PENDAHULUAN
“Semua perbuatanNya adalah adil, dan bukan setiap yang adil mesti
Dia perbuat”
Pergeseran
epistemologi (cara berpikir) ternyata tidak saja terjadi dalam dunia filsafat,
tetapi juga dalam dunia tafsir. Dalam perkembangan sejarahnya, tafsir yang
secara etimologis berarti al- Kasyf (membuka, menyingkapkan) al-
‘Idlah, al ‘Ibanah (menjelaskan)makna teks al Qur’an,[1] terntata telah mengalami semacam paradigm shift. Pergesersn
Epistem dan paradigma itu terjadi karen adilatari oleh kondisi sosio-historis
dari para mufassir yang berbeda-beda dan tentunya memiliki implikasi
teoritis tersendiri bagi proses dan produk penafsiran.
Secara
kategoris, istilah tafsir dapat dibedakan menjadi dua yaitu: Pertama,
tafsir sebagai produk, ia merupakan tafsir dealektika seorang mufassir dengan
teks dan konteks yang tertuang dalam kitab- kitab tafsir, baik secara lengkap
30 jz, maupun yang hanya sebagian ayat Al Qura’an. Kedua, tafsir sebagai
proses, ia merupakan aktifitas berpikir untuk mentafsirkan objek (dalam hal ini
teks Al Qur,an dan realitas).
Saat kita
mendapati seorang pemimpin A melanggar hak orang lain dan berbuat dzalim terhadap rakyatnya, apa yang
akan kita katakan? Dan bagaimana pula saat kita mendapati seorang pemimpin B
yang selalu melakukan apa yang memang sudah menjadi hak dan kewajibannya? Tak
jauh, kita pasti akan mengatakan bahwa pemimpin yang A merupakan pemimpin yang
dzalim dan tidak adil, dan pemimpin yang kedua adalah pemimpin yang adil dan
bijaksana.
Saat hal
tersebut dilakukan oleh manusia kita dapat menilainya secara langsung, apakah
hal tersebut adil atau merupakan perbuatan dzalim, namun dapatkah kita
nisbahkan hal yang sama tersebut terhadap Tuhan?
Sering terjadi
perdebatan sengit antar berbagai aliran yang menyatakan dirinya masing- masing
sebagai golongan yang paling benar dan yang lain salah, bahkan tak jarang
mereka saling mengkafirkan satu sama lain. Seperti halnya golongan Mu’tazilah
yang membumingkan tentang keadilan Ilahi, yang mana Tuhan tidak mungkin
melakukan kedzaliman sehingga manusia bebas dalam berkehendak, sedangkan
Asy’ari dan beberapa aliran yang lain menyatakan bahwa Tuhan itu adil tetapi
tidak membebaskan manusia sepenuhnya seperti yang dikatakan oleh Mu’tazilah.
Dalam makalah
ini akan dibahas tafsir era afirmatif dengan nalar ideologis, dan perdebatab
antara Mu’tazilah dan Asy’ariah sebagai contohnya, dan pandangan mereka tentang
Keadilan Ilahi yang berkait dengan kebebasan manusia dalam berbuat dan
berkehendak, dan diberikan beberapa pandangan penulis terkait perdebatan
tersebut.
Penafsiran di era ini lebih di
dominasi oleh kepentingan- kepentingan ideologi tertentu. Posisi al Qur’an
sering kali di perlakukan hanya sebagai legitimsi ideologis, teologis atau
madzhab tertentu. Posisi al- Qur’an di sini cenderung sebagai objek, sedangkan
realitas dan mufassirnya sebagai subjek. Akibatnya sering terjadi pemaksaan
gagasan non-qur’ani dalam penafsiran
al-Qur’an.
Di era afirmatif ini berbagai kitab
tafsir terus bermunculan seiring dengan perkembangan peradaban manusia,
utamanya mulai dari abad ke 3 Hijriah sampai sekitar abad ke 5 Hijriah. Bahkan
tafsir merupakan disiplin ilmu yang sangat mendapat perhatian khusus dari para
sarjana muslim selama berabad- abad. Setiap generasi muslim dari masa ke masa
telah melakukan interpretasi dan reinterpretasi terhadap al-Qur’an.
Beragam corak dan beragam penafsiran
mulai muncul terutama masa akhir dinasti Bani Umayah dan awal Bani Abbasiyah,
terutgama pada masa kekhalifahan Harun Al Rasyid yang kemudian dilanjutkan oleh
Al Makmun.
Munculnya tafsir- tafsir sufi
seiring dengan era penerjemahan karya- karya filsafat Neo- Platonisme di dunia
Islam. Di era ini kecenderungan ideologis memang sangat kuat, namun ada
kelebihan yang menonjol dari era ini yaitu bahwa telah munncul prodik- produk penafsiran yang sistematis dan sampai
ke generasi sekarang dalam bentuk buku. Era ini di kenal sebagai era keemasan
ilmu pengetahuan yang ditandai dengan berkembangnya berbagai diskusi di segala
cabang ilmu pengetahuan. Dan perhatian pemerintah dalam hal ini menjadi
stimulus yang sangat signifikan bagi perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Kepedulian pemerintah terlihat dari peneremahan buku- buku ilmiah atau
pengiriman delegasi ilmiah ke pusat- pusat ilmu pengetahuan dunia yang
terkenal.
Dalam forum khalifah sering terjadi
dialog antar disiplin ilmu yang kadang- kadang berakhir dengan mendiskreditkan
pihak lain. Perdebatan terjadi antara ahli kalam dan ahli hadis, demikian juga
antara ahli kalam dengan ahli fiqih.
Dampak psikologis dari ketegangan
antar disiplin ilmu di atas adalah bahwa di kalangan masing- masing peminat
ilmu berusaha untuk meraih dukungan masyarakat maupun pemerintah dari klaim
kebenaran dan menunjukkan kebenaran pihaknya dengan mencari justifikasi dari
al- Qur’an. Dukungan resmi dari pemerintah terhadap disiplin ilmu tertentu pada
gilirannya tidak saja menjadikan peminat disiplin tersebut bangga dengan
minatnya, bahkan mengecilkan arti penting disiplin yang lain.
Pada periode pertengahan bahkan
muncul fanatisme terhadap kelompok- kelompok tertentu yang kemudian mengarah
kepada sikap taklid buta. Tidak Cuma itu, bahkan sampai ada kecenderungan untuk
menghapuskan sikap toleransi dan cara berpikir kritis. Akibatnya bagi generasi
ini, pendapat imam dan tokoh besar dalam fiqh tertentu misalnya, seringkali
menjadi basis dan standar penafsiran teks al-Qur’an atau bahkan di posisikan
setara dengan teks itu sendiri. Sikap fanatik dan sektarianisme yang berbasis
pada nalar ideologis, akhirnya memunculkan kelompok moderat yang berusaha
merespon fanatisme tersebut.[2]
Sumber Penafsiran
|
Metode
Penafsiran
|
Validitas Penafsiran
|
Karakteristik dan tujuan penafsiran
|
Akal (itihad) lebih dominan daripada Qur’an dan Hadis
Posisi Penafsir sebagai subjek dan teks sebagai objek
|
Bi
al Ra’yi deduktif- tahlili; dengan analisis kebahasaan dan disiplin keilmuan
masing- masing mufassir
|
Kesesuaian
(Coherency) antara hasil penafsiran dengan kepentingan penguasa dan madzhab
(aliran) dan ilmu yang di tekuni oleh para mufassir
|
Ideologis
Sektarian; pemaksaan gagasna non- qur’ani; ada kecenderungan truth daim
Tujuan penafsiran untuk mendukung kekuasaan, madzhab atau ilmu
yang di tekuni mufassir.
|
1.
Mu’tazilah
Secara harfiah
Mu’tazilah berasal dari i’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri,
yang berarti menjauhkan diri. Secara teknis Mu’tazilah menunjuk pada dua
golongan, yaitu golongan Mu’tazilah I muncul sebagai respon politik murni dan
golongan kedua disebut Mu’tazilah II sebagai respon persoalan teologis yang
berkembang dikalangan khawarij dan Murji’ah akibat adanya peristiwa tahkim.[4]
Golongan
Mu’tazilah dikenal juga dengan nama ahl al- ‘adl yang berarti golongan yang mempertahankan
keadilan Tuhan dan ahl at- tauhid wa ‘adl yang berati golongan yang mempertahankan
keesaan murni dan keadilan Tuhan. Lawan berarti Mu’tazilah memberi nama golongan al Qadariah karena
mereka menganut paham free will and free act, yakni bahwa manusia itu
bebas berkehendak dan bebas berbuat.
Mu’tazilah
memiliki lima ajaran dasar teologi, kelima ajaran tersebut tertuang dalam al
Ushul al khamsah adalah at Tauhid (pengesaan Tuhan), al ‘adl, (Keadilan
Tuhan), al waad al wa’id (janji dan ancaman Than), al Manzilah bainal
Manzilatain (posisi diantara dua posisi), dan al amr bi al ma’ruf wa
nahy an al munkar (menyeru kepadada kebaikan dan mencegah kemungkaran).[5]
Ciri yang
paling khusus dari Mu’tazilah, ialah bahwa mereka meyakini sepenuhnya kemampuan
akal. Prinsip ini mereka gunakan untuk menghukumi berbagai hal. Mereka
berpendapat bahwa alam punya hukum kokoh yang tunduk pada akal. Mereka tidak
mengingkari naql (teks al Qur’an
dan Hadits), tetapi tanpa ragu- ragu mereka menundukkan naql kepada
hukum akal. Mereka menetapkan bahwa akal
adalah sebelum sam’i. Untuk itu mereka menakwilkan ayat- ayat
mutasyabihat, menolak hadits- hadits yang tidak diakui oleh akal. Secara garis
besar mereka menghindari hadits ahad.
Aliran
Mu’tazilah memakai akal sebagai prinsip tahsin (untuk menganggap baik), dan
taqbih (menganggap buruk). Artinya mereka memendang baik baik jika sesuatu itu
dinyatakan baik oleh akal, dan jelek jika sesutau dinyatakan jelek oleh akal.
Mu’tazilah memiliki kecenderungan sangat akliah dalam mengemukakan
argumentasinya, dan Mu’tazilah selalu berusaha mengompromikan antara pemikiran-
pemikiran Islam dengan pemikiran- pemikiran tsaqofah Yunani, untuk
membangun madhab yang sudah populer tersebut. Pemberian status akal yang sangat
tinggi pada aliran Mu’tazilah ini terlihat pada aspek: pertama manusia
mempunyai kemampuan besar dengan akal yang dimilikinya, dan kedua, bahwa
segala perbuatan manusia secara eskatologis tak ada yang sia- sia pada masa
apaun.[6]
Kami akan memasang timbangan yang tepat
pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika
(amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya.
Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan (QS. Al anbiya: 47)
Maka pada hari itu seseorang tidak akan
dirugikan sedikitpun dan kamu tidak dibalasi, kecuali dengan apa yang telah
kamu kerjakan. ( QS.Yasin; 54)
Barangsiapa yang mengerjakan amal yang
saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan
perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah
Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya. (QS. Al Fushilat: 46)
Sesungguhnya Allah tidak menganiaya
seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah,
niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang
besar (QS. An Nisa: 40)
Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan
melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di
dalamnya, dan mereka berkata: "Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang
tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia
mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada
(tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun." (QS. Al Kahfi:
49)
2.
Asy’ariah
Aliran Asyari’ah
adalah adalah aliran sinkretis yang berusaha mengambil sikap tengah- tengah
antara dua kutub akal dan naql, antara kaum salaf dan Mu’tazilah. Titik tengah
yang sebenarnya, selamanya tidak jelas, dan tak terbataskan. Dengan sendirinya
ia tidak menyetujui kedua belah pihak , sebaliknya tidak terlepas dari kritik
oleh kaum Mu’tazilah belakangan dimana pemipinnya adalah al Qaadi Abdul Jabbar
maupun kaum kaum salaf belakang dimana tokoh terdepannya adalah Ibnu Hazm dan
Ibnu Taimiyah. Dari sisi lain, orang yang memadukan itu berusaha untuk
menyelaraskan dan menghubungkan antara pandangan- pandangan dari kedua belah kubu yang sling berlawanan.
Puncak tujuannya adalah hubungan ini harus sempurna dalam bentuk yang bisa diterima.[8]
Asy’ariah pada
abad ke- 6 H menjadi madhab satu- satunya dan akidah yang resmi bagi daulah
Sunni. Tak Pelak lagi bahwa orang- orang Saljuk dan Ayubiah yang datang sesudah
mereka mengakarnya di Timur, dan Ibnu Tumart, murid al Ghazali ini berhasil
mentransfernya ke Maghrib. Hingga saat ini pendapat Asy’ariah telah menjadi
akidah Ahl- al Sunnah. Pendapatnya dekat sekali dengan pendapat al Maturidi
yang satu saat pernah ia tentang disebabkan oleh persaingan dalam masalah Fiqh,
karena ia mewakili orang- orang syafi’iah dan Malikiah mendominasi pendapat al
Asy’ari.
Mazhab Asy’ariah
bertumpu pada al- Qur’an dan Sunnah. Mereka amat teguh memegangi al Ma’su,
ittiba’ lebih baik daripada ibtida,
(membuat bid’ah). Al asy’ari mengatakan : “pendapat yang kami ketengahkan
dan akidah yang kami pegangi adalah sikap berpegang teguh pada Kitab Allah,
Sunnah Nabi- Nya,dan apa yang diriwayatkan dari sahabat, tabi’in, dan imam-
imam hadits...”
Dalam mensitir
ayat dan hadits yang hendak dijadikan argumentasi, kaum Asy’ari bertahap, yang
ini merupakan pola yang sebelumnya sudah diterapkan oleh al Asy’ari. Basanya
mereka mengambil makna lahir dari Nash (teks ayat al Qur’an dan Hadits). Mereka
berhati- hati, tidak menolak, penakwilan. Sebab, memang ada nash- nash tertentu
yang memiliki pengertian samar yang tidak bisa diambil dari makna lahirnya,
tetapi harus ditakwilkan untuk mengetahui pengertian yang dimaksud.
Kaum asy’ariah
tidak menolak akal, karena bagiamana mereka akan menolak akal padahal Allah
sendiri menganjurkan agar umat Islam melakukan kajian Rasional:
“Apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi (al A’raf
185).”
Pada prinsipnya
kaum Asy;ariah tidak memberikan kebebasan sepenuhnya kepada akal seperti yang
dilakukan oleh kaum Mu’tazilah, sehingga tidak memenangkan dan menempatkan akal
di atas naql (teks- teks agama). Bahkan sebaliknya, mereka secara umum
berprinsip bahwa naql menempati posisi teratas. Akal mereka anggap sebagai
pelayan bagi naql. Akal dan naql saling membutuhkan. Naql bagaikan matahari
yang bersinar sedangkan akal laksana mata yang sehat. Dengan akal kita bisa
meneguhkan naql dan membela agama.[9]
Ayat- ayat al Qur’an yang dijadikan sandaran oleh aliran Asy’aariah
untuk memperkuat pendapatnya adalah ayat Surat al Buruj:16, Surat yunus: 99,
Surat as- sajdah: 13, surat al an’am:112, al Baqarah: 253.
Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.( Q.S al Buruj:16)
Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua
orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia
supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?(Surat yunus: 99)
Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan
kepada tiap- tiap jiwa petunjuk, akan tetapi telah tetaplah perkataan dari padaKu:
"Sesungguhnya akan Aku penuhi neraka jahannam itu dengan jin dan manusia
bersama-sama." (QS.
as- Sajdah: 13)
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang
lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia[10].
Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka
tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.( al An’am:112)
Dan kalau Allah menghendaki, niscaya
tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan,
akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada
(pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah
mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.
(QS. Al Baqarah:253).
Ayat- ayat tersebut dipahami oleh Asy’ari sebagai pernyataan
tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Kehendak Tuhan mesti berlaku. Bila
kehendak Tuhan tidak berlaku, itu berarti Tuhan lupa, lalai dan lemah untuk
melaksanakan kehendak-Nya itu, sedangkan sifat lalai, lupa, apalagi lemah,
adalah sifat- sifat yang mustahil bagi Allah oleh sebab itu kehendak Tuhan tersebutlah
yang berlaku, bukan kehendak yang lain. Manusia berkehendak setelah Tuhan
sendiri menghendaki agar manusia berkehendak. Tanpa dikehendaki oleh Tuhan,
manusia tidak akan berkehendak apa- apa. Ini berarti kehendak dan kekuasaan
Tuhan berlaku semutlak- mutlaknya dan sepenuh- penuhnya. Tanpa makna itu,
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan tidak memiliki arti apa- apa.
Karena menenkankan kehendak mutlak Tuhan, aliran Asy’ariah memberi
makna keadilan Tuhan dengan pemahaman bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak
terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya. Dengan demikian,
ketidak adilan difahami dalam arti Tuhan tidak dapat berbuat sekehendak-Nya
terhadap makhluk-Nya. Atau dengan kata lain dikataka tidak adil, bila yang
dipahami Tuhan tidak lagi berkuasa mutlak terhadap milik-Nya.[11]
3. Teori Keadilan Ilahi
3. Teori Keadilan Ilahi
Adakah
kekuasaan dan penciptaan Allah Universal, yaitu menciptakan segala hal yang
muncul dari apa saja yang telah dilakukan oleh seorang sekalipun maksiat? Atau
allah karena Maha Kesempurnaan-Nya bersih dari penciptaan dosa dan kejahatan. Karena
manusi bebas dalam memilih dan berkehendak untuk melakukan perbuatan-
perbuatan-Nya.
Adakah Allah
memberikan hidayah kepada yang dikehendaki dan menyesatkan kepada yang
dikehenadaki dan tidak dimintai tanggug jawab atas apa tindakan-Nya. Atau kita
tidak boleh mengasosiasikan kepada Allah suatu bentuk tindakan menyesatkan atau
membelokkan seseorang? Karena hal semacam ini tidak termasuk dalam kategori
tidak sesuai dengan keadilan.
Akhirnya apakah
keadilan Allah yang telah dinyatakan sendiri oleh-Nya dan telah pula kita
tetapkan menjadi keharusan untuk merealisasikan pahala kepada orang yang taat dan
hukuman kepada orang yang berbuat dosa. Atau karena Dia memilih kehendak
mutlak, kekuasaan yang sempurna dan rahmat yang luas, maka dapat menghukum
siapa saja yang dia kehendaki, sekalipun ia orang Muslim yang taat dan baik,
atau mengampuni siapa saja yang dikehendaki-Nya walaupun ia seorang yang jahat
dan durhaka.[12]
Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al ‘adl , yang
berarti Tuhan Maha Adil. Adil ini merupakan sifat yang paling gamblang untuk
meninjikkan kesempurnaan.karena Tuhan Maha Sempurna, Dia sudah pasti adil.
Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar- benar adil menurut sudut
pandang manusia,karena alam semesta ini sesungguhnya diciptakan untuk
kepentingan manusia. Tuhan dipandang adil apabila bertindak hanya yang baik.
Begitu pula Tuhan itu adil bila tidak melanggar janji-Nya. Dengan demikian
Tuhan trikat dengan janji-Nya.
Ajaran tentang keadilan ini berkait erat
dengan beberapa hal berikut ini:
1)
Perbuatan manusia
Manusia menurut
Mu’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannyua sendiri, terlepas dari
kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara langsung ataupun tidak. Manusia
benar- benar bebas untuk menentuan piilihan perbuatannya; baik dan buruk. Tuhan
hanya menyuruh dan menghendaki yang
baik, bukan yang buruk. Adapun yang disuruh Tuhan pastilah baik dan apa yang
dilarang-Nya tentulah buruk. Tuhan berlepas diri dari perbuatan yang buruk.
Konsep ini memiliki konsekuensi logis dengan keadilan Tuhan, yaitu apapun yang
akan diterima manusia di akhirat merupakan balasan perbuatannya di dunia.
Kebaikan akan dibalas dengan kebaikan dan kebrukan akan dibalas dengan
keburukan, dan itulah keadilan. Karena ia berbuat atas kemauan dan kemampuannya
sendiri dan tidak dipaksa.
2)
Berbuat baik dan terbaik
Dalam
istilahnya berbuat baik dan terbaik disebut istilah wa al ashlah. Maksudnya
adalah kewajiban Tuhan untuk berbuat baik, bahkan terbaik bagi manusia. Tuhan
tidak mungkin jahat dan aniaya karena akan menimbulkan kesan Tuhan penjahan dan
penganiaya, sesuatu yang tidak layak lagi disebut Tuhan. Jika Tuhan berlaku
jahat pada seseorang dan berbuat baik kepada orang lain berarti ia tidak adil/
dengan sendirinya Tuhan juga tidak Mahasempurna. Bahkan menurut an Nazam, salah
satu tokoh Mu’tazilah, Tuhan tidak dapat berbuat jahat. Konsep ini berkaitan
dengan Kebijaksanaan, Kemurahan, Kepengasihan Tuhan, yaitu sifat- sifat layak
bagi-Nya. Artinya, bila Tuhan tidak bertindak seperti itu, berarti ia tidak
bijaksana, pelit, kasar/ kejam.
3)
Mengutus Rasul
Mengutus Rasul
kepada manusia merupakan kewajiban Tuhan karena alasan- alasan berikut:
1)
Tuhan
wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud, kecuali
dengan mwngutus Rasul kepada mereka.
2)
Al
Qur’an secara tegas menyatakan kewajuban Tuhan ubtuk memberikan belas kasih
kepada manusia (Q.S. As Syu’ara :29). Cara yang terbaik untuk maksud tersebut
adalah dengan pengutusan Rasul.
3)
Tujuan
diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Agar tujuan tersebut
berhasil, tidak ada jalan lain, selai dengan mengutus Rasul.[13]
Kaum Asy’ariah setuju bahwa Allah adil. Namun, Allah tidak memiliki
keharusan apapun karena ia adalah penguasa Mutlak. Karena percaya kepada
kemutlakan kekuasaan Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan tidak memiliki tujuan, yang
mendorong Tuhan melakukan sesuatu adalah kekuasaan dan kehendak Mutlak-Nya dan
bukan karena kepentingan manusia atau tujuan yang lain. Mereka mengartikan keadilan
dengan menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya, yaitu mempunyai
kekuasaan Mutlak terhadap harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai
dengan kehendak-Nya. Dengan demikian keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan
mempunyai kekuasaan Mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berkehendak sesuka
hati-Nya. Tuhan dapat memberi pahala kepada hamba-Nya atau dapat memberikan
siksa dengan sekehendak hatin-Nya, dan itu semua adalah adil bagi Tuhan. Justru
tidak adil jika Tuhan tidak dapat berbuat sekehendak-Nya karena Dia adalah
Penguasa Mutlak. Sekiranya Tuhan menghendaki semjua makhluk-Nya ke dalam surga
ataupun neraka, itu adalah adil karena Tuhan berbuat dan membuat hukum menurut
kehendak-Nya.
Aliran Asy’ariah yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang
kecil dan manuisa tidak memiliki kebebasan atas kehendak dan perbuatannya,
mengemukakan bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan haruslah berlaku
semutlak- mutlaknya. Al asy’ari sendiri menjelaskan bahwa Tuhan tidak tunduk
kepada siapapun dan tidak satu dzat lain diatas Tuhan yang dapat membuat hukum
serta menentukan apa yang boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat Tuhan.
Malah lebih jauh dikatakan Asy’ari, kaalau memang Tuhan menginginkan, Ia dapat
saja meletakkan beban yang tak terpikul oleh manusia.[14]
4. Analisis Teori Keadilan Ilahi Mu’tazilah Dan Asy’ari
4. Analisis Teori Keadilan Ilahi Mu’tazilah Dan Asy’ari
Jika manusia bebas memilih, pahala
dan siksa akan memilki konsep dan makna yang sejati, namun sebaliknya jika
manusia tidak bebas memilih, kedua tangannya terbelenggu sepenuhnya dibawah
kendali kehendak Ilahi dan hukum- hukum serta kodrat- kodrat alam.
Dalam hal ini kaum Mu’tazilah
membela keadilan dan kebebasan sedangkan kaum asy’ari atau ahli hadis yang
membela predestinasi.
Pada prinsipnya para penolak
keadilan tidak menolak prinsip keadilan Ilahi sepenuhnya secara lugas, lantaran
al Qur’an yang menjadi sandaran kedua kelompok menentang kedzaliman dan
menafikannya dari dzat Allah serta mengisbatkan keadilan pada-Nya. Hanya saja
kaum Asy’ari mendefinisikan keadilan ke dalam pengertian khas. Mereka
mengatakan :”keadilan itu tidak memiliki hakikat yang tetap sebelumnya sehingga
kita belum bisa mengungkapkannya dan menjadikannya sebagai patokan perbuatan
Allah. Pasalnya, bila kita menjadikannya sebagai patokan perbuatan Allah,
berarti kita membatasi dan memasung kehendak Allah. Bukankah mustahil kita
mengasumsikan adanya hukum atau aturan yang menentukan perbuatan- perbuatan Allah
SWT?! Semua hukum adalah bagian dari ciptaan-Nya dan ditentukan olehNya. Allah
adalah penentu mutlak segala sesuatu setiap asumsi yang menjadikan kehendak Allah
sebagai efek (dari sesuatu diluar dirinya), niscaya bertentangan dengan sifat-
sifat Allah, seperti kekuasaan dan kewenangan-Nya.[15]
Kaum Asy’ari berpendapat bahwa sifat
adil bersumber dari perbuatan Allah qua perbuatan Allah. Bagi mereka perbuatan pada
esensiya tidak memiliki sifat adil ataupun dzalim. Setiap perbuatan menjadi
adil apabila perbuata itu berasal dari Allah. Setiap perbuatan Allah pasti
adil: sekalipun tidak setiap perbuatan adil dilakukan Allah. Kaum Asy’ari tidak
menolak keadilan, hanya saja penafsiran mereka atasnya menyebabkan mereka
secara praktis telah menolak keadilan. Kaum Asy’ari mengira bahwa mereka telah
mendapatkan cara untuk mentanzihkan Allah dari syirik dari penciptaan, tetapi
mereka sebenarnya menyucikan orang- orang yang bernuat zalim dan membebaskan
mereka dari beban segenap perbuatan keji.
Apa yang dilakukan mereka pada dasarnya tidak dia lakukan melainkan
Allah yang melakukannya, karena semua perbuatan adalah milik Allah.
Sedangkan Mu’tazilah berkeyakinan
bahwa sebagaimana halnya keabaikan dan keburukan adalah tolak ukur semua
perbuatan manusia, demikian pula kebaukan dan keburukan adalah tolak ukur
perbuatan Allah SWT. Mereka berpendapat keadilan itu pada esensi dan
substasinya adalah baik, sementara kezaiman itu pada dasarnya adalah buruk. Dan
mengningat Allah adalah akal tanpa batas, dan Dialah yang menganugerahkan akal
kepada makhluk-Nya, maka Dia tidak akan meninggalkan perbuatan apapun yang yang
oleh akal dipandang baik, dan tidak akan melakukan perbuatan apapun yang oleh
akal dipandang buruk.
Seangkan menurut perspektif para
filsuf, kebaikan dan keburukan dalam perbuatan hanya berlaku pada perbuatan-
perbuatan manusia lantaran kesadaran moral manusia dibentuk oleh atas dasar
itu. Jadi baik dan buruk itu merupakan ide i’tibari, bukan hakiki. Fungsinya
hanyalah sebagai perantara dan sarana. Pelaku potensial merasa perlu pada
perantara untuk mencapai tujuan dari perbuatan- perbuatan yang dikehendakinya,
dan perantara ini tak lain adalah ide- ide yang ditetapkannya tersebut.
Sebaliknya mengingat Dzat Allah Yang
Maha suci adalah eksistensi Mutlak, Kesempurnaan Sejati, dan Aktualitas Murni,
maka dia tersucikan dari semua perantara, ide, dan sarana dalam bentuk dan cara
apapun. [16]
PENUTUP
Dari pemaparan diatas dapat kita
ambil kesimpulan bahwasannya penafsiran era afirmatif lebih didominasi oleh
kepentingan-kepentingan ideologi tertentu sehingga Al Qur’an sering kali
diperlakukan sebagai legitimasi ideologis, teolofis atau madzhab tertentu.
Posisi Al Qur’an cenderung sebagai objek, sedangkan relitas dan mufassirnya sebagai
subjek. Akibatnya sering terjadi pemaksaan gagasan Non-Qur’ani dalam penafsiran
al-Qur’an.
Sebagaimana halnya perdebatan yang
terjadi antara kaum Mu’tazilah dan Asy’ariah terkait dengan Keadilan Ilahi. Asy’ariah
mengatakan bahwasannya Tuhan Adil. Karena percaya kepada kemutlakan kekuasaan
Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan tidak memiliki tujuan, yang mendorong Tuhan
melakukan sesuatu adalah kekuasaan dan kehendak Mutlak-Nya dan bukan karena
kepentingan manusia atau tujuan yang lain. Tuhan mempunyai kekuasaan Mutlak
terhadap makhluk-Nya dan dapat berkehendak sesuka hati-Nya.
Sedangkan menurut Mu’tazilah Tuhanitu
Adil, dan dipandang adil apabila bertindak hanya yang baik. Begitu pula Tuhan
itu adil bila tidak melanggar janji-Nya. Dengan demikian Tuhan terikat dengan
janji-Nya.
Namun masing- masing pemikiran
tersebut memiliki kelemahan masing- masing, dan dapat kita cari titik- titik
kesalahan dan kebenaran yang ada di dalamnya. Asy’ariah dan Mu’tazilah yang
awalnya ingin mentanzihkan Allah dai segala kemusyrikan ternyata mereka malah
menjerembabkan diri mereka sehingga pada akhirnya mereka malah berlaku
sebaliknya, yaitu tidak mentanzihkan Allah.
DAFTAR
PUSTAKA
Ghazali, Adeng Muchtar. Perkembangan
Ilmu Kalam dari Klasik Hingga Modern. Pustaka Setia; Bandung. 2003
Madkour,Ibrahim, Aliran dan Teori
Filsafat Islam, Bumi Aksara; Jakarta. 2004
Muhammad ‘Abdul ‘Azhim al- Zarqani, tt,
Manahil Irfan fi ‘Ulum al Qur’an, juzz II, Mesir: Busthafa Baby a-Halaby
Musa, M. Yusuf. Al Qur’an dan
Filsafat (penuntun mempelajari Filsafat Islam). PT. Tiara Wacana Yogya;
Yogyakarta. 1991
Muthahhari, Murtadha. Keadilan
Ilahi Asas Pandangan Dunia Islam. PT Mizan Pustaka; Bandung. 2009
Rozak, Abdul, dkk., ilmu Kalam
Untuk UIN, STAIN, dan PTAIS, CV Pustaka Setia; Bandung. 2001
Tim Redaksi, Tashwirul Afkar
Edisi No. 18, Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, Jakarta
Selatan; Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (LAKPESDAM) dan The
Asia Foundation (TAF), 2004
[1]
Muhammad ‘Abdul ‘Azhim al- Zarqani, Manahil Irfan fi ‘Ulum al Qur’an, juzz
II (Mesir: Busthafa Baby a-Halaby, tth)hlm. 3
[2]
Tim Redaksi, Tashwirul Afkar edisi No. 18, Jurnal Refleksi Pemikiran
Keagamaan dan Kebudayaan, Jakarta Selatan; Lembaga Kajian dan Pengembangan
Sumberdaya Manusia (LAKPESDAM) dan The Asia Foundation (TAF), hlm. 96
[3]
Ibid, hlm. 102
[4]
Abdul Rozak, Ilmu kalam untuk UIN, STAIN, dan PTAIN. (CV. Pustaka
Setia; Bandung) hlm. 77
[5]
Ibid,hlm. 80
[6]
Adeng Muchtar Ghozali. Perkembnagan ilmu kalam dari Klasik Hingga Modern (Pustaka
Setia; Bandung), hlm. 98
[7]
Abdul Rozak, Op. Cit, hlm.82
[8]
Ibrahim Madkour. Aliran dan Teori filsafat.(Bumi Aksara; Jakarta), hlm.
64
[9]
Ibid, hlm. 66-67
[10]
Maksudnya syaitan-syaitan jenis jin dan manusia
berupaya menipu manusia agar tidak beriman kepada Nabi.
[11]
Abdul Rozak, Op, Cit, hlm.
184-186
[12]
M. Yusuf Musa, Al Qur’an dan filsafat ()penuntun Mempelajari Filsafat Islam (PT.
Tiara Wacana Yogya; Yogyakarta ), 93-94
[13]
Ibid, hlm. 83-84
[14]
Abdul Rozak, Op, Cit, hlm. 184-186
[15]
Murtadha
Muthahhari. Keadilan Ilahi Asas Pandangan Dunia Islam.( PT Mizan
Pustaka; Bandung). Hlm. 17
[16]
Ibid , hlm 55
No comments:
Post a Comment