesia.
Dari mana memulai dibelajarkannya nilai-nilai
karakter bangsa, dari pendidikan informal, dan secara pararel berlanjut pada
pendidikan formal dan nonformal. Tantangan saat ini dan ke depan bagaimana kita
mampu menempatkan pendidikan karakter sebagai sesuatu kekuatan bangsa. Oleh
karena itu kebijakan dan implementasi pendidikan yang berbasis karakter menjadi
sangat penting dan strategis dalam rangka membangun bangsa ini. Hal ini
tentunya juga menuntut adanya dukungan yang kondusif dari pranata politik,
sosial, dan budaya bangsa.
”Pendidikan Karakter Untuk Membangun
Keberadaban Bangsa” adalah kearifan dari keaneragaman nilai dan budaya
kehidupan bermasyarakat. Kearifan itu segera muncul, jika seseorang membuka
diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas plural yang
terjadi. Oleh karena itu pendidikan harus diletakan pada posisi yang tepat,
apalagi ketika menghadapi konflik yang berbasis pada ras, suku dan keagamaan.
Pendidikan karakter bukanlah sekedar wacana tetapi realitas implementasinya,
bukan hanya sekedar kata-kata tetapi tindakan dan bukan simbol atau slogan,
tetapi keberpihak yang cerdas untuk membangun keberadaban bangsa Indonesia.
Pembiasaan berperilaku santun dan damai adalah refreksi dari tekad kita sekali
merdeka, tetap merdeka. (Muktiono Waspodo)[7]
Demi
terwujudnya jiwa anak bangsa yang anti terhadap korupsi maka dapat direalisasikan
melalui beberapa cara, yaitu;
1) Melalui keteladanan
Ini yang
berat bagi seorang guru. Memberi contoh. Sifat anak adalah suka meniru, oleh
karena itu sebagai guru hendaknya harus selalu memberi contoh yang baik sesuai
dengan norma dan aturan yang ada. Maksud memberi contoh disini bukan sekedar
menjelaskan contoh perilaku anti korupsi, tetapi ia sendiri mengamalkan perilaku
yang ia ajarkan,sehingga dapat dicontoh para siswa. Seperti halnya sikap jujur,
tidak berbohong dan memakan apa yang bukan haknya.
Merujuk
pada nasihat Bapak Pendidikan Indonesia KH Dewantara, sekolah dan guru yang
tidak bisa memberikan contoh keteladanan (ing ngarso sung tulodho) maka akan
menyebabkan siswa mendapatkan bahaya dan kecelakaan (nyaru beboyo lan ciloko)
di kemudian harinya..
2) Melalui pembiasaan
Pembiasaan
adalah merupakan salah satu cara yang dapat dipergunakan untuk mendidik siswa.
Dengan cara ini diharapkan siswa akan terbiasa melalukan hal yang baik-baik.
Contoh
untuk menanamkan jiwa anti korupsi ialah dengan jujur, seperti diadakannya
kantin kejujuran dalam sekolah, disitulah siswa dilatih untuk bersikap jujur,
karena ia yang mengambil jajan, ia yang membayar, ia yang menghitung dan ia
juga yang memberikan kembalian uang sisa jajan. Dan bagi siswa yang ketahuan
tidak jujur, maka diberikan hukuman yang sesuai agar dapat menimbulkan efek
jera terhadap siswa sehingga siswa tidak mengulangi kesalahannya.
3) Melalui Kurikulum.
Cara ini
dapat ditempuh dengan memasukkan konsep karakter bangsa anti korupsi pada para
siswa melalui kurikulum /program sekolah . Disini peran guru sangat penting dan
diharapkan melalui kurikulum /program sekolah dengan kelengkapan silabus dan
RPPnya guru dapat menanamkan jiwa dan karakter anti korupsi agar para siswa
menjadi bangsa Indonesia yang tertanam dalam dirinya sifat- sifat anti korupsi.[8]
Dalam
artikelnya, Prof . Suyanto Ph.D menyatakan bahwa terdapat sembilan pilar
karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: pertama,
karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan
tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan
santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama;
keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan;
kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi,
kedamaian, dan kesatuan.
Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan
secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode
knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat
kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the
good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang
bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau
melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu.
Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi
kebiasaan.
Dasar pendidikan karakter ini, sebaiknya diterapkan
sejak usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia
emas (golden age), karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak
dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50%
variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun.
Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada
pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan
karakter dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi
pertumbuhan karakter anak.
Dengan
pendidikan karakter, penerapan, penanaman dan pembentukan jiwa anti korupsi
yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi
cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan
anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil
menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk melawan
korupsi..
KESIMPULAN
Jati diri
merupakan fitrah manusia yang merupakan potensi dan bertumbuh kembang selama
hati manusia bersih, sehat dan tidak tertutup. Jati diri yang dipengaruhi oleh
lingkungan akan tumbuh menjadi karakter dan selanjutnya karakter akan melandasi
pemikiran, sikap, dan perilaku manusia.
. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa
sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi
pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua.
Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga,
yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak. Setelah itu dapat
juga diterapkan dilingkungan sekitar (masyarakat) dan juga pendidikan formal
yaitu sekolah.
Dengan
pendidikan karakter, penerapan, penanaman dan pembentukan jiwa anti korupsi
yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seornga anak akan menjadi
cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak
menyongsong masa depan, karena seseorang akan mudah berhasil menghadapi segala
macam tantangan untuk melawan korupsi.
Pendidikan
karakter dapat diterapkan melalui beberapa cara, yaitu melalui keteladanan,
kebiasaan, dan kurikulum yang dibuat oleh sekolah. Dapat
juga dengan menerapkan cara knowing the good, feeling the good, dan acting the
good.
DAFTAR PUSTAKA
Badudu,
J.S., dan Sutan Muhammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta:
paramadina, 1997
Bahan
pelatihan penguatan metodologi pembelajaran berdasarkan nilai- nilai budaya
untuk membentuk daya
saing dan karakter bangsa, kementrian pendidikan nasional , badan
penelitian dan pengembangan kurikulum, 2010,
Komisi Pemberantasan
Korupsi.Buku Saku untuk Memahami Pandangan IslamTterhadap Korupsi: koruptor;
Dunia Akhirat di Hukum. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi. 2007
Majid,
Abdul, dkk. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
2012
Tim
penelitian program DPP Bakat Minat dan Keterampilan Fakultas Tarbiyah dan
keguruan UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Pendidikan Karakter Pengalaman
Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah. ( Jogkakarta: Tim penelitian
program DPP Bakat Minat dan Keterampilan Fakultas Tarbiyah dan keguruan UIN
Sunan Kalijaga. 2011
http://amin-x.blogspot.com/2012/07/contoh-makalah-pendidikan-karakter.html
pada 5 oktober 2012, pukul 12.39 WIB
http://marhenyantoz.wordpress.com/2011/10/04/pendidikan-karakter-bangsa-bagi-siswa/
pada 5 Oktober 2012, pukul 12.32 WIB
[1] Komisi
Pemberantasan Korupsi.Buku Saku untuk Memahami Pandangan IslamTterhadap
Korupsi: koruptor; Dunia Akhirat di Hukum. 2007( Jakarta: Komisi
Pemberantasan Korupsi). hlm. 7
[2] Tim penelitian program DPP Bakat Minat dan Keterampilan Fakultas Tarbiyah
dan keguruan UIN Sunan Kalijaga JogjakartaPendidikan Karakter Pengalaman
Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah, 2011, ( Jogkakarta: Tim
penelitian program DPP Bakat Minat dan Keterampilan Fakultas Tarbiyah dan
keguruan UIN Sunan Kalijaga), hlm 44
[3] Badudu, J.S., dan Sutan Muhammad Zain,
Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: paramadina, 1997. hlm. 617
[5] Bahan pelatihan penguatan metodologi pembelajaran berdasarkan
nilai- nilai budaya untuk membentuk daya saing dan karakter bangsa, kementrian pendidikan nasional , badan penelitian dan pengembangan
kurikulum, 2010, hlm., 25-30
[7]http://amin-x.blogspot.com/2012/07/contoh-makalah-pendidikan-karakter.html
browsing pada 5 oktober 2012,pukul 12.39 WIB
[8] http://marhenyantoz.wordpress.com/2011/10/04/pendidikan-karakter-bangsa-bagi-siswa/
browsing pada 5 okt -12,pukul 12.32 WIB
No comments:
Post a Comment